Muntilan, 2013
Setelah ibunya meninggal, rumah tua itu kini hanya ditempatinya bersama si jabang bayi yang belum lama ditinggal pula oleh calon bapaknya. Tiga bulan menghilangnya Respati membuat Ulan Mae hampir gila. Sisa kewarasannya hanya mencuatkan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung bersua jawaban. Tentang keberadaan dan alasan kepergian yang mendadak. Tentang ingatan yang membuat sesak dadanya. Respati hanya mewariskan bayang-bayang saat hendak meninggalkan rumah bersama dua orang asing itu. Suami yang meninggalkan Ulan Mae dalam kegamangan. "Bagaimana hidupku kemudian? Juga benih yang kautanam di rahimku ini, Mas?" ratapnya pasrah.
Mungkin dia akan kembali saat bayi ini lahir. Ulan Mae tertunduk memandangi perutnya yang buncit.
Atau mungkin dia sudah mati? Pikirnya putus asa. Polisi-polisi itu sudah tak mengabarkan perkembangan.
Ia melempar pandang ke lukisan berwajah suaminya. Lukisan itu adalah kutukan baginya. Ulan Mae sudah berusaha membuangnya ke tempat sampah. Berharap tukang sampah akan segera mengambilnya. Sayang sekali, sudah dua minggu lukisan itu masih teronggok bersama tumpukan sampah yang menjadi surganya tikus dan lalat. Tak pernah ada tukang sampah yang datang.
Para tetangga mengeluh karena sampah di depan rumah mereka pun bernasib sama. Mulut-mulut menyumpahi si tukang sampah yang dianggap malas. Ulan Mae melangkah kecewa menggamit ujung lukisan itu dengan jijik. Jangan-jangan kau yang menyebabkan gara-gara ini? Ulan Mae bergumam, berdecak, memelototi, dan menyalahkan lukisan bergambar suaminya yang dia ambil lagi dari tempat sampah busuk itu. Oh, lukisan itu seperti menyerap keluhan si perempuan dan memberikannya kesialan lagi. Ulan Mae tak ada di rumah ketika sehari kemudian petugas didatangkan oleh ketua RW untuk menguras semua sampah yang mulai membusuk. Satu kebetulan yang memuakkan. Perempuan itu berang sudah. Raut mukanya merah padam. Rongga mulutnya siap memuntahkan gemuruh yang telah mendidih dari dadanya. Tai monyet!
Beberapa orang menganggap lukisan itu menyeramkan. Ya, hanya orang gila yang mau menyimpan lukisan orang 'mati'. Orang mati yang tidak jelas kematiannya. Ulan Mae berniat menghibahkan kepada saudara, teman, tetangga, hingga orang asing sekalipun. Tak ada yang bersedia. Semuanya mentok dengan alasan masing-masing. Lukisan yang malang. Bahkan dibakar pun, langit merontokkan hujannya seakan tak rela. Ulan Mae benar-benar sial. Pada akhirnya ia pasrah menggantungkan lagi lukisan itu di kamar. Memandanginya dengan ratapan pilu dan sesekali diajaknya berbincang mengenai pertanyaan-pertanyaan yang menggaung di kepalanya. Kadang lukisan itu menjawab—tentu hanya karangan Ulan Mae belaka. Kadang hanya hening yang menguntit kemudian—kalau otaknya tidak menemukan jawaban.
Tak jarang Ulan Mae dibuat geram dan marah karena lukisan itu. Jika sudah begitu, dibaliknya lukisan itu menghadap tembok agar ia tak melihat wajah suaminya. Kemudian sembari mengelus perutnya yang mulai buncit, ia pun akan tersedu. Ia baringkan tubuhnya yang rapuh. Lalu dengan susah payah, perempuan itu berusaha menghapus percakapan-percakapan dengan lukisan bergambar suaminya itu.
Hujan di luar membasahi rerumputan. Membasahi ingatannya bertahun silam Di dalam hatinya, Ulan Mae meratap. Respati, suamiku. Bukankah kau rindu pada hujan? Seperti kita dulu pernah dipertemukan.
**
Lukisan yang ditentengnya hampir saja basah ketika hujan turun mengguyur tanah yang kerontang. Seorang perempuan tercenung memandangi jalan di depan sekolahnya. Terpancar gamang di sudut mata, bagaimana ia kembali ke rumah bila hujan tak kunjung mereda. "Aku pulang dulu ya," akhirnya teman yang berdiri di sebelahnya pun beranjak segera setelah mobil sedan membunyikan klakson di depan gerbang. Bapaknya menjemput.
Ulan Mae enggan memandangi langit yang tega menyisakan beberapa teman bermuka masam. Siapa saja mereka, ia tidak terlalu mengenal dengan baik. Wajah-wajah adik kelasnya yang baru masuk dua minggu sebelumnya—setelah masa orientasi yang melelahkan, sama-sama merenungi nasib bagaimana cara mereka pulang. Sedang untuk mencegat angkutan, mereka harus berjalan ke perempatan—yang artinya berjalan sejauh seratus meter dari gerbang sekolah, dan di sana tidak ada tempat berteduh barang satu pohon pun. Hanya warung kecil yang dari jauh sudah teramati penuh sesak oleh teman-teman sekolahnya yang datang berteduh lebih dulu.
Perempuan dengan rambut sebahu itu termangu membayangkan bagaimana ia sewaktu kanak-kanak suka dengan hujan. Bersama teman-teman mengatai hujan itu bau tanah kemudian takut-takut menghambur ke dalam hujan. Oh, ternyata menyenangkan bermain air hujan, pikir Ulan Mae kala itu. Andai saja jiwanya masih kanak-kanak, sudah dari tadi ia nekat menerobos. Malah senang dan rela berlama-lama dibuat kuyub oleh hujan. Namun, lihatlah apa yang dilakukan olehnya. Ulan Mae hanya tercenung. Mendekap lukisan yang dibungkus koran itu di dadanya.
"Dik!" Agak keras panggilan itu mengimbangi deras air yang tengah mengguyur tubuhnya. "Hei, Dik!" panggilnya sekali lagi karena yang dipanggil masih geming. Pandangannya masih tersesat dalam rimba hujan. Satu kali bunyi klakson menyalak membuatnya tergeragap.
"Bareng aku saja, rumahmu di Jalan Patimura, kan?" Sejurus kemudian, Ulan Mae mengangguk dan menghampiri lelaki yang menawarinya tumpangan itu.
"Nggak apa-apa nih?" Ulan Mae mencoba berdalih, takut merepotkan. Si Lelaki mengangguk tersenyum, membuat Ulan Mae yakin untuk segera duduk membonceng. Dua muda-mudi itu melesat menerobos hujan. Menyisakan tatap iri teman-teman sekolah yang ditinggalkan. Ulan Mae mengembuskan napas lega, tidak lagi menunggu dan melamun di beranda sekolah.
Begitulah perjumpaan kali pertama Ulan Mae dengan Respati. Kelak mereka akan berterima kasih sekaligus mengutuk hujan yang tak kunjung reda itu.
Sebagaimana remaja yang mulai beranjak dewasa, ada degup yang tak bisa dijalaskan ketika berada di sisi orang yang dicintai. Benar dan seperti inikah cinta sesungguhnya? Ulan Mae membatin di sela ingatan-ingatan sebelumnya. Pernah ia merasakan hasrat. Memelihara rasa suka yang dipendam hari demi hari. Oh, pada akhirnya kandas diterpa usia yang terlalu belia. Kini hasrat itu mengetuk pintu hatinya lagi. Berharap diberi permisi, minta dipelihara lagi lewat jelmaan lelaki bernama Respati.
Belakangan kemudian Ulan Mae kian mengenal Respati sebagai sosok pengayom yang menentramkan. Ia terlibat aktif dalam Organisasi Intra Sekolah yang sering kali menyita waktu bermain dan belajar. Lelaki itu bercita-cita menjadi politisi atau aktivis yang kerap menggerakan aksi. Pemikirannya tajam dan suka mengajak sesama dalam mewujudkan kesetaraan, seperti pemikiran kaum sosisalis. Oleh karenanya dia disebut si penggerak. Oh, Tuhan, si penggerak ini baru saja jatuh hati pada perempuan yang gemar melukis. Semua bisa saja terjadi dan hujan telah membungkus semua konspirasi itu dengan rapi, di beranda sekolah, dengan cara yang sederhana—pulang bersama.
Syahdan, untuk kesekian kalinya hujan mengguyur mereka. Membuat kuyup dari ujung rambut hingga bawah lutut. Kondisi seperti itu seringkali menjadi alasan bagi Respati untuk berteduh sejenak di rumah Ulan Mae. Secangkir teh hangat akan disuguhkan pemilik rumah sembari basa-basi ucapan terima kasih.
Rumah yang tidak terlalu besar namun cukup membuat tenang untuk membagi kehangatan bersama. Rumah Ulan Mae. Di atas terasnya, Respati dan Ulan Mae berbagi cerita juga tawa. Masing-masing duduk di kursi jati yang di antaranya terdapat meja kecil untuk menghidangkan teh dan kudapan. Untuk kebersamaan yang kesekian kalinya, mereka duduk-duduk selepas kehujanan. Berawal dari berbagi cerita, mata mereka bertemu. Tatap yang menciptakan ketegangan dalam hening sekejap. Di langit sana, petir menyambar. Bergemuruh. Namun bagi Ulan Mae, lelaki di hadapannya lebih mengguncangkan degup jantungnya. Perempuan itu tengah menikmati sengat-sengat dari genggaman tangan seorang Respati yang kemudian kerap terulang dan diselingi kecupan kecil di keningnya.
"Ulan, rasanya aku suka padamu," ungkap Respati.
Si Perempuan tersenyum manis. Membuat Respati lalu memanggilnya 'Nona Manis' setelah perempuan itu berulang kali gagal menyembunyikan rona merah di wajahnya.
***
fKat4%,
KAMU SEDANG MEMBACA
ULAN MAE
General FictionDia hanyalah seorang perempuan. Sama seperti kalian. Mendamba hidup yang normal. Bahagia. Hidup yang tidak melulu tentang sial. Dia hanyalah seorang perempuan yang dihadapkan dengan kematian dua suaminya. Malang dan nyaris gila. Oleh sebab rentetan...