Bab 06: Cara Meloloskan Diri yang Cerdik

1.2K 18 0
                                    

Se-wan terletak di bagian barat kota. Tempat itu adalah sebuah taman bunga dan kebun yang amat besar. Matahari telah terbenam, di bawah naungan pohon, di dalam pondok-pondok dan villa, menyala sejumlah lentera yang terang seperti bintang. Bersama hembusan angin malam, tercium harum bunga, dan juga bau arak. Bulan tampak bundar seperti sebuah cermin yang bergelantungan di salah satu pohon. Dua batang pohon kapas berwarna merah seperti buah cherry terlihat saling bertautan dengan akar yang saling mengait, dan berdiri miring satu sama lain, seperti dua orang kekasih yang saling berpelukan dengan lembutnya.

Liok Siau-hong tiba-tiba teringat pada Sih Peng lagi. Bila Sih Peng muncul di dalam fikirannya, seakan-akan seseorang telah menusuk hatinya dengan sebatang jarum. Ia bukanlah orang yang tidak berperasaan, tapi ia juga tahu bahwa ini bukanlah saatnya untuk bersedih. Ia telah berjalan mengelilingi taman itu sebanyak satu kali. Malam itu tidak banyak tamu wanita di tempat itu, tapi ia masih harus mencari seorang wanita yang mengenakan sepatu merah. Tetapi ia tidak menjadi gelisah.

Karena Kongsun Lan tidak tahu bahwa ada seseorang seperti Liok Siau-hong yang sedang mencarinya di taman ini. Ini tentu saja memberi keuntungan baginya. Bulan yang berbentuk seperti piring dingin telah beranjak naik semakin tinggi di langit malam. Sinar bulan yang kabur dan samar-samar tampak cukup indah untuk memikat hati manusia. Jika Sih Peng berada di sisinya, dia tentu akan merengek minta dicarikan tempat duduk dan minta dipesankan seporsi besar masakan yang terkenal di tempat ini.

Di depan orang lain, dia selalu bersikap sangat pemalu, wajahnya memerah sebelum dia bisa mengucapkan sepatah kata pun. Tapi bila bersama Liok Siau-hong, maka ia tiba-tiba seperti berubah menjadi seorang anak kecil yang manja. Sebentar meributkan tentang satu hal, selanjutnya mengomel tentang hal lain, hampir tidak ada saat-saat yang damai di antara mereka. Liok Siau-hong tiba-tiba menyadari sesuatu: ia menyukai omelan gadis itu, suka mendengar omelannya, melihatnya mengomel, suka melihatnya melakukan suatu kenakalan di depannya, suka......

Ia berhenti melamun lebih jauh. Ia bersiap-siap untuk berjalan ke arah lain.

Tepat pada saat ia hendak berputar, tiba-tiba ia melihat seorang nenek berjalan keluar dari bawah naungan sebatang pohon. Ia adalah seorang nenek yang sangat tua dan mengenakan gaun atau jubah hijau yang telah ditambal lebih dari seratus kali. Di atas punggungnya seperti ada sebongkah batu karang raksasa yang membuat tubuhnya jadi bungkuk.

Maka, bila ia berjalan, ia selalu terbungkuk-bungkuk seperti sedang mencari sesuatu di atas tanah. Sinar bulan menerangi wajahnya dan tampaklah wajah yang penuh keriput, seperti sehelai kertas kapas yang telah digulung-gulung tapi kemudian dilicinkan kembali.

"Kacang gula!" Di tangannya tergantung sebuah keranjang bambu yang tertutup oleh sehelai kain katun yang sangat tebal. "Kacang goreng gula yang segar, lezat dan masih panas. Hanya sepuluh picis sekatinya!"

Wanita tua yang miskin dan kesepian serta telah memasuki usia senja ini masih perlu keluar dan berteriak sekeras mungkin dengan suaranya yang serak itu untuk menjual kacang gulanya.

Liok Siau-hong tiba-tiba merasa sangat iba kepadanya, dia memang seorang laki-laki yang penuh perasaan belas kasih.

"Nenek, ke sinilah, aku beli dua kati." Kacang itu benar-benar harum aromanya dan panas, dan juga segar, persis seperti yang dia teriakkan tadi.

"Kau bilang tadi harganya sepuluh picis sekatinya?"

Nenek itu mengangguk, ia masih terbungkuk-bungkuk, seakan-akan ia sedang tertarik pada sepatu Liok Siau-hong, padahal itu terjadi karena ia tidak bisa berdiri tegak lagi.

"Tidak, sepuluh picis sekati tidaklah mungkin!" Liok Siau-hong menggelengkan kepalanya.

"Hanya sepuluh picis, Tuan, menurutmu itu masih terlalu mahal?"

Serial Pendekar Empat Alis (Gu Long)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang