14-Mantan

1.7K 134 0
                                    

   Tangan Veraya terkulai di kedua sisi tubuhnya, sebelum ia benar-benar tertelan alam bawah sadarnya, tubuh tegap itu menariknya secara kasar dari kerumunan manusia yang seperti kawanan semut mengerubungi makanan manis.

Lelaki itu membopong Veraya ke dalam mobilnya dan merebahkan gadis itu di jok belakang. Mobil segera melaju membelah keramaian Ibukota. Meninggalkan parkiran mall yang tampak padat merayap. Sesekali lelaki itu menoleh ke tempat Veraya yang tak sadarkan diri, tadi ketika ia keluar dari mall, ada artis yang akan mengisi acara di mall itu. Sehingga keadaan terlihat ramai bak semut menyambut sang idola mereka datang, dan gadis itu hampir saja jatuh andai saja ia tidak menariknya keluar dari kerumunan tadi.

   Veraya melenguh, matanya terbuka perlahan merasakan kepalanya yang berdenyut seperti dihantam sebuah godam. Ia mengenali mobil ini, Veraya yakin ia tidak berada di dalam mobil. Seingatnya dia tadi terjebak dalam keramaian, kenapa sekarang malah berada di dalam mobil yang asing?

   "Sudah sadar?", Veraya tersentak, matanya membeliak ke depan ketika suara bass itu menyapanya.

"Penculiiikkkkkkk! Turunkan gue, gue nggak punya duit, gue bukan orang kaya, turunin gue. Toooolooonnngggg!" gadis itu menjerit hsiteris dengan segala pikiran buruk yang melintas di kepalanya. Tangannya memukul membabi buta pada pundak lelaki yang sudah menolongnya itu. Veraya juga berusaha menghentikan mobil.

   "Lo turunin gue nggak! Gue bisa telpon polisi sekarang, ayo turunin, gue nggak mau di culik! Gue ini jelek, nggak bakalan laku kalau dijual! Turunin stooooppppppp!!"

   Mobil itu berhenti mendadak saat Veraya mengeluarkan seluruh frekuensi suaranya. Lelaki itu mengurut dada demi mencerna teriakan histeris gadis itu. "Nih udah berhenti, lo pikir gue niat menculik? Sudah syukur gue tolong tadi." lelaki itu menatap Veraya dengan tajam dan penuh kejengkelan. Sedangkan Veraya tiba-tiba bungkam saat melihat dengan jelas bagaimana rupa lelaki yang ia tuduh tengah menculiknya itu. Wajah tampan dengan bulu-bulu kasar yang tumbuh disekitar dagu dan kumisnya, membuat Veraya seolah menemukan sosok lelaki idaman dengan segala kesempurnaan. Veraya hampir tak berkedip menatap wajah itu, ia bahkan tak sadar jika tangannya dengan sangat lancang meraba wajah brewok si penculik. "Luar biasa", Veraya berbisik. Nafasnya terengah seperti orang yang kehabisan oksigen. Si lelaki malah mengernyit bingung, tadi gadis ini menjerit histeris dan menuduhnya penculik, sekarang meraba wajahnya dengan tatapan ingin memangsa. Wanita seperti apa ini?.

   "Jangan-jangan kamu yang ingin memperkosa gue!"

Sial!

Veraya terlempar dari khayalan manisnya. Dia menggeram marah menoyor dahi lelaki di hadapannya dengan jari telunjuknya. "Mesum!" Pekiknya dengan segera bergegas keluar dari mobil setelah mengambil tasnya yang tergolek manja di kursi jok. Gadis itu menutup pintu mobil secara kasar hingga lelaki itu terkesiap.

"Dasar cewek aneh, bukannya bilang terimakasih, malah bertingkah seperti alien"

                                 **

   Prilly tertegun, matanya membulat tanpa sadar. Wajah tampan serta senyum manis ini hanya di miliki seseorang yang pernah menghuni ruang hatinya, dan seseorang itu adalah Verrel Anggara.

Prilly memejamkan matanya saat Verrel mengecup penuh sayang keningnya. Prilly membuka mata, benar-benar menyadarkan diri kalau ini bukanlah fatamorgana. Verrel berdiri tegap di hadapannya, tangan kasarnya menangkup wajah Prilly. Irish mereka saling bertatapan. Prilly tahu, mata Verrel menyimpan kerinduan besar terhadapnya, menyimpan cinta yang selalu ia berikan dari dulu hingga sekarang. Prilly tahu itu. Tapi Prilly tidak bisa bohong, perasaannya pada Verrel sudah berubah. "Aku kangen kamu, Bie." Verrel bahkan masih memakai panggilan sayang itu untuk Prilly.

    "Tamunya nggak di suruh masuk tuh, capek kayaknya berdiri di depan pintu" suara menyebalkan Leon membuat Prilly menggeram, lelaki itu pandai sekali mengobrak abrik perasaan seriusnya. "Ayo, Bu." entah mengapa mendengar panggilan itu, Verrel makin merekahkan senyumnya. Ternyata Prilly masih juga mau memanggilnya Bubu. Padahal Verrel tahu, kalau kemarin mereka bertemu, Prilly bahkan hanya menyebut namanya saja.

Keduanya berjalan beriringan menuju ruang tamu, benak Prilly sudah di penuhi berbagai pertanyaan akan Verrel yang tahu keberadaannya di rumah ini, Veraya saja sampai saat ini belum ia hubungi sama sekali.

   "Gimana kabarnya bro, baikkan? Sorry ya, Ly, aku yang ngundang Verrel ke sini" Leon membentuk jarinya sebagai permintaan maaf.

   "Duduk, bu. Mau minum apa?"

   "Nggak usah repot, aku cuma mau ketemu kamu. Tadi Leon menghubungi aku, bilang kalau kamu tinggal sama dia. Aku nggak tahu lho kalau kalian itu sodaraan, padahal aku sama Leon sudah berteman sejak kuliah." Verrel duduk di dekat Prilly sembari memperhatikan raut Prilly yang tampak berbeda, Verrel merasakan itu, tapi dia tidak tahu apa penyebab Prilly terlihat chubby dan sedikit berisi.

   "Aku tinggal ke belakang ya, Rel, Ly. Mau ngumpanin anak asuh, kasihan Ibu tirinya pagi ini belum sempat kasih makan. Heheee" Leon berlalu cepat karena melihat Prilly mendelikkan matanya tajam.

   "Kalian bener sodara kan?" Prilly mengangguk pelan. Ia menerawang jauh memikirkan kerumitan hidupnya, rasanya Prilly ingin meminta agar menghilang saja dari muka bumi ini dari pada terus merasakan kehidupan yang menurutnya sangat aneh dan tidak adil.

   "Iya. Kita sodara tiri." wanita itu tidak ingin memperpanjang kalimatnya, berharap juga agar Verrel tidak bertanya lebih jauh soal itu. Ia juga tidak menyangka kalau Leon berteman dengan Verrel.

    Mata mereka kembali bertemu dan bersipandang. Dalam keterdiaman mereka, Verrel berharap ceritanya dengan Prilly akan kembali seperti dulu. Ia tahu kalau Prilly sudah berubah, dan Mamanya mengharapkan sekali Prilly menjadi bagian keluarga Anggara. Hati boleh saja memiliki pengharapan, namun apa daya ketika yang d iatas sudah mengatur segala sesuatunya tanpa bisa manusia bisa mencegah itu semua.

Dalam pengamatan Prilly, ia yakin kalau Verrel belum tahu akan kehidupannya yang kini benar-benar berubah, dari status hingga perasaannya. Prilly juga mengharap agar lelaki ini tidak memintanya kembali, karena bagai manapun itu tidak mungkin bisa terjadi, dan Prilly sangat yakin kalau Verrel akan sakit hati dengan penolakannya nanti.

"Katakan saja apapun yang mau kamu katakan, bu."

Verrel merenung sejenak, perasaanya mendadak tidak menentu karena kemungkinan buruk itu akan terjadi, makanya sebelum memulai, Verrel menarik nafasnya dalam-dalam, menghembuskannya dengan sangat perlahan. "Aku ingin kita balikan, Bie. Mama nanyain kamu terus, aku juga selalu kepikiran kamu selama ini, tenang itu pas tahu kamu ada sama Leon. Rasanya mimpi banget, aku takut kamu kenapa-napa di luaran sana. Aku cuma mau kita seperti dulu lagi, jadi aku bisa selalu jagain kamu setiap saat." Prilly terdiam. Ia sudah menduga Verrel akan mengatakan ini, mengenal Verrel beberapa tahun sudah tentu membuat Prilly sangat mengetahuinya.

Memejamkan mata sejenak dan membuka perlahan, Prilly mengulas senyum pada Verrel yang menanti sebuah jawab dengan hati was was. "Apa Leon belum cerita soal aku?" Verrel menautkan alisnya merasa bingung. Cerita apa? Verrel bahkan baru kemarin di hubungi Leon, dan mereka tidak bercerita banyak selain mengatakan Prilly ada di rumah Leon.

Prilly menarik tangan lelaki itu dan memposisikan di atas perutnya yang baru menonjol kecil. Verrel terkesiap, wajahnya berubah pias. "Ini?" bibir Verrel bergetar tak mampu melanjutkan kalimatnya. "Aku sudah menikah. Sekarang aku lagi hamil."

Ucapan Prilly bagai tamparan keras untuk Verrel, lelaki itu menggeleng kuat karena merasa tidak percaya. Dia bahkan harus menekan dadanya demi menentramkan segala emosi yang membuatnya takut lepas kendali. Ternyata Barbie-nya bukan lagi miliknya. Untuk semua pemikiran akan masa depan yang indah bersama Prilly itu, harapan itu ia buang jauh-jauh. Verrel menenangkan perasaannya yang tadi mendadak kalut. "Maaf aku nggak tahu hal ini. Maaf karena aku terlalu banyak mengharap." Verrel mengambil nafas sejenak dan berusaha tersenyum menatap Prilly. "Kita masih temankan? Mama pasti seneng kalau tahu kamu sudah nikah dan mau punya anak. Aku minta maaf karena nggak tahu Bie."

Verrel tersenyum lemah, bisa apa lagi ia sekarang selain memberikan selamat pada Prilly dan meminta sebatas pertemanan. Andai saja Prilly mengatakan ia memiliki kekasih, itu bukan masalah besar bagi Verrel dan ia bersedia memperjuangkan Prilly. Tapi ini masalah berbeda, Prilly sudah menikah dan hamil, tentu saja itu membuat Verrel tak berkutik. Dan Verrel hanya mampu menelan kembali semua impiannya untuk membangun mahligai bersama Prilly.
Barbienya telah menjadi istri orang lain.

Karena cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang