#12

21 1 0
                                    

"Aku tidak mengerti kenapa kita hidup dengan pemikiran-pemikiran yang menyusahkan," kata Nur Sukesa beberapa hari berselang setelah pameran lukisan Ulan Mae rampung.

"Aku tidak mengerti kenapa kau berkata demikian," sahut Ulan Mae. Matanya menyorot lawan bicaranya tenang.

"Ya, pemikiran-pemikiran yang justru mengekang kebebasan manusia. Sesungguhnya Tuhan telah membuat semua menjadi mudah. Namun manusia-manusia sendiri yang mengusutkan benang merah. Tolol mereka semua."

"Kau mengatai dirimu sendiri," balas Ulan Mae melempar pandangannya ke arah lain. "Kecuali kau bukan manusia."

Nur Sukesa menelan ludah, "Bagaimana menurutmu?"

"Aku sudah mengisahkan semuanya padamu. Bagaimana aku bisa percaya? Entahlah bagiku itu hanya masa lalu. Kita bahkan baru saling kenal. Aku rasa manusia acuh tak acuh sepertimu tidak jadi soal mendengar ceritaku. Toh, kita berada di sisi yang sama. Pihak yang tertimpa kemalangan."

Mereka diam beberapa saat. Membuang muka ke sekitar. Rileks sejenak. Sementara pelayan kafe terlihat mondar-mandir mengantarkan pesanan. Setelah mendapatkan ketenangan masing-masing, Ulan Mae mengutarakan lagi apa yang dipikirkannya saat itu.

"Mungkin sulit bagimu untuk memilih sendiri...."

"Aku tidak mengatakan itu. Dan... aku sedang mencobanya." Nur Sukesa memotong.

"Kau bisa sepakat dengan kata-kataku atau tidak, itu terserah. Aku tidak pernah ambil pusing tentang itu. Zaman sekarang semua diukur dengan pemikiran. Sebagian perempuan berpikir bahwa hidup sendiri tidak begitu menakutkan."

Lawan bicaranya terlihat diam. Ulan Mae bersiap melanjutkan.

"Asal mereka tidak terpengaruh oleh kicauan sekitar. Paling dekat ialah keluarga. Bapak dan ibunya yang paling ketakutan bagaimana jika anaknya tak segera mengakhiri kesendirian dan menjadi perawan tua. Ha... ha, perawan tua kataku. Bahkan mereka para orang tua tidak tahu anak gadisnya tidak lagi perawan."

"Aku sepakat denganmu." Sambil meneguk minumannya, Nur Sukesa menjadi semakin khidmat menyimak.

"Kau tidak perlu bilang begitu. Kau seharusnya punya idealismemu sendiri. Tapi mungkin itu tidak sekarang. Aku tidak akan menuntunmu ke mana-mana. Kau bebas menentukan arahmu sebagaimana aku bebas menentukan arahku tanpa ada yang mendikte. Hidup yang telah berlalu telah menempa aku menjadi perempuan yang kali ini kau lihat di depan mata. Terserah kau mau bilang aku seperti apa.

Setiap orang memiliki masa lalu. Aku tidak tahu apakah mereka melaluinya dengan bangga atau dengan sesal. Dan setiap masa lalu suatu ketika pasti akan menghakimi masa depannya jika manusia-manusia tidak segera melakukan perubahan. Yang jelek jadi lebih baik. Yang baik jadi lebih baik lagi."

Ulan Mae mengisap rokoknya dan dengan menyenderkan punggung adalah isyarat lawan bicaranya untuk berkomentar.

"Aku tidak habis pikir dengan mereka yang menghakimi Tuhan. Berkata jodoh sudah ada di tangan Tuhan. Jodoh sudah diatur oleh-Nya. Mau bagaimanapun kita berusaha, kalau Tuhan tidak menjodohkan ya jauh panggang dari api. Tidak sesuai apa yang diharapkan."

"Teruskan," Ulan Mae mengangguk.

"Kalau manusia sudah berkata seperti itu, tentu kita tidak bisa menjawabnya kan?"

"Bisa. Jawab saja Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, selain kaum itu sendiri yang mengubahnya. Artinya kau harus berusaha lebih dulu."

"Aku hanya berpikir, jangan mengkambinghitamkan Tuhan. Semua diatasnamakan Tuhan. Ini berkaitan dengan kesendirian yang sedang kita alami. Maksudku, kalau aku jadi mereka yang mengatasnamakan Tuhan untuk sebuah alasan, aku tidak akan bawa-bawa itu. Aku tahu Tuhan sudah mengonsep semuanya di luar logika semua orang. Biarlah, aku tidak ambil pusing.

Yang konyol ialah ketika mereka tengah terjerat dengan kesendirian lalu mengabarkan kepada alam semesta bahwa mereka baik-baik saja dan Tuhan akan memberikan jalan yang terbaik. Lalu mengaitkan dengan firman-firman-Nya. Bukankah tanpa berkata puji dan doa pun Tuhan tetap akan menggariskan takdir mereka? Bukankah hidup tetap berlanjut? Bagiku itu sama saja bohong. Mereka tidak sedang baik-baik saja."

"Maksudmu, ya sudah terima saja. Begitu?" tanya Ulan Mae memastikan pendapat Nur Sukesa.

"Ya. Maksudku, mau itu jodohlah, mau itu rezekilah, mau besok bagaimana, makan, tidur, berak, sampai mati ya sudah terima saja. Itu pemberian Tuhanmu. Semua jelas telah mendapat takaran masing-masing. Jalan yang paling terbaik yang Tuhan telah berikan. Tentu setimpal dengan perbuatan mereka. Semua berpikir jalan terbaik. Jalan terbaik. Jalan terbaik. Bahkan setiap bangun tidur dan menghirup napas itu sudah jalan terbaik yang Tuhan berikan. Bersyukurlah."

"Yang perlu dilakukan hanya berusaha menjadi lebih baik, bukan?" Ulan Mae meluruskan.

"Aku tidak mengerti kenapa Tuhan mempertemukanku dengan Sindu kala itu. Kupikir ia jodohku. Nyatanya telak bukan. Kau pasti lebih tahu perasaanku. Perasaan perempuan yang gagal menikah. Tapi baiklah. Aku tidak akan munafik di depan semua orang. Aku masih sakit hati dan sulit percaya dengan laki-laki. Tidak menahu denganmu apakah sependapat denganku tentang perihal yang kualami ini. Yang jelas aku berterima kasih padamu telah membuka pikiranku. Hidup memang terkadang kejam."

"Itu mengapa bayi menangis ketika keluar dari gua garba ibunya. Sekecil itu sudah mengerti bahwa dunia yang menyambutnya membawa kesedihan."

"Aku tidak akan melupakan pertemuan ini. Semoga kita bisa berjumpa lagi di lain kesempatan, Ulan."

Ulan Mae tersenyum menjabat tangan Nur Sukesa yang hendak berdiri dari duduknya. "Mampir saja ke rumah kalau ke Jogja." Secarik kartu nama diberikan Ulan Mae kepada kawan barunya itu.

"Ya, aku baru saja mendengar kabar akan dipindah lagi ke Bali. Ini akan sedikit merepotkan kuliahku. Tapi ya sudahlah, Tuhan sudah menggariskan. Terima saja dan jalani dengan baik."

"Ya, seperti katamu. Tidak baik menghakimi Tuhan." Mereka berdua serentak terkekeh. Tidak sadar mengucapkan kata-kata yang baru saja mereka perbincangkan. 

ULAN MAETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang