BAB 13 "Butiran Putih"

11 1 0
                                    

"Aila, kau dimana? Jangan kau menjauh dariku Aila!!!"

Ran tersentak bangun. Dan yang ia rasakan tadi hanyalah mimpi. Tapi sangat terasa nyata bagi Ran. Ia mengerutkan dahinya merasa kepalanya sangat berat, dan saat ia melihat sekitarnya, ia tak tahu dimana itu.

"Kamar siapa ini?. Haloo, ada orang diluar?. Ini dimana?"

Ran teringat bahwa malam saat itu ia jatuh pingsan. Berarti ada yang menyelamatkan malam itu.
Belum sempat mengingat semuanya tiba-tiba dari luar ada yang memutar gagang pintu dan membukanya perlahan.

"Ran kau sudah sadar?" Aila langsung menghampirinya menyentuh dahi Ran.

"Tunggu... Kau ada disini. Berarti kau yang memyelamatkanku?" Tanya Ran bingung.

Aila hanya mengangguk dan memberikan sedikit senyum di bibirnya.

"Ngomong - ngomong tadi kau berteriak namaku? Ada apa?" tanya Aila malu.

"Ummm. Tidak apa-apa. Aku hanya menghawatirkanmu karena kau tak masuk sekolah dan tak ada di rumah"

"Dan akhirnya aku yang menghawatirkanmu. Karena kau pingsan di jalanan saat tengan malam" ucap Aila sambil tertawa kecil dan berjalan menuju jendela.

Terlihat langit cerah yang masih terasa dingin di musim gugur. Daun-daun yang menjadi coklar kemerahan terlihat indah saat terkena sinar matahari siang itu.
Aila menghirup nafas panjang dan duduk di atas jendela yang temboknya cukup lebar untuk dapat di duduki seseorang.
Ia bersender seperti sedang memikirkan sesuatu, seolah mengabaikan Ran yang sedang duduk bersandar di ranjang kamar itu. Beberapa saat hanya suara angin musim gugur yang dapat mereka dengar. Suasana kamar itu begitu sunyi.

"Ummm, kenapa kau pergi tanpa memberitahu siapapun dan terlihat gelisah?" tanya Ran memecah kesunyian.

"Hari itu, saat aku memilih untuk pergi kemari daripada kesekolah karena ada hal yang sangat mengganggu hati dan pikiranku." jawab Aila sembari menekuk dan memeluk kakinya.

Sebelum Ran bertanya kembali Aila sudah tarik nafas panjang dan melanjutkan ucapannya.

"Hari itu adalah hari peringatan kematian Ibuku yang sudah sangat lama tidak ku peringati."

"Kenapa?" tanya Ran singkat yang membuat Aila bingung dan balik bertanya.

"Kenapa??kenapa apa?" tanya Aila sambil menengok kearah Ran.

"Kenapa tak pernah kau peringati. Dan kenapa kali ini kau memperingatinya." jelas Ran ddngan tatapan yang terlihat sangat serius.

"Akuu... Mencintainya. Tapi setiap aku mengingat hari kematiannya. Aku membencinya." jawab Aila lemah menahan emosi.

Ran melihat semakin lama mata Aila semakin berkaca-kaca. Dan kini butiran putih suci dari matanya pun jatuh membasahi pipinya.
Ran merasa tidak tega untuk meneruskan pertanyaannya. Tapi rasa penasaran terus berputar di pikirannya.

Tapi belum sempat Ran mengambil keputusan Aila kembali meneruskan kisahnya dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipi dan menetes ke bawah.

"Ibuku sangat menyayangiku. Beliau selalu mendukung apapun impianku. Hingga ia jatuh sakit dan di larikan kerumah sakit. Mulai saat itulah aku selalu menginap di rumah sakit menemani Ibuku. Setiap sore aku selalu menulis beberapa puisi. Mungkin Ibuku memperhatikan hobbyku saat itu.
Dan beberapa hari setelah beliau masuk rumah sakit ia meninggal dan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya beliau mengucapkan bahwa aku tidak boleh menjadi penulis. Dan mulai saat itu aku terpukul sdkaligus marah jika ingat kata-kata terakhirnya." ucap Aila sembari turun dari jendela dan menutupnya kembali.

Ran bangkit dari ranjang dan berjalan memeluk Aila dari belakang. Aila terdiam sesaat dan setelahnya ia menangis sendu di pelukan Ran.

"Sudahlah Aila. Air matamu terlalu berharga jika untuk menangisi orang yang telah tiada." ucap Ran dengan senyum hangat dan mengusap air mata Aila.

Aila hanya tersenyum sendu dan mengangguk kecil. Lalu ia menarik nafas panjang dan menepuk pundak Ran.

"Hari sudah semakin senja Ran. Mulai besok aku akan masuk sekolah. Apakah kau bersedia pulang bersamaku?"

"Tentu saja. Aku mana mungkin bolos sekolah lebih lama lagi. Mungkin jika hari ini tak pulang, kakakku akan mengamuk" celoteh Ran sembari keluar kamar yang pintunya tak di tutup itu bersama Aila.

***

Saat Ran turun dari kamar itu bersama Aila, Bibi Aila memanggil Ran sambil tersenyum. Sementara itu Aila bergegas ke kamar mandi.

"Hai nak. Kemarilah, ayo duduk" Sapa Bibi dari Aila.

Ran hanya mengangguk kecil dan duduk di hadapanya. Raut wajah grogi sangat terlihat di diri Ran dengan tangan dan kaki yang gemetar juga.

"Jadi? Bagaimana pandanganmu pada Aila?" Tanya Bibi Aila membuka percakapan.

"Umm... Aila wanita yang manis" Jawab Ran sambil menggaruk belakang kepalanya.

"Tolong jaga Aila baik-baik yaa. Bibi percaya padamu nak."

Bibinya Aila pun pergi dari sofa itu sambil menyunggingkan senyum di wajahnya.
Ran masih terdiam di sofa itu memikirkan perkataan yang tadi ia dengar. Bagi Ran kata-kata "menjaga" adalah beban yang cukup berat.

Tak lama dari itu Aila muncul di hadapannya dan mengajaknya berangkat.

"Sedang apa Ran. Ayo berangkat"

"Ohh, baiklah ayoo" Jawab Ran sedikit kaget mendengar suara Aila yang tiba-tiba.

Saat sedang berjalan mereka terdiam seperti saat pertama mereka jalan bersama.
Tapi tak lama Ran membulatkan tekad membuka mulutnya untuk percakapan pertama saat itu.

"Umm, cuacanya semakin dingin. Apakah salju akan turun?" Ujar Ran sembari menatap ke langit.

"Hahaha. Bodoh kau, mana mungkin salju turun sekarang. Kecuali kaulah yang akan menjadi butiran putih indah itu di hatiku" Ucap Aila tertawa dan langsung berlari meninggalkan Ran.

Wajah Ran mulai memerah setelah kata-kata yang ia dengar baru saja. Ia berusaha mengejar Aila yang berlari sambil berputar kearahnya dan tersenyum hangat.

"Hei Aila... Tunggu aku, kutangkap kau. Jangan lari..."

Matahari tenggelam menghiasi langit sore itu membuat Ran berfikir akan seperti apakah kehidupan mereka beberapa tahun lagi. Tapi satu yang Ran tahu bahwa kini Aila bersamanya.

Value WordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang