Tante Maya membawa nampan berisikan greentea dan camilan ke ruang keluarga. Di sana sudah menanti anak-anak dan calon menantunya."Ma, fitri kok ini sih? Fitri maunya Jus," rengek Fitri sambil mencebikkan bibirnya ketika melihat minuman yang di bawa Maya.
"Bawel lu ah dek." Sahut Andre gemas.
"Buruan di makan! Habis itu kalian tidur, ini sudah malam." Tegur Prilly sambil menyesap greenteanya. Dia merasa menjadi seorang Putri di dalam istana keluarga Al-Harun ini.
"Tapi ... Fitri mau jus, kak ...!" Rengek gadis itu sambil mengelus tangan Prilly.
"Oke, kakak buatin ya, tunggu sebentar." Prilly segera beranjak pergi menuju dapur.
"Ali belum pulang, Prill?" Maya melempar tanya setelah mereka melanjutkan obrolan kembali. Gadis itu terdiam untuk beberapa saat, dia bingung harus menjawab apa. Dia sendiri tidak peduli dengan Ali. Dan tidak tahu di mana keberadaan lelaki itu.
"Belum Ma, masih sibuk mungkin." Jawab Prilly sambil mengulas senyum.
"Jangan-jangan Abang cari cewek baru kak!" Celetuk Fitri asal, kontan saja Andre dan Maya melotot ke arah gadis belia itu.
"Biarin aja Fit, kalau masih cantikkan Kakak mah, kakak gak perduli." Prilly menyahut santai
"Nah, kalau cantikan cewek di luar sono gimana, kak."
"FITRIIII!!"
Maya dan Andre langsung menjitak kepala Fitri dengan geram.
"Prill, jangan dengerin Fitri ya. Oh ya, coba kamu telpon Ali, tanyain dia di mana. Ini udah hampir jam 10 malam lho, Prill."
Prilly berusaha mendengarkan perkataan calon mertuanya itu.
"Iya Ma, Prilly ke kamar dulu ya," pamitnya seraya meninggalkan area ruang keluarga dan naik ke lantai atas, tepatnya di salah satu kamar yang telah di peruntukkan untuknya menginap.
Sudah seminggu pertunangan mereka, Prilly merasa tetap tak peduli dengan apa yang Ali lakukan di luar sana, yang penting segala kebutuhannya terpenuhi.
"Hallo Li, kamu di mana? Cepat pulang."
'Bukan urusan Kamu, ingat perjanjian kita, maaf aku sibuk!'
Klik
Prilly tercenung mendapat jawaban seperti itu. Yasudahlah, dia sadar kalau dirinya hanya alat untuk mencegah Mama Ali mencarikan jodoh terus menerus. Begitupun sebaliknya, dia hanya menjadikan Ali sebagai mesin uang.
Apa pedulinya? Apa yang Ali lakukan itu haknya.
Prilly mengganti pakaian dan merebahkan tubuhnya di atas kasur kingsize empuk, beberapa kali Prilly mencoba memejamkan mata namun tak bisa. Ia sesekali melirik jam dinding yang terdapat di ruangan itu. Kepikiran Ali? Di mana pria itu belum pulang sampai selarut ini?
**
Ali menggeliat pelan sambil mengerjap dan meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Pria tampan itu beranjak dari peraduannya ketika melihat jam dinding yang tertempel di ruangan itu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Dia memang bangun agak siang karena libur hari Sabtu. Semalam dia lembur, dan itu membuat tubuhnya lelah.
Setelah mandi Ali segera turun ke bawah. Aroma masakan mulai tercium. Dari aromanya saja sudah sangat menggiurkan.
"Tumben Mama masak sepagi ini," gumamnya sambil menuju arah dapur.
Ali sedikit terperangah ketika melihat pemandangan di depannya. Sosok gadis mungil berambut pirang terlihat dengan gesitnya sedang memasak di Pantry. Tubuh mungil yang berbalut apron hijau itu berjalan ke sana ke mari untuk mengambil beberapa masakan yang telah jadi. Ali berdecak sambil mendekat dan membaui aroma dari masakan Prilly.
"Enak nih," pujinya sambil mencicipi.
Prilly hanya bereaksi acuh tak acuh menanggapi pujian Ali. Dengan isyarat gerakan tangan, Prilly meminta bantuan pada Ali untuk membawakan piring masakan ke ruang makan. Ali mengangguk mengerti dan menuruti permintaan Prilly. Prilly sudah melupakan kejadian semalam dan tidak ingin mengungkitnya lagi. karena benar kata pria itu, dia bahkan tidak punya hak akan diri Ali. Begitupun sebaliknya.
Di meja makan, keluarga Al-Harun telah berkumpul menanti sarapan siap. Mereka sangat akrab dan memulai makan pagi mereka dengan di selingi candaan hangat.
"Kak Prilly, besok ajarin Fitri masak, ya."
"Hemm, Fitri masak? OMG hellooo ... apa kata duniaaa," Andre meledek sambil bergaya alay.
Fitri hanya mencebikkan bibirnya ke arah abang keduanya itu.
"Hei, makan gak boleh berantem!" tegur Prilly menengahi.
"Ya ..., memang seperti itu Prill mereka berdua. Sudah gak heran lagi, mama dan Ali sudah terbiasa." Sahut Maya.
Prilly mengangguk mengerti. Mereka lantas melanjutkan makan pagi mereka dengan keakraban yang begitu hangat tercipta. Ali kadang tak mengerti kenapa gadis seperti Prilly bisa begitu mata duitan. Beda dengan sifat luar kemarin-kemarin, kini Ali mulai sedikit mengenal karakter gadis mungil itu.
**
"Kamu yakin, Prill?"
Gadis itu hanya menganggukkan kepalanya sambil meneliti gaun pengantin adat salah satu daerah, di hadapannya.
"Tapi gak cocok kalau temanya di pantai sama gaun ini? Gak nyambung Nyonya!" Decak Ali sambil ikut meneliti desain indah dan unik gaun mahal yang terpajang di butik itu.
Prilly lantas menolehkan wajahnya pada Ali, dia mengernyit ketika mendengar kata 'Nyonya' yang Ali bilang tadi.
Inikan cuma pernikahan biasa, bukan berdasar cinta. Hanya sebuah perjanjian konyol dengan pendapatan saling menguntungkan semacam simbiosis mutualisme. Prilly membantu Ali agar terbebas dari perjodohan konyol yang dibuat Nyonya Maya, sedangkan Prilly boleh meminta uang, barang dan apa pun sebagai balasan yang setimpal. Sungguh sangat sinetron dan drama pikiran Prilly. Bagaimana lagi, tekanan hidup membuatnya berpikiran singkat. Daripada melarat, lebih baik mengorbankan secuil statusnya.
Satu lagi, perjanjian mereka tidak akan mengusik kedua belah pihak. Tidak ada larangan kalau suatu saat nanti pergi ke mana saja dan pergi bersama siapapun.
"Terus gimana dong? " Prilly tampak cemberut dan menatap sayu pada gaun yang di inginkannya itu.
"Prill, cari gaun yang sesuai tema kita aja," bujuk Ali.
Lagi! Prilly mencebikkan bibirnya dan memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Oke, kita beli gaun ini, tapi ... resepsinya nggak di Bali, ya?!" Kontan saja Prilly membulatkan bola matanya. Atmosfir di ruangan itu tiba-tiba berubah panas karena gadis itu seperti bom yang siap meledak.
"Hey! Sekalian aja gak jadi nikahnya! Biar aja kamu di jodohin mama Maya sama gadis jalang!" Kesalnya.
Tangannya tampak terkepal kuat di sisi tubuh. Ali hampir saja tertawa kencang melihat ekspresi Prilly seperti itu.
"Oops, sorry. Baiklah, kita lihat gaun pengantin yang lain lagi. Siapa tahu cocok dengan tema pantai." Ali merangkul bahu Prilly, untuk kembali memasuki butik. Karena mereka sempat keluar, demi melanjutkan perdebatan absurs mereka.
Perlahan hati Prilly mulai tenang kembali. Tidak ingin membuat suasana jadi rusuh kalau dia membantah. Bisa gagal total pernikahan mereka yang akan di adakan di Pulau Dewata itu.
Katanya cuma nikah kontrak, tapi pakaian pengantinpun ribet ia memilih. Dasar perempuan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Karena cinta (TAMAT)
RomancePrilly hannyalah gadis biasa yang terjebak dalam masa lalu kelam keluarganya, dia bertekad tidak akan pernah jatuh cinta dan menganggap para pria hanya permainan. Namun apa yang terjadi jika hanya karena materi ia rela menyerahkan diri terikat dalam...