Lihatlah di jari manisku. Cincin melingkar selalu. Tanda ikatan kasih sayang. Dan bukan hanya kenangan.
Nur Sukesa gamang menatap cincin yang melingkar di jari manisnya. Kabar yang membuat rindunya akan sang kekasih meranggas tak tersisa datang tiba-tiba. Ia mencoba tak percaya. Namun hari demi hari berkata lain tentang Sindu sang kekasih. Mencuatkan keluh di mana-mana. Setiap hari Nur Sukesa akan mengadu pada ibunya, "Kepriwe kiye, Bu?"(57) yang kemudian diteruskan ibu ke suaminya, "Bagaimana ini, Pak?" dan sang bapak tidak bisa berbuat apa-apa setelah memamerkan rahangnya yang mengeras. Ia berang. Ingin menghajar pemuda itu. Anak gadisnya dipermainkan. Sayang kondisinya yang semakin tua tidak mengabulkan harapan itu.
"Kepriwe, Nur? Ini sudah kali kedua Sindu mempermainkanmu. Bapak ingin menghajarnya," ungkap lelaki tua itu dengan rahang mengeras. Urat syarafnya menegang berkebalikan dengan tatapannya yang nanar tak lagi tajam. Rambut di kepalanya sebagian telah memutih. Sebagian lagi rontok bersama waktu.
"Jangan berkata apa yang Bapak tidak bisa lakukan. Sudahlah. Bapak tidak perlu menghajarnya. Apa yang Sindu lakukan telah mempermalukan keluarga kita. Jika kita membalasnya, tidak ada bedanya keluarga kita dengan keluarga mereka. Nur tidak ingin disamakan seperti lelaki brengsek itu."
**
Enam bulan selepas mereka berpisah, Sindu kembali ke Sokaraja memberitahukan kabar tentang nasibnya di tanah seberang. Ia diterima bekerja di sana—sebagai kelanjutan atas pelatihannya—dengan upah yang menggiurkan. Dengan berat hati ia harus menambah masa rantaunya enam bulan kemudian. Kabar yang membuat resah hati Nur Sukesa seketika. Bagaimana tidak, pernikahan yang seharusnya terlaksana harus ditunda, sementara undangan telah menyebar ke sanak-saudara, handai-taulan, dan rekan kerja. Keluarga Nur Sukesa dibuatnya malu.
"Apa kita nggak bisa menikah lebih dulu baru kamu merantau lagi?" ratap Nur Sukesa pada kekasihnya.
"Pekerjaanku nggak membolehkan itu, Sayang."
"Persetan dengan pekerjaanmu. Kamu nggak bisa memperjuangkan aku? Kamu nggak bisa membuat prioritas?"
"Kamu nggak bisa memaksaku seperti itu, Sayang. Mengertilah. Ini masa depanku juga. Salah satu impian besarku."
"Jadi aku bukan bagian dari masa depanmu? Kamu lebih mementingkan pekerjaan? Brengsek!"
"Bu... Bukan begitu maksudku, Sayang."
"Kenapa kamu nggak ngasih tahu lebih awal? Dasar tolol!"
"Nyong kelalen (58). Kesibukan membuatku lupa. Maafkan aku," Sindu tertunduk menyesal. Sementara kekasihnya tak kuasa lagi membendung air mata.
"Bisane kelalen sih. Ngapa bae kowe nang kana, hah?"(59)
"Sumpah demi Allah nyong ora nglomboni (60). Aku sibuk, Yang."
"Sampai lupa memberi kabar, itu nggak masuk akal," sambar Nur Sukesa kesal.
Mereka tercekat dalam keheningan cukup lama. Meratapi sesal dan duka."Kita bisa meralat undangannya, Sayang. Akan kuurus secepatnya."
"Ngomong dewek maring Ramane nyong nganah!"(61)
"Satu tahun tidak lama lagi. Bersabarlah," kata Sindu menenangkan.
"Masa bodoh!" Nur Sukesa menolak dipeluk kekasihnya.
*
Kali kedua Sindu membatalkan pernikahannya ialah sebelum genap satu tahun lepas mereka berpisah. Pemuda itu kembali ke Sokaraja diam-diam. Kabar itu diketahui Nur Sukesa secara mendadak lewat mulut seorang kawan lama. Nur Sukesa tak dapat menyembunyikan prasangkanya. Barangkali kekasihnya ingin memberikan kejutan. Maka dengan berbekal rindu yang menggebu, perempuan itu mengunjungi sang kekasih. Ia benar-benar rindu ingin berjumpa. Tidak sabar ingin memeluknya, mengusap pipi, mencium bibir, mendengar cerita-cerita dari pulau seberang. Ah, sungguh penasaran Nur Sukesa dibuatnya kalang kabut.
KAMU SEDANG MEMBACA
ULAN MAE
General FictionDia hanyalah seorang perempuan. Sama seperti kalian. Mendamba hidup yang normal. Bahagia. Hidup yang tidak melulu tentang sial. Dia hanyalah seorang perempuan yang dihadapkan dengan kematian dua suaminya. Malang dan nyaris gila. Oleh sebab rentetan...