#3

58 2 2
                                    


Dengan berbekal doa dan restu bapak ibunya, Ulan Mae pamit meninggalkan pagi yang tentram di Muntilan, desa kecil di Kabupaten Magelang—yang terkenal dengan tape ketannya. Ulan Mae melanjutkan sekolahnya ke Semarang. Kuliah di salah satu universitas, mengambil jurusan seni rupa untuk belajar melukis lebih dalam lagi. Ia berangan-angan, lukisan-lukisan yang lahir dari guratan tangannya tidak lagi terpampang di mading sekolah, melainkan di muat di surat kabar atau pameran-pameran seni.

Ia tidak berangkat sendirian. Respati mengantarnya dengan sepeda motor yang kerap mereka tumpangi berdua. Respati ingin memastikan bahwa kekasihnya selamat dan tidak mengalami hambatan apa pun sampai di Semarang.

Respati sendiri Kuliah di Yogyakarta. Mimpinya menjadi aktivis atau politisi sosialis ia urungkan sementara. Kali ini ia berputar haluan ingin menjadi seorang ekonom, akuntan, ahli perbankan, marketing, dan semacamnya. Perubahan haluannya bukan tanpa alasan. Ia telah belajar tentang sistem pemerintahan negara Cina yang menggunakan paham demokrasi komunis. Pemikirannya mulai dipengaruhi oleh tokoh-tokoh kapitalis. Lagi pula, tingkat kecerdasannya tidak sepadan dengan keberuntungannya. Dari dua jurusan yang didaftar, Respati tembus di jurusan ekonomi yang menjadi pilihan kedua. Itu tidak jadi soal. Masih ada seribu jalan untuk menjadi politisi sosial seperti angan-angannya.

Kamar indekos itu berukuran tiga kali empat meter dengan satu kamar mandi di dalamnya. Respati telah mencarikannya seminggu sebelum kedatangan mereka. Indekos yang tidak terlalu ramai dan bebas jam malam. Itu sesuai dengan kriteria yang diajukan Ulan Mae. Barangkali suatu saat ia pulang larut setelah kegiatan kuliah atau teman-teman lelaki ingin berkunjung tidak akan jadi soal. Indekos itu masih sepi. Baru empat orang termasuk Ulan Mae yang menghuni. Sisanya masih dalam perjalanan kembali setelah libur perkuliahan.

Hari menjelang gelap. Setelah membersihkan diri dari peluh sisa perjalanan, Respati berkeinginan menginap. Sekonyong-konyong keinginan itu ditepis Ulan Mae dengan mantap. Tidak baik, ora ilok (3). Masih penghuni baru sudah main inap lelaki yang bukan mahram—yang segera ditertawakan kekasihnya. Begitu dalihnya sebatas canda. Lalu segera diantarnya Respati ke depan gerbang.

"Aku pulang dulu. Jaga diri baik-baik dan jangan nakal" tutur Respati menekankan pada dua kata terakhir.

"Aku berani nakal cuma denganmu." Ulan Mae mengerling. Sejurus kemuian bibir mereka menyatu saling mengucapkan salam perpisahan. Mengikrarkan janji satu minggu sekali bakal bertemu. Bayang sang kekasih segera lenyap ditelan malam. Ulan Mae hendak menuju kamar merebahkan punggungnya. Langkahnya terhenti ketika seseorang menyapa dari ambang pintu kamar. "Selamat malam." Namanya Sekar, begitu ia memperkenalkan diri. Keduanya mulai bertukar cerita tentang asal dan latar belakang masing-masing.

Sekar sama-sama mahasiswa baru. Ia mengambil kuliah jurusan ekonomi. Cerita itu lantas ditanggapi Ulan Mae ihwal kekasihnya yang kebetulan mengambil jurusan yang sama dengan Sekar.

Pertemuan dengan orang baru seringkali membosankan karena biasanya obrolan hanyalah basa-basi seperti asal daerah, asal sekolah, lalu merembet menghubungkan teman-teman yang kebetulan berteman dengan orang tersebut. Namun Sekar berbeda. Ia bukanlah orang yang membosankan.

Sekar adalah pribadi yang hangat. Ia mudah akrab dan dalam waktu sekejap obrolan mereka sudah bukan lagi obrolan basa-basi.

Secara fisik, postur tubuh Sekar tak lebih tinggi dari telinga Ulan. Rambutnya diponi dengan memamerkan sedikit arsiran semir pirang di ujung. Bibirnya agak tebal dan sensual. Seorang lelaki pasti akan tenggelam dalam kekaguman jika melihat lesung pipitnya. Karakter periangnya yang Ulan Mae suka. Kelak ia akan menjadi teman karib yang paling Ulan Mae percaya, pun sekaligus sangat membencinya.

ULAN MAETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang