#11

22 2 0
                                    


Inong Ayu tergopoh-gopoh pulang setelah Astuti memberi tahu bapaknya meninggal. Ia sedikit terlambat ketika sampai di halaman rumah sudah tidak ada lagi jenazah bapaknya. Gadis itu berlari menyusul ke pemakaman. Air matanya berjatuhan di jalan. Sesampainya di pusara Mas Karta, para pelayat sudah berbalik menuju rumah masing-masing. Tinggalah Ulan Mae, Astuti, dan satu-dua kerabat berdiri di belakang mereka. Inong Ayu tiba dan tersungkur di pusara bapaknya. Sudah tidak ada lagi kata-kata yang disampaikan. Anak perempuan satu-satunya Mas Karta itu hanya menumpahkan air yang tergenang di matanya.

Inong Ayu menolak tidur di rumah. Astuti kemudian membujuknya menginap di rumahnya. Inong Ayu tak ambil pusing, mengiyakan. Tidak banyak yang bisa dilakukan Ulan Mae melihat anak tirinya itu masih bersikap membencinya. Semua pertanyaan Ulan Mae tentang kabarnya di perantauan tidak Inong Ayu tanggapi. Ia mengunci mulut dan mengalihkan pandang. Malah tanpa diduga-duga, Inong Ayu menuduh ibu tirinya itu penyebab kematian sang bapak.

"Jangan-jangan Bapak seda (43) karena kamu?" cetus Inong Ayu di perjalanan pulang.

"Maksudmu?" Yang ditanya mengernyit saja. Astuti yang berjalan di depan mereka tidak sengaja mendengar itu.

"Kamu jadikan Bapak tumbal. Iya, kan?"

Duh, Gusti. Apa yang sebenarnya anak ini katakan? Ulan Mae menutup mulutnya yang hampir menganga.

Astuti yang sedari tadi menyimak, melambatkan langkahnya demi mendengar perkataan Inong Ayu, "Apa iya kamu ikut pesugihan, Mbak?"

"Astaghfirullah!"

"Jangan nyebut-nyebut Gusti Allah, Mbak. Sudah ngaku saja. Kamu jadikan tumbal Mas Karta dan Mas Karji, kan?" Astuti mulai terpancing berburuk sangka

"Ya, ndak salah lagi, Bulik (44). Lukisan-lukisan itu pasti orang-orang yang ia jadikan tumbal," serobot Inong Ayu dengan sinis.

"Kalian ini pada ngawur!" Ulan Mae menggertak ingin menampar mulut mereka yang sembarang bicara. Kesabarannya diserap habis.

"Sudah, Nduk. Kamu tidur di rumah Bulik saja. Jangan sampai kamu dijadikan tumbal juga."

Geger sore itu berlanjut di hari berikutnya. Tidak ada yang sanggup menolong Ulan Mae dari fitnah Inong Ayu dan Astuti. Mereka bersitegang dan cukup berisik untuk memancing perhatian tetangga. Ulan Mae ingin mempertahankan statusnya sebagai istri Mas Karta dan harga dirinya yang mereka lecehkan. Inong dan Astuti sudah keterlaluan, mereka sampai menyeret mendiang Seto Aji yang disangkut-pautkan dengan riwayat rumah tua. Seto Aji mereka tuduh telah merayu Winarno untuk memberikan rumah itu. Dengan iming-iming akan jadi kaya, Winarno dijadikan tumbal. Mereka sungguh mengarang cerita. Mereka bahkan melecehkan mertua dan kakek mereka sendiri. Ulan Mae dibuat berang. Adu fisik tak terelak. Selain mencakar dan menampar, mereka juga berisik. Itulah kelebihan para perempuan daripada kaum lelaki. Hari berlalu begitu menyesak kemudian.

**

Pameran yang akan diselenggarakan kian mendekati harinya. Atas usulan seorang rekan, Ulan Mae memboyong semua barang-barang dan keperluan lainnya ke tempat yang telah disepakati. Memang semua kejadian yang ia alami telah dikeluhkan kepada rekannya, sehingga dengan satu keputusan bulat, Ulan Mae meninggalkan rumah lamanya. Hijrah ke daerah Kasihan, Bantul. Rumah itu milik rekannya yang berasal dari Bandung. Namanya Eulis. Karena kesibukannya di Bandung sangat padat belakangan ini, rumahnya di Bantul jarang ditempati. Eulis menawarkannya pada Ulan Mae. Tak perlu menyewa, Ulan hanya cukup membayar listrik, air, serta gaji tukang kebun dan pembantu di sana. Itu terdengar lebih baik daripada Ulan Mae harus berutang budi karena diberi rumah seperti bapaknya. Eulis meski berdarah Sunda, ia besar dari keluarga militer. Terbiasa untuk lugas dan apa adanya daripada beramah-tamah kemudian mencibir di belakang.

"Mau kuberi atau kaubeli?" tanya Eulis ketika menunjukkan rumah itu. Cukup besar. Dulu dipakai ayahnya ketika dinas.

"Aku sewa saja. Berapa setahun?"

"Hmm. Aku nggak ngerti kalau itu. Berapa yang bisa kaubayar, kaubayar saja."

"Nggak. Kau yang tentukan harganya." Ulan Mae menggeleng. Bersikeras.

Eulis diam sejenak. Sembari mengantarkan Ulan Mae yang hendak pulang, ia memutuskan, "Kau bayar gaji mereka." Eulis menolehkan kepala ke tukang kebun yang tengah duduk-duduk menikmati batang kretek.

Ulan Mae mengangguk, "Ada lagi yang harus kubayar?"

"Ada satu pembantu di dalam."

"Baiklah."

"Juga tagihan listrik dan air. Kau bisa membayarnya."

"Menarik."

Eulis mengantarkan Ulan Mae dengan mobil sedan holden buatan tahun '72. Mobil kesayangan ayahnya dulu. Mereka masih membicarakan kesepakatan rumah.

"Jangan berpikir aku mau kau bayar. Aku tidak butuh uangmu," kata Eulis sambil menyulut rokoknya.

"Dasar sok kaya." Mereka tergelak hampir bersamaan.

"Uangmu lebih berguna buat Pak Budi dan Bi Asih daripada buatku." Eulis menyebut nama tukang kebun dan pembantunya.

"Baiklah. Kalaupun kau minta persenan, aku juga akan siapkan."

"Haha, kita lihat saja nanti. Semoga anak cucu kita kelak tidak meributkan kesepakatan ini."

"Kau menyinggungku, Monyet!" Ulan Mae terkekeh menepuk bahu perempuan di sebelahnya.

Mobil Holden '72 itu melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan Yogyakarta yang dirubung manusia-manusia pencari rezeki. Sampai di Jalan Magelang-Yogyakarta mereka beralih topik. Memperbincangkan pameran. Juga menggunjing orang. Kebiasaan manusia.


43. Lihat no.5


44. Bulik, ibu cilik : sebutan untuk adik dari ibu.

ULAN MAETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang