Raya berdiri di depan cermin, melihat sekali lagi penampilannya. Malam ini ia akan pergi menjalankan tugasnya, yang menurut penjelasan Eksel seharusnya ia harus berangkat sebelum jam 9 malam. Karena Dio akan pergi balapan liar pukul 10 malam.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Raya pada Eksel
"Terlalu hitam."
Raya mengerutkan keningnya, "tapi aku suka hitam."
"Terserah kau saja. Ayo pergi sekarang."
Raya langsung berdiri, melihat penampilannya sekali lagi lalu berjalan menuju pintu. Raya mengamati keadaan rumahnya sekarang. Papa dan ibunya sedang pergi, sedangkan Dirga mungkin sedang menonton drama korea di kamarnya. Jadi Raya aman.
Supir ojek online yang ia pesan tadi sudah mengirimkan pesan bahwa telah sampai di depan rumahnya. Dan tanpa berpikir dua kali Raya keluar dari rumahnya dengan meninggalakn pesan yang ia selipkan di pintu kamar Dirga.
Suasana klub malam nampak seperti biasanya. Ramai. Dan itu bukan Raya sama sekali. Sedikit canggung Raya memasuki klub tersebut, rasa tak nyaman langsung menyerang Raya. Rasanya ia ingin sekali keluar dari sini, dan berjanji tak akan pernah kesini lagi.
Eksel datang tak lama, berdiri disampingnya dan menunjuk diujung ruangan. Dimana terdapat segerombolan cowok yang tampaknya sangat menikmati kegiatan mereka.
Raya berjalan menuju gerombolan itu, yang membuat semua mata orang disana memandangnya aneh. Aneh karena gaya pakaiannya yang malah nampak seperti seorang teroris daripada orang yang akan pergi ke klub. Bukan Raya kalau tak bisa menulikan telinganya dari semua bisikan dan cibiran. Hampir sepanjang hidupnya Raya sudah sering mendapatkan perlakuan seperti itu, jadi Raya rasa itu bukan hal yang perlu dibesar-besarkan.
Dio dan kawan-kawannya menghentikan permainan mereka, ketika Raya mendekati meja.
"Wiiihhh ... Siapa nih?"
"Itu cewek atau cowok?"
"Wah! musuh lo ya?"
"Hei, udah-udah. Biar gue yang nanya ke orang bisu ini." Dio berdiri, menggeser tubuh wanita yang ia sewa tadi.
"Siapa lo?" tanya Dio. Raya hanya diam, menatap kedalam mata Dio dengan datar.
"Emang gagu nih orang!" Dio mendecak.
Raya menyentak tangan Dio yang akan melepas topinya. Dio semakin geram akan ulah orang di depannya ini. "Gue nanya baik-baik. Siapa lo? Dan apa mau lo?" tanya Dio dengan penuh penekanan.
"Pulang Dio. Mama menunggumu."
Mata Dio melebar, tangannya langsung mencengkeram rahang Raya. "Lo! Siapa?" Matanya menajam menatap mata Raya yang datar. Semakin menguat ketika Raya tak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Pulang. Gisel bilang mama menunggumu."
Cekalan tangannya mengendur, tetapi langsung mengeras kembali. "Lo kenal Gisel darimana?"
Raya melepaskan cengkraman tangan Dio dengan mudah. Dio menghela napas berat.
"Udah lah, mending lo pergi sekarang. Jangan ngomongin omong kosong lagi. Sebelum gue berubah pikiran," kata Dio sambil memejamkan matanya.
"Weh bos. Mau lo lepasin langsung?" Kata salah satu teman Dio.
"Terserah kalian mau apain dia. Gue udah gak mood," kata Dio berjalan menjauh dari meja.
Teman-teman Dio terlihat senang akan persetujuan dari ketua mereka. Salah satu pria paling tampang nomor dua setelah Dio maju kehadapan Raya. Menyentak tudung Raya dan langsung menarik masker yang dipakainya.
"Wohoooo!" Seru beberapa orang yang melihat kejadian itu. Ryan, pria yang membuka masker Raya, menyeringai senang saat ia tahu bahwa orang di hadapannya adalah perempuan. Cantik pula.
Ryan akan menyentuh wajah Raya ketika dirasakannya tinjuan di rahangnya, yang membuat Ryan jatuh tersungkur di lantai. Kejadian itu membuat suasana klub menjadi hening, tetapi itu tak lama karena semua orang kembali ke kegiatannya masing-masing.
Raya menoleh ke lelaki disampingnya, yang meninju Ryan. Lelaki itu mengenakan pakaian yang hampir sama dengannya, bedanya ia memakai jaket dan sepertinya lelaki itu memakai jas hujan untuk melindungi pakaian yang ia pakai. Raya mengerutkan keningnya. Memangnya diluar hujan?
Lelaki itu menoleh kearah Raya dan langsung menarik Raya untuk keluar dari tempat laknat itu. Mereka berlari sampai ke area parkiran yang sepi.
"Lo bego atau tolol sih?"
Raya diam. Ia sibuk mengatur napasnya.
"Kenapa gak menghindar, atau lari kek atau ngelawan kek. Malah diem aja."
"Cukup. Diam dulu, aku capek," kata Raya.
Lelaki itu akhirnya diam. Sebenernya ia juga lelah, berlari diantara kerumunan orang didalam klub yang ramai itu tak mudah.
"Anjir. Semua gara-gara Reno blangsak. Awas aja besok!"
Raya menoleh mendengar gerutuan Rama. Dilihatnya pakaian Rama yang ternyata lebih parah dari yang ia kenakan.
"Apa tadi hujan?" tanya Raya.
"Gak."
"Lalu kenapa kamu memakai jas hujan?"
Rama menghela napas lelah. Ia malu sebenarnya, sangat malu. Memakai jaket yang berlapis jas hujan bukanlah kemauannya. Tetapi semua itu karena Reno! Reno mengabarinya bahwa ia berada di klub malam dan meminta bantuan Rama untuk datang. Reno berkata bahwa hal itu sangat penting yang mengharuskan Rama segera datang ke lokasi. Ini pertama kalinya Rama datang ke klub malam, ia tak tau harus berpakaian seperti apa. Dan membayangkan bahwa klub malam berisi banyak wanita yang memakai pakaian minim bahan, membuatnya melapisi pakaian yang ia kenakan.
Dan sekarang Rama sangat menyesal.
Rama mendongak melihat Raya yang tiba-tiba berdiri. Mengernyitkan dahinya saat Raya berjalan menuju pintu klub malam tadi. Tetapi ada yang aneh dengan caranya berjalan. Seakan-akan itu bukan Raya, seperti Raya telah terhipnotis arau kerasukan, karena ia berjalan dengan gamang.
Tetapi Rama sekarang tak peduli. Ia masih merasa kesal dengan kebohongan Reno. Yang menurutnya adalah ajang balas dendam karena kejadian kemarin. Rama berdiri dengan gelisah, membayangkan Raya masuk ke dalam kandang serigala. Ia mempunyai adik perempuan dan ibu yang ia sayangi, membayangkan bahwa seorang wanita disakiti hal itu juga ikut menyakiti hatinya.
Persetan dengan Reno. Ia harus menyusul Raya ke dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAMA & RAYA
Teen FictionBukan tentang siapa yang memuja kelebihanmu. Tapi tentang siapa yang memelukmu ketika tahu kekuranganmu-