Hitam langit menyelimuti dunia atas. Terpaan angin begitu menusuk. Hening. Sunyi. Didapati di ruangan dengan nuansa hitam putih seorang gadis duduk tepat didepan jendela.
Binar mata hitam dan teduh berubah menjadi gelap, hanya tatapan kosong yang dapat terlihat. Melamun. Hampa sudah hidupnya.
Isak tangis Shabilla tak kunjung berhenti. Tak hanya mata yang mengalirkan air matanya, hatipun demikian. Tangan kanannya memangku dagunya yang melemah. Satu kali mengerjap, ribuan tetesan air mata mengalir.
Sedikit tetesan air hujan menambah suasana pilu malam ini. Hatinya rapuh. Tak kuasa melihat kejadian tadi sore. Buih buih kecil hatinya mulai meninggalkan kelompoknya.
Sesorang yang saat itu menjadi sosok yang terbaik baginya, telah pergi,telah hilang. Sahabat tak akan melakukan itu tanpa alasan.
Nuansa ruangan persis dengan kehidupannya. Hatinya tergerak untuk mengambil sebuah benda berwarna putih persegi panjang bertuliskan asus. Dibukanya, dan telunjuknya menekan pada tombol on. Jari jemari mulai menari diatas keyboard laptop. Tertuanglah seisi hati dan pikiran Shabilla. Beberapa kali mengerjap diikuti keluarnya luapan kesedihan.
Seorang sahabat telah menghianati janji sucinya. Menusuk dari belakang. Sakit rasanya mendengar kata kata itu.
Aku akan menghilang dalam kegelapan. Hilang dari kehidupanmu. Tak masalah bagiku kehilangan sosok yang sangat berarti dalam hidup, tapi masalah itu muncul dalam hatiku.
Hati tak sekuat diriku. Hati lebih rapuh. Bahkan saat ini telah patah. Patah karena sahabat.
Tetesan tetesan air matanya digambarkan oleh gerakan jarinya. Mengetikkan sebuah kalimat yang tersusun penuh makna.
Terdengar suara dari balik pintu kamar Billa.
Pintu terbuka secara tiba-tiba, Shabilla tak terlalu menggagas siapa seseorang yang datang menuju kamarnya.
"Billa lo kenapa?" tanya seseorang yang mulai melangkah mendekati Billa yan terduduk didepan jendela.
Tak ada jawaban. Air mata semakin mengalir deras. Dipeluknya tubuh sang adik erat erat.
Sekarang semua membisu. Ajik seolah olah tau apa yang sedang dirasakan oleh adiknya itu. Sedikit menghangati tubuh Billa yang begitu dingin.
Suara lirih terdengar dari bibir tipis Shabilla, "Kak?"
Ajik tak menjawab, hanya dengan mengangkat alis berupa jawaban dari tanya adiknya.
Lagi-lagi punggung Ajik tertarik oleh tangan mungil Shabilla. Tak dapat mengungkapkan dengan kata kata. Hanya mata yang mampu meluapkan.
"lo kenapa? Cerita sama kakak kalau ada masalah, jangan dipendem sendiri" jari jemari Ajik membelai lembut rambut hitamnya.
Billa berfikir dua kali untuk menceritakan yang dialaminya untuk saat ini. Billa ragu. Ia tak ingin membebani pikiran kakaknya.
Billa menggelengkan kepala tanda ia tak mau Ajik tau masalahnya.
"Kakak ngerti, kakak gak akan maksa lo buat cerita sama kakak" –menghembuskan nafas lewat mulutnya- "Mungkin lo butuh waktu sendiri?"
Shabilla mulai memberhentikan isak tangisnya. Senyum tercetak dari wajah Shabilla, walau hanya kecil. Dibalaslah senyuman itu oleh kakaknya, Ajik.
"Nah gitu dong kan tambah cantik" puji Ajik.
Shabilla tertawa kecil.
***
On February 14th Yogyakarta 24'C