#4

53 2 0
                                    


Pernikahan mereka hampir menginjak satu tahun dan kado terindah yang Respati hadiahkan kepada Ulan Mae kembali tertanam dalam rahimnya. Ia hamil setelah mengalami dua kali keguguran yang membuatnya hampir tidak ingin memiliki anak lagi. Saat itu, di suatu siang Ulan Mae duduk-duduk memandangi lukisan yang baru saja ia selesaikan. Cat yang masih basah pelan-pelan mengering disorot teriknya matahari. Saat itulah ia merasakan mual luar biasa. Tidak sempat berlari menuju kamar mandi, Ulan Mae muntah di halaman rumah. Di samping lukisan yang baru diselesaikannya, perempuan itu meringis sembari mengusap peluh. Ia segera meraih telepon genggamnya, menghubungi sang suami. Disertai senyum kecut menahan mual, Ulan Mae memberi kabar, "Rasa-rasanya benihmu mulai tumbuh." Di seberang telepon Respati terdengar mengucap syukur. Disahutnya segera, "Semoga kali ini tidak keguguran, Sayang. Tunggulah aku segera pulang."

*

Rona senja menjingga di langit Muntilan tatkala sebuah mobil jip hijau pupus merapat ke halaman rumah menurunkan dua lelaki asing. Tubuh mereka tegap meski yang satu tampak lebih tua dan tambun. Ulan Mae meletakkan gagang sapunya menyambut kedatangan mereka.

"Cari siapa, Pak?" tanpa ditanya, Ulan Mae menjawab gurat-gurat penasaran mereka yang mencuri-curi pandang ke dalam rumah.

"Bapak ada?" lelaki bertubuh tegap menyahut tenang. Sementara yang tambun mengawasi di belakangnya.

"Maaf, ada keperluan apa dengan suami saya?"

Kedua lelaki saling tatap dan geming. Mereka berusaha tetap tenang meski air muka mereka begitu kelam. Suara langkah dari dalam rumah mendekat. Yang dicari-cari keluar seraya menyapa dengan senyum semringah. Suasana hatinya sedang bungah sebab di rahim istrinya akan menggumpal daging dan darah. Jabang bayi yang dinanti-nanti.

"Bapak harus turut serta bersama kami," kata si tubuh tegap.

"Ada perlu apa, Pak?" Respati mengernyit tak menahu.

"Nanti kami jelaskan sambil di jalan," si tambun menimpal tenang meski rahangnya mulai mengeras. Tangannya mengepal sedari tadi. Degup jantung Ulan Mae berdetak kencang menaruh curiga pada dua lelaki di depannya.

"Mari, Pak," si tambun menarik bahu Respati yang masih dilanda kebingungan. Mereka bertiga segera lenyap setelah mobil jip hijau pupus itu melesat. Ulan Mae meratap, meracau, lantas merapal doa-doa seraya mengelus-elus perutnya. Perempuan itu tidak akan menyangka bahwa itu adalah tatap muka yang terakhir dengan suaminya. Ia bahkan tidak menyadari suaminya telah diculik secara halus oleh dua lelaki yang belum pernah ia kenal. Kelak perjumpaan sore itu akan mengingatkan Ulan Mae pada seseorang yang pernah dekat dengannya. Perjumpaan sore yang akan sulit dilupakan ketika senja ikut merayakan kehamilannya. Ketika suaminya sedang bungah (2) lantas menghilang untuk selamanya.

*

Pemuda bertubuh tegap itu bernama Jati. Ia membuka semua ingatan masa lalunya sepanjang perjalanan di dalam mobil jip hijau pupus yang dikemudikan si lelaki tambun. Selama di dalam mobil, tangan Respati diikat. Matanya ditutupi kain hitam dan mulutnya dibungkam dengan lakban. Setiap kali ia berusaha meronta, badannya justru terasa ngilu. Di sebelahnya, Jati sibuk menceracau masa lalunya. Seolah ada satu hal yang ingin diluapkannya pada Respati. Lelaki malang itu di maki, ditempeleng, disundut rokok, dan perlakuan tak menyenangkan lainnya. Respati tak mendapat satu pun kesempatan untuk membela diri. Bagaimana bisa membela diri sementara mulutnya diplester dengan rapat? Sepanjang perjalanan itu deru mobil bersahutan dengan rintih Respati yang kesakitan. Bosan dengan erangan korbannya, Jati memukul tengkuk Respati dengan sangat keras. Dalam hitungan detik, kesadaran Respati hilang.

Mobil jip menyibak rimbun pohon-pohon akasia setelah melewati pemukiman minim penduduk. Menerjang jalan yang berliku lantas berhenti di areal pemakaman tidak terawat. Daun pohon kenanga berserakan dan dikerubungi rumput liar. Di sanalah Respati dipaksa turun. Ikat matanya dibuka, lantas berjalanlah ketiganya memasuki pemakaman tersebut. Respati berjalan tertatih dengan bekas sundutan rokok di tangan dan paling banyak di kakinya.

"Heh, bangsat! Kau masih ingat tempat ini?" Jati memekak geram sementara Si Tambun mengepalkan tangannya, bersiap mendaratkan bogem mentah sewaktu-waktu. Rahangnya mengeras, memendam amarah. Respati bungkam. Mulutnya masih diplester lakban. Sebisa mungkin ia mengusahakan dirinya sadar. Tempeleng demi tempeleng itu betul-betul telak membuat kepalanya pening. Sambil menyeret langkah kakinya, Respati kembali memutar gambaran masa silam. Areal pemakaman yang dulu tak seberantakan ini dan gulma-gulma yang tak sesubur seperti kini. Ingatan-ingatannya membuat lutut bergetar kalut. Jalan setapak sempit yang menyembulkan bebatuan kapur. Respati memejam namun ingatan itu tetap menyeruak, tak kalah pekak dari teriakan Jati di kupingnya berkali-kali. Si Tambun sudah berhenti di depan dengan mata merah nanar menatap jurang di hadapannya. Terasa begitu nyata bagaimana penderitaan adiknya waktu itu.

Ketiganya sampai di bibir jurang dengan pikiran masing-masing. Si Tambun menatap sejenak dasar jurang yang gelap itu lantas memejam. Semilir angin dihirupnya dalam-dalam seolah menyeruakkan aroma tubuh adiknya. Di atas batu besar, Jati duduk bergeming memutar kembali ingatan tentang kejadian di kamar gelap yang menyesakkan hatinya, begitu pedih. Sedang Respati mulai merengek minta ampun. Ia ingin berteriak-teriak minta tolong namun sia-sia belaka. Mulutnya masih dibungkam.

"Kau ingat apa yang kaulakukan pada Sekar?" tanya Si Tambun tenang dan datar sembari melucuti pakaian Respati dan membakarnya untuk meninggalkan jejak. Respati merengek semakin jadi. Kakinya telah diikat dan tubuhnya disungkurkan ke tanah.

"Kau ingat apa yang kaulakukan pada adikku?" ulang Si Tambun, masih dengan suara yang dibuat tenang.

"Sudahlah, cepat kita habisi saja bajingan ini!" teriak Jati.

Si Tambun lantas menarik tubuh Respati agar berdiri. Belum sempurna berdiri, bogem mentah dilayangkan ke muka Respati. Lelaki itu tersungkur lagi.

"Bangun!"

"Bangun, bangsat!" Si Tambun menjambak rambut lelaki malang itu. Dipukulinya lagi. Disuruhnya bangun. Dipukuli lagi. Tersungkur. Dijambak. Berdiri. Dipukuli. Berkali-kali, hingga kepalan tangannya bergelimang darah segar. Darah pelampiasan dendam adiknya yang mati dibunuh. Respati tak sanggup berdiri lagi. Kesadarannya menyurut setelah dua lelaki itu puas meluapkan amarah. Tubuh Respati yang lemah itu diseret lalu dijatuhkan ke dasar jurang.

"Mampus kau!" pekik Si Tambun sambil terbahak puas.

Setelah dipastikan Respati mati. Mereka menghilangkan semua jejak. Membersihkan ceceran darah dan berganti pakaian. Urusan dendam sudah terbalas. Sekar akan tenang. Kenang Jati. Bajingan itu telah mendapatkan karmanya. Pikir Si Tambun semringah.

***


2. Senang.




ULAN MAETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang