Bab 01: Si Pengemis Cilik

1.2K 18 0
                                    

Cuaca cerah menjelang senja. 

Liok Siau-hong berjalan di tanah pasir berwarna kuning, memperhatikan noda darah mengering yang bercampur tanah berpasir itu. Dengan kedua jarinya ia mencongkel tanah bernoda darah itu, jarinya yang terkenal, jari yang telah mematahkan berpuluh senjata lawan. Ia yakin darah yang mengering bercampur pasir itu adalah darah sahabatnya.

Terakhir kali Liok Siau-hong minum arak bersama It-kiam-seng-hong (pedang sakti menunggang angin) Liu Ji-kong terjadi tujuh bulan berselang. Saat Ji-kong hampir mabuk, ia masih sempat menuang dua cawan besar arak, memaksa Siau-hong menghabiskannya.
"Hari ini harus minum sampai mabuk, bisa jadi selanjutnya kita takkan bertemu lagi, bahkan untuk selamanya," kata Ji-kong.
"Kenapa?" tanya Siau-hong heran.
"Karena besok pagi aku harus pergi, pergi ke suatu tempat dimana bunga tak harum, burung tak berkicau, ayam tak berkeliaran, anjing tak berlarian dan kelinci pun tak bisa buang air."
"Untuk apa ke sana?"
Ji-kong tertawa, lalu katanya, "Kau kan tahu apa pekerjaanku, sudah seharusnya kau tahu untuk apa aku ke sana."
Liu Ji-kong adalah murid angkatan pertama Pa-san-pay, walau dirinya bukan tokoh nomor satu dalam dunia persilatan, namun termasuk juga dalam lima besar. Ilmu andalannya adalah Hwe-hong-wu-liu-kiam dan ilmu meringankan tubuh yang andal. Ilmu pedangnya terdiri dari 7x7 = 49 jurus. Walau kedua ilmu andalannya dibuat kagum baik kawan maupun lawan, namun yang utama adalah wataknya, la seorang yang lemah lembut, namun bisa juga keras bagai baja. la pandai mengendalikan diri, cara berpikirnya cerdik.
Liok Siau-hong tahu, orang macam apakah dirinya.
Kata Siau-hong pula, "Pekerjaan yang akan kau lakukan tentu sangat berbahaya."
Ji-kong tidak menjawab, diam artinya mengiakan.
"Bolehkah aku tahu?" lanjut Siau-hong.
Ji-kong tetap bungkam. la tak ingin Liok Siau-hong tahu apa yang akan dilakukannya, tak ingin rahasianya diketahui siapa pun. Walau terhadap sahabatnya macam Liok Siau-hong, ia tak ingin mengatakannya.
Tanya Siau-hong pula, "Tempat macam apakah hingga kelinci buang air pun tak bisa?"
Ji-kong termangu-mangu, sampai lama baru katanya, "'Walau kukatakan pun belum tentu kau tahu. Tempat itu hanyalah sebuah kota kecil di perbatasan, perbatasan sebelah barat laut. Kota kecil Ui-sik (batu kuning)."
Setelah perpisahan itu, Liu Ji-kong seakan lenyap, tak pernah muncul kembali. Tiada seorang pun tahu ia berada dimana, kecuali Liok Siau-hong. Karena hanya Siau-hong lah orang yang bisa diajak merundingkan sesuatu, memecahkan segala kesulitan. Namun begitu, Siau-hong tetap saja tidak tahu apa yang akan ia lakukan di kota kecil terpencil itu. Siau-hong pun tak tahu sebab apa tiba-tiba saja Ji-kong lenyap begitu saja.

Bukan rahasia lagi, Liok Siau-hong suka mencampuri urusan orang lain, ia juga sangat setia kawan. Begitu tahu Lui Ji-kong lenyap tanpa bekas, ia pun berangkat menuju kota kecil itu, Ui-sik.
Dataran tinggi dengan tanah berwarna kuning. Angin bertiup kencang membawa pasir. Sejauh mata memandang, hanya gundukan pasir kuning yang tertampak. Di situlah kota Ui-sik.
Konon di suatu tempat tak jauh dari kota ini tersimpan harta karun yang tak ternilai harganya, harta karun berupa batangan emas. Tak ada yang tahu berapa banyak harta yang terpendam di situ. Namun tiada yang pernah menemukan harta terpendam itu, melihat pun tiada, yang terlihat hanyalah hamparan pasir kuning yang beterbangan terbawa angin gurun.

Emas memang selalu didambakan setiap orang, namun hamparan pasir kuning yang tidak bertepian adalah momok yang ditakuti semua orang. Mereka yang mencari harta karun itu telah pergi, pergi bersama impian harta karun emas itu. Suasana kota kecil itupun lambat-laun sepi kembali, menjadi kota terbengkalai, jarang ada orang yang mau berkunjung ke kota itu lagi.
Penduduk yang tinggal di kota kecil ini hanyalah mereka yang siap mati di tempat itu, rumah lain mereka tak punya, kemana lagi mereka akan tinggal? Mereka senang bila ada orang berkunjung ke kota ini, namun ketika Siau-hong tiba di sana, mereka hanya memandangnya dengan dingin, tiada orang yang menyambut kedatangannya.
Saat Siau-hong masuk ke kota ini, yang terlihat hanyalah jalanan sepi, hanya terlihat seorang pengemis rudin. Pengemis rudin dengan perawakan kecil, tidak lebih tinggi dari seorang bocah tanggung, pakaian yang dikenakannya pun sudah penuh sobekan. la duduk dengan kemalas-malasan di bawah emper sebuah rumah di sudut jalan. Ia duduk melingkar bagai ulat bulu, mirip anak kura-kura yang sedang menyembunyikan kepala di dalam tempurungnya.
Ia kelihatan sungguh rudin, teman tak punya, sanak pun tiada, apapun ia tak punya. Ia kelihatan ketakutan, duduk melingkar di situ, melingkar bagai seonggok daging, seolah menghindari kemiskinan, kelaparan, hinaan dan pukulan batin yang sedang ia alami. Ia hanyalah seorang bocah, apa yang dialaminya tak mungkin bisa dihindari, walau sepanjang hari duduk meringkuk di sana.
Ketika melihat Liok Siau-hong datang, tiba-tiba matanya berbinar, memancarkan sinar terang. Sepasang mata yang besar dan indah. Waktu memandang Siau-hong, sikapnya segera berubah, seperti seekor anjing kelaparan yang melihat seonggok tahi atau mirip bangsat yang melihat sebutir kedelai.
Liok Siau-hong bukan seonggok tahi, juga bukan sebutir kedelai. Siau-hong tetap berjalan mendekati pengemis rudin itu, ada sesuatu yang ingin ditanyakan kepadanya.
Bila seorang pergi ke suatu tempat asing dan berencana tinggal beberapa hari di sana, tentu yang pertama kali dicari adalah rumah penginapan dan tempat untuk mengisi perut.
"Penginapan?" tanya pengemis rudin itu tertawa terpingkal-pingkal hingga ingusnya meleleh, "kau mencari rumah penginapan? Tempat ini sedemikian miskinnya, kelinci pun tak bisa buang air di sini, lalat dan tikus pun mati kelaparan, mana ada rumah penginapan di sini."
"Satu pun tak ada?"
"Sebuah? Setengah saja tidak ada."
"Lalu kalau ada yang kemalaman di sini, mereka menginap dimana?"
"Tidak kemana-mana," sahut pengemis itu, "memang tidak ada orang yang mau ke sini, mereka lebih suka memutar puluhan li daripada lewat jalanan ini."
Cukup lama Siau-hong mengawasi pengemis cilik dekil ini, kemudian tanyanya, "Begitu miskinnya kota ini?"
Pengemis cilik itu menghela napas panjang, sahutnya, "Bukan cuma miskin, bahkan saking miskinnya semua orang hampir mampus. Aku pun sudah hampir mampus, orang lain walau belum mampus, tapi sudah setengah mampus."
"Tapi kau kan belum mampus."
"Karena aku punya sedikit kemampuan."
"Kemampuan apa?"
"Ingat, aku seorang pengemis, dalam keadaan seperti apapun aku bisa bertahan hidup."
Siau-hong tertawa, lalu katanya, "Tadi kau katakan, semua orang di sini hampir mampus, mana ada yang mau bersedekah kepadamu?"
Pengemis cilik ikut tertawa. "Toaya," ujarnya, "kau adalah tuan besar, mana tahu urusan pengemis cilik macamku ini."
"Oya?"
"Pengemis cilik hidup di tempat seperti ini, orang pun ingin menyembelih aku untuk dijadikan bakso, nyatanya aku masih bisa hidup sampai sekarang, tentunya karena aku memiliki pekerjaan sambilan."
"Pekerjaan sambilan? Apa?"
"Untuk melakukan pekerjaan sambilan itu, orang mesti punya kemampuan, kecerdasan dan pengetahuan yang hebat," kata pengemis cilik sambil membusungkan dada, lalu ia duduk dengan tegak. "Dalam hal ini, akulah ahlinya."

Serial Pendekar Empat Alis (Gu Long)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang