Muntilan, 1988
"Aku ndak tahu lagi mau ke mana, Mas Win. Itu rumah satu-satunya warisan bapak," ujar Seto Aji suatu siang ketika memancing di bantaran Sungai Progo.
"Apa ndak bisa dibicarakan lagi?" Winarno menyulut sebatang kretek.
"Apalah usulan anak bungsu sepertiku. Mas dan Mbakyu sudah sepakat. Rumah itu kabarnya sudah jatuh ke tangan orang lain. Mau dibikin perkantoran. Ya, meskipun hasilnya dibagi rata, tapi aku sebenarnya ndak rela."
Winarno diam saja. Mandor yang bekerja di Pabrik Kertas Blabak itu menatap lurus ke arah kail pancing yang mengapung.
"Mereka sama sekali ndak menghormati wasiat Bapak. Rumah itu jangan sampai dijual. Apalagi cuma kepentingan sepihak."
"Kowe yakin itu kepentingan Masmu saja?"
"Ya. Kami bertiga saat itu ketemu sama Si Konglomerat. Mau bikin kantor katanya. Tadinya kami menolak dengan harga yang ditawarkan. Tapi di pertemuan kedua, Mas dan Mbakyu berubah pikiran demi segepok duit yang dinaikkan harganya. Dasar mata duitan!"
"Terus?" Winarno mengisap kreteknya dalam. Menyimak lebih saksama.
"Mereka menanyai alasanku. Aku ingat amanah Bapak lalu meninggalkan mereka. Lagipula semenjak Bapak seda(5) rumah itu aku yang rawat. Aku yang nempati sama istriku, Kasih. Mas dan Mbakyu peduli apa dengan rumah itu? Hari ini tahu-tahu ada surat datang. Isinya perjanjian pembagian hasil jual. Membacanya pun aku tidak. Aku ndak tahu lagi. Besok-besok bisa jadi Masku meminta surat tanah yang kusimpan."
Angin berembus menerpa wajah-wajah yang larut dalam kebimbangan. Winarno sebagai sahabat ikut merasakan kepedihan. Bagaimanapun Seto Aji adalah orang yang ia kenal luar dalam. Ditambah lagi, bapak-bapak mereka juga berkawan baik.
"Aku ndak tahu lagi harus tinggal di mana. Keputusan ini terlalu mendadak, Mas Win. Tabunganku dan Kasih belum cukup untuk beli rumah. Barangkali Mas Win tahu rumah yang sedang dijual murah. Aku cuma punya duit sekitar...."
"Wes, ndak usah bingung (6). Aku ada rumah kosong. Kowe iso manggon ning kono(7)," Winarno menepuk bahu sahabatnya yang belum selesai merampungkan kalimat.
"Ndak, Mas. Carikan saja rumah lain yang Mas Win tahu."
"Wes, ndak usah. Tempati saja itu rumah."
"Ojo guyon lho, Mas."(8)
"Sopo sing guyon?(9) Wes, besok kowe tak ajak ke sana. Lihat-lihat dulu, kalo ndak cocok, baru cari yang lain."
Seto Aji hampir menitik air matanya mendengar jawaban Winarno. Seketika itu dadanya bergemuruh tidak tahu harus berucap apa. Ia masih tidak percaya dengan omongan Winarno yang seperti petir di siang bolong. Barangkali itu siang yang begitu berkesan bagi Seto Aji. Kelak ia akan ceritakan kepada anaknya demi menghormati ketulusan sang sahabat.
Tidak lama berselang, Seto Aji dan istrinya yang tengah hamil tua diantar menuju rumah yang diceritakan Winarno. Halamannya ditanami pohon kamboja merah. Pagarnya dirambati bugenvil yang masih kecil-kecil bunganya. Mereka masuk ke selasar yang memanjang. Disambut kursi jati tua yang dengan dua pot suplir yang tampak mulai meranggas. Si tukang jaga pasti lupa menyiraminya.
Winarno membuka pintu rumah lantas mempersilakan tamunya itu melihat-lihat isinya. Ruang tamu dan ruang tengah cukup luas beraroma khas cendana. Lebih dari cukup untuk menjamu bapak-bapak kenduri atau arisan ibu-ibu PKK. Bahkan anaknya bisa berlarian di ruang tengah jika sudah lahir kelak. Tiga kamar tidur tersedia. Dua berhadapan sementara satu berada agak di belakang. Mereka menyisir lagi isi rumah tua dan Winarno tak berhenti berceloteh menjelaskan. Di ujung rumah terdapat kamar mandi dengan jeding(10) bergemericik air jernih. Sampai pada pekarangan belakang mereka menjumpai Pak Kramat si penjaga rumah tengah memberi makan dua ekor bekisar merah. Satu jantan satu betina. Mereka menyalami Pak Kramat yang sudah renta dan pikun. Pak Kramat dulunya bekerja di kandang ayam milik Winarno. Memberi makan dan mengawasi ayam-ayam yang jumlahnya ratusan. Karena kondisinya yang tua dan sering sakit, Winarno memberikan tugas lain yang lebih ringan. Menjaga rumah tua dan cukup memberi makan dua bekisar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ULAN MAE
General FictionDia hanyalah seorang perempuan. Sama seperti kalian. Mendamba hidup yang normal. Bahagia. Hidup yang tidak melulu tentang sial. Dia hanyalah seorang perempuan yang dihadapkan dengan kematian dua suaminya. Malang dan nyaris gila. Oleh sebab rentetan...