Bab 01: Lopannio yang Tercantik

3.4K 42 3
                                    

Menjelang senja, itulah saat paling ramai dan sibuk di Liong-ih-khek-can, penginapan sekaligus berupa restoran.

Kamar di atas loteng itu seluruhnya dua puluh empat kamar, semua kamar terisi penuh.

Tamunya kebanyakan adalah orang dunia Kangouw yang bersenjata, sungguh sukar dimengerti, tempat yang biasanya sunyi ini bisa ramai secara mendadak.

Sekonyong-konyong terdengar suara derap kaki kuda yang riuh, dua ekor kuda berlari cepat menerjang masuk dari pintu besar.

Suasana di dalam rumah makan itu menjadi heboh, tapi kedua penunggang kuda itu tetap tenang saja di atas pelananya.

Pada samping salah seekor kuda itu tergantung sepasang gaetan bersinar kemilau, penunggang kudanya adalah seorang lelaki bermuka ungu, bergodek, sinar matanya tajam serupa sinar senjata gaetan peraknya.

Ia memandang suasana dalam rumah makan itu, lalu menatap pelayan dan bertanya, "Di mana orangnya?"

"Masih berada di kamar nomor tiga di atas loteng," jawab si pelayan.

"Di mana Kiu-kohnio (nona Kiu atau kesembilan)?" tanya pula si godek.

"Juga berada di kamar sedang merayunya," tutur si pelayan.

Si godek tidak bertanya lagi, kedua kakinya mengempit kencang perut kuda. Sekali tali kekang ditarik, kudanya segera menerjang ke atas loteng.

Gerakan kuda yang lain juga tidak lambat. Penunggangnya adalah seorang laki-laki bermuka codet, bekas luka itu dimulai dari telinga kiri sampai ke ujung mulut sebelah kanan, telinga kirinya pun hilang separuh. Semuanya itu membuat wajahnya kelihatan menakutkan.

Begitu menerjang naik ke loteng, seketika penunggang kudanya melayang dan berjumpalitan dua kali di udara, kaki mendepak, pintu kamar nomor tiga yang berada di dekat tangga pun terdobrak.

Ketika menubruk ke dalam kamar dengan senjata terhunus, ternyata di sana cuma ada seseorang, seorang perempuan.

Perempuan yang bertelanjang bulat, kulit badannya putih mulus, dadanya montok dan kakinya putih dan panjang.

Kejadian demikian seandainya dibayangkan seorang laki-laki, perempuan itu tentunya di atas tempat tidur, tapi perempuan ini berada di langit-langit kamar.

Atap kamar itu tinggi. Perempuan itu duduk di atas belandar seperti kucing betina sedang berahi dan bermeong-meong mencari jodoh.

Tapi perempuan ini tidak bisa 'bermeong', karena mulutnya tersumbat.

Sekali cambuk si muka ungu disabetkan, sepotong handuk kecil yang menyumbat mulut perempuan itu pun terbelit lepas.

"Di mana dia?" tanya si muka codet.

Perempuan itu menarik nafas, jawabnya, "Dia sudah pergi. Dia seperti sudah tahu siapa diriku."

"Menuju ke mana?" tanya si muka codet lagi.

"Didengar dari lari kudanya, sepertinya menuju ke utara, ke arah Ui-ciok-tin," tutur perempuan itu pula. Lalu ia berteriak lagi, "Hei, lekas turunkan aku. Kuikut kalian mengejarnya."

Si muka codet mendengus, "Siapa yang menahanmu, mengapa tidak turun sendiri?"

"Tunggu dulu, keparat itu telah menotok hiat-to kakiku," teriak perempuan itu dengan kelabakan.

Tapi kedua laki-laki itu sudah melompat keluar jendela, di bawah sudah ada dua ekor kuda yang lain dan sedang menunggu mereka. Begitu hinggap di atas pelana, seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya, kedua ekor kuda itu segera dibedal maju.

Mendengar cepatnya lari kuda, perempuan itu pun mencaci-maki sambil memukul belandar, "Keparat jahanam! Semuanya jahanam!"

***

Serial Pendekar Empat Alis (Gu Long)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang