Sudah beberapa hari Ran melihat sikap Kak Arina yang sedikit aneh. Dia lebih sering melamun dan selalu menggenggam erat ponselnya.
Setiap Ran bertanya, Kak Arina selalu mengalihkan pembicaraan."Selamat pagi Kak." Ucap Ran sembari duduk di hadapan Kak Arina yang berada di meja makan.
"Pagi Ran..." Ucapnya lesu.
Ran menarik nafas panjang berharap kali ini Kak Arina menjawab pertanyaannya.
"Kak, aku serius. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tahu saat itu Kakak pulang dengan wajah bekas menangis. Bicaralah padaku?" Tegas Ran pada Kakaknya.
"Hmm, Ran pagi ini kau yang buat sarapannya. Kakak sedang tidak bersemangat" Ucap Kak Arina lesu mencoba mengalihkan pembicaraan.
Tapi kali ini Ran tidak beranjak dari kursinya dan terus menatap Kakaknya dengan tatapan serius. Ia berharap mendapat jawaban yang sangat jelas dari Kak Arina. Karena sudah 2 minggu berlalu dari hari kejadian itu.
"Ayolah Kak... Musim panas hampir berakhir, dan sudah 2 pekan kakak seperti ini"
"Baiklah Ran. Saat kau melihat Kakak menangis, ada hal yang terjadi. Ayah menelpon Kakak"
"Apa? Ayah? Lalu kenapa Kakak menangis?" Tanya Ran semakin curiga.
"Ayah membicarakan tentangmu. Dia ingin membawamu ke italia untuk meneruskan bakat keluarga. Tapi Kakak tidak mau kau pergi dengannya. Kakak sangat membenci Ayah karena dia membuang kita" Ucap Kak Arina dengan mata yang berkaca-kaca
"Musisi? Mungkin aku akan tertarik. Tapi ada yang harus aku kemukakan pada Kakak kali ini"
Dengan mata yang berkaca-kaca Kak Arina bingung apa yang di maksud Ran padanya. Apa yang sebenarnya terjadi dalam kisah 7 tahun lalu.
"Ayah dan Ibu tidak membuang kita Kak. Mereka pergi meninggalkan kita di tokyo dan mereka pergi keluar negeri karena mereka di kejar oleh mafia. Sebenarnya memang ulah Ayah juga yang menantang anggota mafia untuk taruhan perjudian. Tapi mereka pindah ke italia dan meninggalkan kita, karena Ayah tau para mafia itu akan mengejar mereka ke italia. Kita di tinggalkan tanpa identitas keluarga yang jelas tidak lain karena Ayah dan Ibu melindungi kita dari mafia-mafia itu. Ucap Ran sambil meninggalkan meja makan dan berjalan menuju tempat masak.
Kak Arina terlihat shock mendengar pernyataan dari Ran yang tidak dapat di terima oleh hatinya yang sudah terluka.
"Ti..tidak mungkin Ran. Kenapa Kakak tidak tahu akan hal itu?" Ucap Kak Arina dengan perasaan kacau balau.
"Ibu memberitahuku 2 tahun lalu. Ibu datang kemari sebenarnya untuk memberitahu Kakak juga. Tapi karena saat itu Kakak sedang tak ada dirumah, jadi Ibu hanya memberitahuku dan berpesan jangan memberitahumu karena Kakak tidak akan percaya" Ucap Ran sembari membuat cokelat panas dan menyiapkan adonan pancake.
Kak Arina tidak mengucapkan apa-apa setelah mendengar kejadian sebenarnya. Ia hanya meluapkan air matanya yang sedari tadi ia bendung.
Hingga secangkir cokelat hangat Ran siapkan di samping Kakaknya, barulah Kak Arina berhenti menangis.
"Sekuat apapun Kakak. Ternyata tetap wanita yang mudah menangis." Ujar Ran mengejek Kak Arina.
Tapi Kak Arina tidak menghiraukan ejekan itu dan hanya menikmati cokelat panas yang ia genggam dengan kedua tangannya.
***
Hari semakin siang, dan ini adalah hari terakhir Aila bekerja di perpustakaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Value Word
RomansaIa, bukan bintang, bukan atlet, bukan pula aktris, tapi ia adalah value yang hanya milikku. Aku akan selalu menjadi suara dari semua kata-kata indahmu itu Hingga jiwa ini berpisah dari tubuhnya...