Bab 07: Sahabat Kecil

777 13 0
                                    

Matahari telah tenggelam di balik bukit, cahaya senja merah menghiasi seluruh langit, ketika cahaya membias di atas tubuh Sebun Jui-soat yang putih, terpantullah selapis cahaya berkilauan yang memedihkan mata.

Angin berhembus makin kencang.

Suaranya keras, namun tak dapat menutupi suara derap kaki kuda yang sangat ramai.

Menyusul dua puluh empat ekor kuda telah muncul di jalan berpasir menuju kota Ui-sik.
Kuda-kuda itu berlari sangat cepat dan tiba-tiba berhenti, berhenti di luar kota Ui-sik.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun semua penunggang kuda itu melompat turun, kedua puluh empat ekor kuda membentuk garis memanjang.
Siapa mereka? Mau apa datang kemari?
Pertanyaan ini melintas dalam benak Laopan Nio sekalian.
Kedua puluh empat orang melompat turun dari kuda dengan gerakan sangat terlatih, mulai melakukan tugas dan pekerjaan, bangga pengemis cilik itu berkata.
"Kau tahu?"
"Ya."
"Coba katakan mau apa mereka kemari?"
"Mereka datang mengantar air untuk mandi."
Kontan Laopan Nio mengangkat tangan siap menjitak batok kepala pengemis cilik itu, tapi tidak benar-benar dilakukan, bukan lantaran pengemis cilik itu mengegos, melainkan karena secara tiba-tiba Laopan Nio telah memahami sesuatu.
Sekarang ia tahu, pengemis cilik itu bukan sedang mengerjai dirinya. Kedatangan rombongan itu memang khusus mengantar air mandi.
Maka dengan mata terbelalak dan mulut melongo ia berseru, "Jadi ia benar-benar adalah Sebun Jui-soat?"
"Omong kosong, selain Sebun Jui-soat, siapa lagi yang berani masuk ke kota Ui-sik tanpa mengucapkan sepatah kata pun?"
"Betul. Kecuali Sebun Jui-soat, siapa lagi yang suka kebersihan? Siapa lagi yang enggan menginap di hotel paling megah di kota Ui-sik ... toko kelontong milikku?" Lopan toko kelontong itu seakan berubah jadi sangat pintar.
"Untuk sampai di kota Ui-sik, orang harus menempuh perjalanan sehari penuh dengan diterpa pasir kuning, kecuali Sebun Jui-soat, siapa lagi yang teringat untuk mandi dan ganti pakaian?" kata si pengemis cilik dengan bangga.
Mendadak Laopan Nio mengernyitkan alis.
"He, kenapa kau?" pengemis cilik menegur.
"Kenapa? Masa kau tidak melihat, berapa banyak anak buah yang diajak Sebun Jui-soat?"
"Soal itu kau tak perlu kuatir," tukas pengemis cilik sambil tertawa, "jika Sebun Jui-soat meraih kemenangan dengan mengandalkan jumlah banyak, dari dulu ia sudah bukan Sebun Jui-soat. Selama hidup ia selalu melakukan sepak terjangnya seorang diri."
"Lalu bagaimana dengan orang-orang berbaju hitam itu?"
"Mereka tak lebih hanya sekawanan pelayan yang khusus bertugas melayani keperluannya. Penampilan Sebun Jui-soat tak ubahnya seperti hartawan kaya, bukan seorang pendekar pedang."

Kening Laopan Nio yang semula berkerut kencang kini kembali normal.
Ternyata kawanan berbaju hitam itu memang datang untuk mengantar air mandi buat Sebun Jui-soat, begitu semuanya siap, Sebun Jui-soat bangkit berdiri dan berjalan menuju tenda.
"Mari kita pergi!" kata Lopan toko kelontong ketika melihat Sebun Jui-soat masuk ke dalam tenda, lalu ia berbalik dan kembali ke tokpnya.
"Pergi? Kalau mau pergi, kalian boleh pergi lebih dulu," jawab Laopan Nio.
"Kenapa? Memangnya kau ingin melihat Sebun Jui-soat mandi?" pengemis cilik membelalakkan mata.
"Dasar anak pintar, sekali tebak sudah benar," Laopan Nio tertawa cekikikan.
"Apa bagusnya melihat orang mandi?" tanya Lopan toko kelontong.
"Kalau orang lain yang mandi memang tidak menarik, tapi yang mandi adalah jago pedang kenamaan macam Sebun Jui-soat, jelas peristiwa ini merupakan pertunjukan yang sangat langka."
Dengan kening berkerut Lopan toko kelontong segera membalikkan badan, siap meninggalkan tempat itu.
"Tunggu sebentar!" tiba-tiba pengemis cilik berteriak.
"Ada apa? Memangnya kau pun ingin mengintip Sebun Jui-soat mandi?"
"Sstt, coba dengar!"
Suara derap kaki kuda.
Lopan toko kelontong segera memandang ke arah pengemis kecil, si pengemis memandang ke arah Laopan Nio, sedang Laopan Nio berbalik memandang Lopan toko kelontong.
Tak aneh kalau mereka saling pandang, tenda sudah didirikan, air mandi sudah digotong masuk, pakaian bersih sudah diantar, keempat nona yang melayani mandi pun sudah tiba, lalu mau apa pendatang itu kemari?
Dengan cepat kuda itu mulai kelihatan, juga penunggangnya.
Kali ini bukan lelaki berbaju hitam yang menunggang kuda, melainkan seorang nona berbaju kembang-kembang.
Nona itu melarikan kudanya amat kencang dan mendekati tenda, begitu melompat turun, langsung menyelinap masuk ke balik tenda.

Serial Pendekar Empat Alis (Gu Long)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang