Ketika dua orang itu datang dan disuguhi dua cangkir kopi oleh si pemilik rumah, tak disangka mereka akan berkata mengejutkan setelah berbasa-basi, "Kami berencana membangun ruko dan membebaskan lahan anda, Bu."
Ulan Mae terusik. Rumahnya sudah pasti tidak akan dijual berapa pun mereka menawarnya. Ini hanya akan membuang waktuku saja. Pikir perempuan itu membayangkan muara percakapan mereka. Ulan Mae masih berusaha untuk tetap kalem menanggapi dua orang yang necis dengan pakaian ala kontraktor kenamaan. Barangkali mereka akan segera pergi dengan kegigihan si perempuan. Sayangnya alangkah keliru dugaan Ulan Mae.
"Maaf, saya tidak akan melepaskan rumah ini."
"Ah, Bu. Soal dana kami siap tawar-menawar."
"Saya tidak tertarik, Pak."
"Coba Ibu baca dulu surat pembebasan lahan ini." Salah satu dari mereka menyodorkan map.
Ulan Mae mengembalikan map itu setelah membaca sambil lalu sekadar nglegani, (19)"Terima kasih. Saya tetap pada keputusan awal."
"Ah, begini saja. Ibu minta berapa, biar nanti kami atur."
"Tidak."
Ulan Mae berlalu meninggalkan dua orang itu.
"Bu... Bu, bisa dipikir-pikir dulu mungkin?"
*
Pintu rumah diketuk. Ulan Mae membukakan pintu. Tiga orang berdiri mengucapkan salam yang dijawab dengan lirih oleh Ulan Mae. Dengan tersenyum kecut Ulan Mae menanyakan maksud kedatangan. Salah satu dari mereka—yang berdasi—menjawab ingin melanjutkan persetujuan yang tertunda tempo hari. Dengan malas Ulan Mae menjelaskan lagi bahwa ia tidak tertarik untuk menjual rumahnya. Sementara orang berdasi itu terus mendesak. Ia membawa seorang notaris untuk membuat negosiasi. Berharap ulan Mae mendapat pencerahan dari notaris yang dibawanya. Dugaan orang berdasi itu salah. Jauh panggang dari api. Ulan Mae tetap kukuh dengan pendiriannya. Maka dengan lantang Si Notaris menantang, "Bisa saya lihat surat kepemilikan tanahnya, Bu?"
Ulan Mae dengan tegas kembali menolak. Tiga orang itu dipersilakan untuk angkat kaki segera. Tak ada negosiasi. Hari berikutnya tiga orang itu datang lagi. Begitu seterusnya. Maka pada hari yang sudah entah ke berapa mereka menginjakkan kaki ke rumah itu lagi, mereka datang bersama seseorang "juru kunci". Seseorang yang tidak asing. Ulan Mae mengenal orang itu. Negosiasi menjadi begitu menyebalkan dengan hadirnya satu orang ini.
*
Bagaimana pun juga ia merasa bertanggung jawab dengan hasil pekerjaannya. Ketika salah satu atap rumah tua itu kembali bocor, Ulan Mae memanggilnya lagi. Meminta bantuannya. Seperti sudah menjadi kebiasaan setelah rampung dengan atap bocor itu, Mas Karta menyempatkan untuk minum kopi sembari bercerita masa lalunya. Tentang almarhum bapaknya, istrinya yang mati ketika berjuang melahirkan anaknya, adik perempuannya yang bekerja di negara tetangga sebagai pahlawan devisa, dan adik laki-lakinya yang berbisnis properti di salah satu kawasan Yogyakarta. Mas Karta selalu berkisah dengan sederhana. Tidak dilebih-lebihkan atau dikurang-kurangi. Dan tawa renyah selalu menjadi penutup di akhir ceritanya.
Ulan Mae merasa sembuh dari kesendirian. Seperti menemukan teman lama yang hilang. Kepada Mas Karta perempuan itu mencoba terbuka. Keluh kesahnya ditumpahkan sore itu.
"Kemarin siang ada orang yang mau beli rumah ini, Mas."
"Oh, ya?" Mas Karta agak tergeragap mendengarnya.
"Mereka bawa notaris. Menawari saya harga yang saya sendiri ndak tahu itu pantas atau tidak."
"Mbak Ulan setuju?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ULAN MAE
General FictionDia hanyalah seorang perempuan. Sama seperti kalian. Mendamba hidup yang normal. Bahagia. Hidup yang tidak melulu tentang sial. Dia hanyalah seorang perempuan yang dihadapkan dengan kematian dua suaminya. Malang dan nyaris gila. Oleh sebab rentetan...