"Aku hamil, Mas!" kata Sekar dengan nada bergetar.
"Nggak mungkin. Kamu pasti mengada-ada," sangkal Respati seketika gugup mendengar pengakuan Sekar.
"Coba kamu lihat ini. Mana mungkin alat ini berbohong." Dua garis merah menandai alat tes kehamilan yang ditunjukkan Sekar.
"Bagaimana bisa? Mana mungkin kebobolan."
Sekar geming sejenak, "Bisa saja bocor."
"Kampret!"
"Kamu harus tanggung jawab, Mas." Sekar memeluk lututnya. Merengek.
Respati gamang dengan pernyataan itu. Ia menyesali kebodohan atas nafsu bejatnya. "Gugurkan saja!"
Sekar menggeleng tegas, lantas bangkit dari duduknya. "Aku nggak akan melakukan itu, Mas. Dosa!"
"Tahu apa kau tentang dosa?" Setengah membentak Respati ikut beranjak dari duduknya. "Anak sekolah juga tahu kumpul kebo itu dosa. Pokoknya aku nggak mau tahu. Akan kucari dokter yang mau menggugurkannya."
"Lelaki bangsat! Lebih baik aku mati."
"Bunuh diri juga dosa. Goblok!"
Mereka berpisah selepas pertengkaran itu. Menyisakan isak yang memilukan. Sekar ingin sekali berteriak. Mengabarkan dukanya pada siapa saja. Bahkan pada Ulan Mae jika saja Respati tidak mengancamnya. Lelaki itu tidak bergurau akan melakukan sesuatu yang buruk kepadanya termasuk membunuhnya bila perlu.
Beberapa hari berselang. Kemurungan Sekar semakin menuju puncaknya. Ia benar-benar ingin mengakhiri hidupnya. Tidak acuh lagi dengan perkara dosa. Toh, dosanya memang sudah kepalang tanggung, pikirnya.
"Kau gila, hah!" seru Ulan Mae mendapati teman indekosnya itu hendak mengiris pergelangan tangannya.
"Kalau mau mati berbuat baiklah dulu. Cari bekal. Jangan bodoh!"
Demi mendengar perkataan itu, Sekar menangis sejadi-jadinya. Ia merasa bodoh dan tenggelam dalam ketidakpastian. Bagaimana nasibnya setelah ini? Bagaimana nasib si jabang bayi bila bapaknya tak mau mengakui? Sekar hanya bisa menangis dan menangis hingga malam yang larut pun turut khusyuk mendengar tangisannya. Ulan Mae tak habis pikir dengan kelakuan temannya itu. Tak sepatah kata pun keluar untuk menerangkan apa yang sedang terjadi.
"Kalau kau bukan temanku, sudah dari kemarin kubiarkan saja kau mati. Demi Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi padamu?" Ulan Mae memandangi Sekar yang sesenggukan di sudut kamar. Si perempuan hanya menggeleng. Benar-benar hari yang menjengkelkan bagi Ulan Mae.
*
Tanpa sepengetahuan Ulan Mae, Respati datang menjenguk Sekar di suatu siang. Mengajak pergi bertemu dengan orangtua perempuan itu. Ia berkata ingin bertanggung jawab setelah melihat keadaan Sekar yang semakin menyedihkan. Tentu saja itu membuat hati Sekar sedikit merasa lega lantaran si jabang bayi akan jelas siapa bapaknya kelak. Dengan mengendarai sebuah mobil sedan sewaan, mereka segera bertolak dari indekos.
Perjalanan berhenti ketika malam mulai merangkak naik. Respati memutuskan untuk rehat sejenak di sebuah warung kopi setelah letih mulai menghinggapi tubuhnya. Tanpa mereka sadari, mereka dibuntuti seseorang diam-diam. Seorang pemuda yang sakit hati oleh sebab perempuan pujaannya telah direnggut dengan cara yang menyesakkan batinnya. Selepas penatnya berangsur-angsur reda, Sekar dan Respati melanjutkan perjalanan. Malam makin tua. Melihat Sekar terlelap dalam tidurnya, sesuai rencana yang telah tersusun di batok kepala Respati, kini saatnya ia berputar haluan menuju sebuah pedalaman yang jauh dari pemukiman. Melewati alas (3) yang cukup lebat dengan pohon-pohon akasia. Sampai pada ujung alas itu, sebuah areal pemakaman kuno yang konon katanya angker serta tak terawat menyambutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ULAN MAE
General FictionDia hanyalah seorang perempuan. Sama seperti kalian. Mendamba hidup yang normal. Bahagia. Hidup yang tidak melulu tentang sial. Dia hanyalah seorang perempuan yang dihadapkan dengan kematian dua suaminya. Malang dan nyaris gila. Oleh sebab rentetan...