Seperti yang dijanjikan, Karji bersama orang-orangnya merobohkan rumah tua Ulan Mae. Atas usulan Mas Karta, Ulan Mae bersedia tinggal sementara di rumah lelaki itu sampai menemukan rumah pengganti. Namun tentu saja Mas Karta tidak setuju dengan keinginan Ulan Mae itu. Lelaki itu selalu berkilah bila ditanyai perihal rumah pengganti yang ia janjikan untuk Ulan Mae. Tidak ada yang bisa menghalangi niat duda empat puluh tahunan itu untuk memperistri perempuan paruh baya yang masih elok parasnya. Bahkan Inong Ayu, anak Mas Karta yang menampakkan gelagat tak suka atas kehadiran Ulan Mae, tidak mengurungkan niat Mas Karta barang sedikitpun.
"Inong ndak suka Bapak kawin dengan perempuan itu. Dia aneh," Anak perempuan yang baru saja semester satu kuliah itu menolak keinginian bapaknya.
"Aneh piye tho, Nduk?" balas Mas Karta.
"Yo aneh. Masa lukisan kok diajak ngomong. Ndak waras dia itu, Pak."
"Tahu dari mana kowe. Jangan suka buruk sangka, Nduk."
"Inong pernah lihat waktu malam-malam lewat rumahnya. Di depan rumah ngomong dhewe (29) sama lukisan. Gendheng."
"Hus! Ora ilok kowe, Nduk. (30) Jangan nuduh orang sembarangan."
"Pokoknya Bapak ndak usah kawin sama dia. Inong ndak suka."
Si Bapak diam mengisap rokok dalam-dalam.
"Jangan-jangan dia itu dukun."
"Hus! Ngawur kowe," bantah Si Bapak terkejut mendengar tuduhan anaknya.
"Lha apa namanya kalau bicara sama lukisan orang yang sudah mati?" tanya Inong yang tak bisa dijawab Si Bapak. "Jangan-jangan dia bicara sama arwah penasaran."
"Bocah ngawur!" Si Bapak pergi meniggalkan perdebatan dengan perasaan dongkol.
"Pokoknya Inong ndak mau Bapak kawin sama perempuan itu!" teriak Inong Ayu menegaskan lagi kepada bapaknya.
Mas Karta berjalan menuju kamar mandi sambil lalu membalas, "Terserah!"
*
Ulan Mae duduk-duduk bersama Mas Karta dan Inong Ayu di beranda rumah. Mengulang kebiasaan lama minum kopi sore hari sembari menunggu malam yang merangkak naik pelan-pelan. Namun kali ini suasananya sangatlah tidak enak dirasa Ulan Mae. Terutama kepada Inong Ayu yang malas-malasan menanggapi basa-basinya. Pertanyaan seputar 'kuliah di mana?', 'umur berapa sakarang?', sampai 'sudah punya pacar?' yang kemudian di sambung oleh kisah singkat Ulan Mae perihal masa lalunya. Inong Ayu hanya menjawab sekenanya. Tentu saja dengan diperhalus senyum palsu. Inong Ayu merasa harus mengikuti permintaan bodoh bapaknya untuk bersandiwara. Cepat atau lambat, ia tak akan sanggup bertahan dengan itu. Inong Ayu melenggang pergi setelah menyampaikan pesan pada dua orang di hadapannya.
"Inong sepertinya ndak bisa pulang ke rumah bulan depan." Sebelum sempat bapaknya bertanya, perempuan itu menjelaskan, "Ada kegiatan kampus. Inong jadi panitia kegiatannya."
"Oh, biasa itu. Dulu, saya waktu kuliah juga begitu. Malah sampai bapak dan ibu datang menengok ke kos," ungkap Ulan Mae yang hanya mendapat balasan senyum nglegani (31) dari Inong Ayu. Sementara Mas Karta diam saja karena tidak tahu dan belum pernah kuliah. Selepas SMA ia disuruh nukang (32) dan mengurusi kandang ayam oleh Winarno.
"Ya sudah. Yang penting jangan lupa kabari Bapak kalau ada apa-apa ya."
"Nggih." (33) Inong Ayu menyahut ketus lalu segera masuk ke dalam.
Tinggal mereka berdua ketika rona senja telah sirna sempurna. Di antara sayup-sayup gema azan magrib dan ribut saut jangkrik, mereka tercekat kikuk yang tidak asyik.
KAMU SEDANG MEMBACA
ULAN MAE
General FictionDia hanyalah seorang perempuan. Sama seperti kalian. Mendamba hidup yang normal. Bahagia. Hidup yang tidak melulu tentang sial. Dia hanyalah seorang perempuan yang dihadapkan dengan kematian dua suaminya. Malang dan nyaris gila. Oleh sebab rentetan...