Bab 04: Sepasang Sepatu Merah

1.4K 23 0
                                    

Warna senja semakin gelap, lentera di ruang meditasi belum dinyalakan. Sinar terakhir dari matahari terbenam jatuh di lorong yang menuju ke kamar tamu di belakang ruang meditasi. Sinar itu menerpa tiang-tiang kayu yang tua dan mulai lapuk, membuatnya tampak mengkilap seperti dulu. Bersama hembusan halus angin malam di bulan tujuh, tercium aroma lembut dari gunung dan pepohonan di kejauhan sana, yang membuat hati manusia dipenuhi oleh perasaan riang dan gembira.

Kang Kin-he berjalan dengan sangat lamban, Liok Siau-hong juga berjalan dengan sangat lamban. Kang Kin-he tidak mengucapkan sepatah kata pun, Liok Siau-hong juga tidak membuka mulutnya. Tampaknya dia menyadari bahwa dirinya adalah tamu tak diundang. Tamu yang tak diundang setidaknya harus cukup bijaksana untuk tetap menutup mulutnya. Halaman di sisi mereka tampak sepi, tak seorang pun terlihat atau terdengar suaranya. Tempat ini memang tempat yang sepi, orang-orang kesepian biasanya pendiam.

"Tuan yang dermawan, silakan masuk!" Kang Kin-he mendorong sebuah pintu hingga terbuka dan menoleh pada Liok Siau-hong dengan wajah serius.

"Terima kasih banyak!" Liok Siau-hong menjawab dengan muka yang serius. Lampu di ruangan itu belum dinyalakan, bahkan sinar matahari terbenam pun tak mampu menembus dindingnya. Liok Siau-hong berjalan dengan perlahan memasuki ruangan itu, seolah-olah dia agak takut masuk ke sana. Mungkinkah dia takut kalau perempuan sedingin es itu akan mengurungnya di dalam ruangan sedingin es ini?

"Setan tidak ada di dalam ruangan ini, apa yang kau takutkan?" Kang Kin-he berkata dengan dingin.

"Setan memang tidak ada di dalam kamar ini," Liok Siau-hong tersenyum sabar, "tapi dia ada di dalam fikiran!"

"Fikiran siapa?"

"Fikiranmu!"

"Kau sendiri setannya!" Kang Kin-he menggigit bibirnya. Tiba-tiba pendeta wanita sedingin es ini berubah, berubah seperti menjadi orang yang benar-benar berbeda. Dengan kuat ia mendorong Liok Siau-hong masuk, mendorongnya hingga terduduk di atas sebuah kursi, lalu menekan pundaknya dengan kedua tangannya agar ia tetap duduk, dan menggigit telinganya.

"Ini baru mirip seekor harimau betina," Liok Siau-hong tertawa. "Tadi kau bertingkah seperti....."

"Seperti apa?" Kang Kin-he menatapnya dengan marah.

"Seperti harimau mati!" Kang Kin-he bahkan tidak menunggu ucapan Liok Siau-hong selesai sebelum menggigit telinganya lagi.

Liok Siau-hong hampir menjerit karena kesakitan.

"Apakah kalian semua dilatih oleh pawang yang sama atau apa? Kenapa suka menggigit telinga orang?" Ia tersenyum dipaksa.

"Kalian semua? Siapa itu kalian semua?" Kang Kin-he kembali menatapnya dengan marah. Liok Siau-hong tidak menjawab, tiba-tiba dia sadar kalau dia telah membuat sebuah kesalahan lagi.

"Apakah telingamu sering digigit orang?" Kang Kin-he tidak mau mengalihkan pembicaraan.

"Aku sedang dikelilingi anjing atau apa ya, mengapa telingaku digigit?"

Tapi mata Kang Kin-he semakin membesar dan tatapannya semakin marah.

"Jadi kau menyebutku seekor anjing? Itu yang kau katakan?" Liok Siau-hong kembali tersudut dan tak tahu harus mengatakan apa.

"Katakan yang sebenarnya, berapa banyak orang yang telah menggigit telingamu?" Kang Kin-he bertanya dengan marah, dia masih menatap Liok Siau-hong dengan gusar.

"Cuma..... cuma kamu!"

"Benar?"

"Siapa lagi yang berani menggigitku?"

"Bagaimana dengan Sih Peng? Apakah dia berani?"

"Dia bahkan terlalu takut untuk menyentuhku, dia beruntung aku tidak menggigitnya."

Serial Pendekar Empat Alis (Gu Long)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang