Sokaraja, 2014
Pagi sekitar pukul 09.00 di rumah si perempuan telah ramai berkumpul manusia-manusia itu. Menanti kehadiran Sindu Darta, pemuda terakhir yang dikenalkan kepada orang tua Nur Sukesa. Beberapa pemuda sudah ditolak. Satu dua kembali dengan penampilan yang lebih tertata. Namun sia-sia saja usaha mereka. Sebab orang tua selalu ingin anak perempuan mereka bersanding dengan lelaki yang mapan, alim, tampan, dan sederet kriteria umum di kepala mereka. Nur Sukesa mungkin sudah pasrah jika Sindu Darta tidak melamarnya saat itu.
Beberapa muka terlihat menangis terharu. Seperti Sang Ibu yang juga tersedu mendapati anak gadisnya kini hendak dipersunting. Mereka yang hadir di acara itu larut dalam kekhusyukan. Betapa Tuhan telah mempertemukan laki-laki dan perempuan dalam keadaan hina hingga pernikahan yang sah ialah cara untuk menyucikannya. Betapa orang tua begitu takut anak-anak mereka terjerumus dalam kubangan dosa dan zina. Puji-pujian dilafalkan seketika, menciptakan haru dan keromantisan kepada Tuhannya. Setidaknya mereka pernah melakukan itu. Hingga satu kekacauan melenyapkan asa yang tengah membumbung.
*
Sindu, begitu Nur Sukesa memanggilnya adalah kawan sekaligus lawan ketika mereka kuliah di salah satu universitas di Purwokerto. Dari dalam kepalanya, selalu ada saja yang bisa diperdebatkan. Dari hal sepele seperti meributkan selera berpakaian sampai hal besar memperbincangkan konspirasi dunia. Terbungkus dalam debat-debat sederhana ketika makan bersama, jalan-jalan sore, bahkan sekadar duduk-duduk santai menunggu hujan reda. Sungguh keromantisan menyatukan mereka dengan caranya sendiri. Keromantisan muncul dalam suatu perdebatan.
Nur Sukesa tidak pernah menceritakan tentang Sindu kepada orangtuanya semasa kuliah. Perempuan itu lebih sering beradu mulut dengan Bapaknya tentang lelaki-lelaki yang dikenalkannya ke rumah. Mengenai Sindu, seakan ia tahu itu sama saja membawa perang ke dalam rumah. Sindu jelas bukan harapan para orang tua. Pemuda itu belum juga lulus pada waktu seharusnya ia lulus. Jauh dari julukan pintar meski pemikirannya kadang mencengangkan dosen-dosennya. Sering Nur Sukesa menanyakan kelulusannya. Dengan dialek Banyumas ia menjawab, "Pahlawan luluse keri."(45) Pada akhirnya jawaban itu cukup membuat mereka berdebat panjang. Sindu bukan pemuda yang takluk dengan peradaban. Idealis mempertahankan sesuatu yang ia impikan. Menjadi desainer boleh jadi suatu pekerjaan yang menjanjikan kelak. Bakat yang memang ia kembangkan dengan tekun selama kuliah. Beberapa buah karyanya sempat meramaikan dunia estetika yang sedang menjadi tren. Sudah pasti Nur Sukesa mendukung itu dengan debat-debat panjangnya.
"Kowe pengin ngenalke nyong maring rama-biyungmu?" (46)Sindu membelalakkan matanya. Bertanya dengan penekanan logat Banyumasnya.
"Kowe wedhi apa?"(47)
"Buat apa takut?" Si Pemuda tersenyum simpul.
"Ngomong bae kowe ora siap."(48)
"Tentulah aku siap. Biasa bae."(49)
"Kalau begitu besok datanglah ke rumah. Nanti kuhidangkan santapan istimewa kalau kamu berani datang berkenalan dengan orang tuaku."
"Baiklah," jawab Sindu agak ragu.
"Aku berani bertaruh, kamu tidak akan datang."
"Itu katamu." Pemuda itu menyulut rokoknya dengan kikuk.
Hari besoknya, Sindu tidak datang ke rumah Nur Sukesa. Itu cukup membuat Nur Sukesa menyiapkan bahan perdebatan berikutnya. Dengan sedikit menyunggingkan sebelah bibir, perempuan itu memenangkan taruhan. "Dasar pengecut!" bualnya.
*
"Kamu bisa jadi kekasihku lebih dulu," tutur Sindu pada satu siang bolong.
"Selama ini aku menganggapmu seperti itu," Nur Sukesa melipat tangan memasang kuda-kuda berdebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ULAN MAE
General FictionDia hanyalah seorang perempuan. Sama seperti kalian. Mendamba hidup yang normal. Bahagia. Hidup yang tidak melulu tentang sial. Dia hanyalah seorang perempuan yang dihadapkan dengan kematian dua suaminya. Malang dan nyaris gila. Oleh sebab rentetan...