sembilan

111 11 9
                                    

"Nih, makan." Dirga menyodorkan kotak makan berwarna biru kedepan Raya.

"Abang tidak makan?" Dirga berdehem sebentar menghilangkan rasa salah tingkahnya karena dipanggil abang oleh Raya. Sedangkan Raya sudah memantapkan hatinya untuk memanggil Dirga dengan sebutan Abang meskipun sedikit canggung.

"Gue mah gampang, yang penting lo harus makan!"

"Kita makan bersama saja." Lalu Raya membuka kotak makan yang dibawa Dirga dan mulai menyuapkan sesuap untuk dirinya. Kemudian menggeser kearah Dirga, menyuruhnya untuk memakan bekal itu juga.

Dirga memandang kotak makan di depannya dengan ragu, lalu melihat Raya yang sedang mengunyah makanan di mulutnya. Akhirnya Dirga menyerah, kemudian menyuapkan sesendok nasi untuk dirinya.

Raya menarik kotak makan dari tangan Dirga. "Gak usah!" Dirga menjauhkan kotak makannya.

Melihat mata Raya yang sedikit meredup membuat Dirga langsung melanjutkan kalimatnya. "Maksud gue, gue aja yang nyuapin." Suara Dirga melembut.

Pipi Raya merona seketika, ketika sendok yang disodorkan Dirga sudah berada di depan mulutnya. Menggodanya untuk segera melahap makanan itu.

Akhirnya mereka menghabiskan satu porsi bekal untuk berdua, dengan Dirga yang menyuapi Raya, sedangkan Raya asik menerima suapan Dirga sambil membaca novel yang dibawanya.

****

"Ray... Ikut aku, ada seseorang yang meminta bantuanmu." Raya menoleh kearah Eksel yang sedang menarik bajunya, berusaha untuk mendapat perhatian dari Raya.

"Dimana?" tanya Raya kalem.

Dirga menoleh, ia menatap bingung Raya yang saat ini sedang berbicara sendiri. Lalu tak lama Raya berdiri meninggalkan Dirga seorang diri.

"Eh, lo mau kemana?" Dirga menarik tangan Raya.

"Sebentar saja. Ini penting." Akhirnya Raya pergi meninggalkan Dirga yang diam kebingungan.

Raya berlari mengikuti Eksel yang saat ini juga berlari. Menerobos dan menabrak beberapa kerumunan siswa yang ada. Karena ini adalah jam istirahat, tak heran apabila lorong sekolah ramai oleh siswa-siswi yang ingin mengisi perut mereka.

"Eksel, Pelan!" tapi Eksel tak menghiraukan seruan Raya, ia terus berlari. Seakan-akan apabila ia terlambat sedikit dapat menyebabkan kekacauan yang sangat besar.

"Awh!" pekik salah satu orang yang tak sengaja tertabrak Raya. Tapi bukannya berhenti dan meminta maaf, Raya tetap terus berlari. Ia takut kehilangan jejak Eksel yang sangat gesit.

"Kurang ajar tuh cewek!"

"Eh Ram, lo gak apa-apa?" tanya hampir semua gerombolan siswa yang kini melingkar mengerubungi Rama. Rama mendengus kasar melihat bercak merah yang mulai merambati tangannya.

Dengan perasaan kesal ia berdiri, lalu menerobos kerumunan yang masih menanyakan bagaimana keadaannya. Ia harus tahu siapa yang berani menabraknya, dan dia harus menerima pelajaran dari Rama.

Sedangkan Raya kini sudah berada ditempat yang dimaksud oleh Eksel, di atap sekolah. Raya mengatur napasnya yang terputus-putus, Raya rasa ia harus sering olah raga.

Kemudian tak lama ia merasakan hawa dingin di belakangnya. Raya berbalik mengahadap ke belakang, lalu menemukan remaja perempuan seusianya dengan wajah putih pucat.

"Kamu yang memanggilku kemari?" tanya Raya, gadis di depannya mengangguk mengiyakan.

"Apa yang kau inginkan?"

"Bantu aku," jawab gadis itu dengan suara berbisik.

"Apa itu?"

"Tolong sampaikan pesanku kepada seseorang," kata gadis hantu.

"Sebelum kau mengatakan pesanmu, siapa namamu?"

"Gisel. Namaku Gisel" jawab Gisel dengan tatapan sedih.

"Oke, Gisel. Sekarang, apa pesanmu dan untuk siapa itu?" tanya Raya.

"Tolong sampaikan pesanku kepada Dio," Gisel berhenti berbicara

"Dio? Si anak nakal itu?" tanya Raya memastikan. Gisel mengangguk menjawabnya.

"Katakan padanya bahwa Mama selalu menunggunya di rumah."

"Hanya itu? Tidak sulit," Raya menganggukan kepalanya.

"Heh! Cewek aneh!" teriak seseorang membuat Raya menoleh kearah asal suara.

Raya mengangkat sebelah alisnya melihat seorang lelaki berjalan kearahnya, ia bingung dengan apa yang dilakukan lelaki ini diatas atap sekolah.

Dengan badan yang sudah nampak memerah dan juga wajah yang kembali pucat karena tak sengaja melihat atau lebih tepatnya menyaksikan keanehan Raya, Rama berhenti tepat tiga meter di depan Raya.

"Lo harus tanggung jawab!" bentak Rama

"Kamu hamil?" tanya Raya dengan tangan yang menutup mulutnya yang terbuka, tetapi tetap dengan wajah datarnya.

"A-apa? Lo gila?" kata Rama tak menyangka dengan apa yang dikatakan gadis didepannya ini. Dia? Hamil? Hah! Sungguh Rama ingin berkata kasar.

Raya mengangkat bahu tak acuh, lalu ia kembali menoleh ke belakang untuk melihat Gisel, tetapi ternyata Gisel sudah tidak ada lagi. Raya sudah bersiap untuk pergi meninggalkan atap sekolah, tetapi Rama menahannya.

"Gue kan uda bilang, lo harus tanggung jawab!"

"Kalau kamu ingin meminta pertanggung jawaban, lebih baik kamu mencari siapa yang dengan seenaknya membuat kamu hamil seperti itu. Bukan kepadaku."

Rama tergagap, gadis ini sungguh luar biasa. Belum pernah Rama menemukan seseorang seperti dia, sungguh ... Ah rasanya tidak bisa dideskripsikan.

"Lagipula, aku tak mengenalmu," lanjur Raya.

"Lo gak kenal gue?" Rama menunjuk dirinya sendiri.

Raya menggeleng, "Tidak."

"Hm, gue Rama, lengkapnya Ramayana," terang Rama yang sebernarnya ia sendiri tak tahu kenapa harus memberitahukan namanya.

"Oke Ana, sekarang biarkan saya pergi."

Mata Rama membelalak lebar, "Ana? Lo manggil gue Ana?"

"Itukan namamu."

"Gue Ramayana! Bukan Ana!" tekan Rama.

Raya mengangguk-angguk seakan mengerti.
"Yayaya, saya tahu siapa namamu, Ana."

"Lo-"

"Sudahlah, biarkan saya pergi. Sampai jumpa Ana,"

Raya pergi meninggalkan Rama dengan tangan yang masih menggantung di udara. Rama benar-benar tak menyangka bahwa ada gadis yang seperti itu, sangat tak menyangka.

*
*
*
*
*
*


Sangat lama, saya tau itu :v
Tapi apa daya, saya sudah dipadatkan oleh jadwal ujian yang menyesakkan. Ini dibuat dengan mencuri-curi waktu selagi bisa. Jadi mohon pengertiannya akan kesalahan yang ada :'

'Kia

RAMA & RAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang