Who is J?

7.9K 1.2K 105
                                    

Sakit kepala masih sesekali menyerang gue. Kata dokter, itu karena gue memaksa diri gue sendiri untuk mengingat.

Tapi demi apapun, gue gak pernah berusaha buat mengingat apa-apa.

Ingatan itu hanya tiba-tiba datang.

"Jen, kenapa kakak gak inget apa-apa pas kecelakaan kakak ya?"

"Ah kak please deh, jangan mulai ngingat lagi. Kakak yang bakal sakit sendiri."

Mendengarkan Jeno mengomel hanya bisa membuat gue mempoutkan bibir, sebal. Yang kakak sebenarnya siapa sih?

Sekarang jam 6:44 pagi, Papa gue udah berangkat kerja. Dan Jeno sudah mau ke sekolah meninggalkan gue sendirian di kamar perawatan rumah sakit.

Gak bakal sendiri sih, nanti sahabat-sahabat gue mau datang. Jeno menelpon mereka berdua semalam.

"Jeno berangkat kak," Jeno Salim sama gue.

"Jangan inget-inget kecelakaan kakak pokoknya. Entar jam delapan temen-temen kakak bakal dateng,"

Gue berdecih.

"Gak usah. Suruh pulang aja mereka,"

"Ih, enggak. Lumayan ada yang nemenin kakak."

"Kakak bukan anak kecil yang musti ditemenin!" Gue menjulurkan lidah.

"Huh cerewet!"

Jeno ngacak rambut gue dan keluar kamar perawatan dengan dasi yang belum di ikat dan rambut yang acak-acakan.

Cih, mana ada cewek yang mau sama modelan urakan.jpg kayak adek gue? Hadeh.

🌟🌟🌟

Sambil menikmati beberapa menit keheningan karena Papa dan Jeno sudah berangkat, gue mencoba menyalakan ponsel gue.

Meskipun nihil.
Ini mati total.

"Di service bisa gak yah?" gue bermonolog.

Ada begitu banyak pertanyaan dan rasa penasaran, entah kenapa gue yakin jawabanya ada di handpone gue. Bisa saja chat, daftar panggilan atau bahkan note.

Iya, itu semua pasti ada handphone yang layarnya udah retak, bahkan ada bercak darah di dalamnya.

Yang gue yakin itu bercak darah gue. Kan gue kecelakaan tunggal, gak mungkin lah itu darah orang lain.

Ceklek.

Suara pintu ruang perawatan yang terbuka menyita perhatian gue, dari sana dua makhluk yang sebenarnya masih malas buat gue temuin muncul.

Kenalin sahabat gue, yang pertama Chittapon Leechaiyyapornkull.

Hhhhhh gue ampe ambil nafas beberapa kali nyebut nama lengkapnya.

Namanya ribet kayak kehidupannya.

Biar gak ribet panggil dia TEN aja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Biar gak ribet panggil dia TEN aja.

"Jingga, kau bersinar saat fajar dan senja. Kau Indah tapi sayang tak tersentuh. Karena kau hanya Jingga,"

Maaf ini mas Tere Liye kenapa nyasar ke sini?

Si Ten memang begitu, dia bukannya tulus bikin puisi anehnya buat gue. Percayalah dia gak cuman gini sama gue doang. Tapi sama semua cewek.
Sekali lagi sama semua cewek.

Jadi jangan baper.

Dia kerdus.

Dan yang kedua sahabat gue yang udah sedari tadi planga-plongo gak jelas.

Dong sicheng, atau sebut saja dia Winwin.

"Ten kita ngapain di sini?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Ten kita ngapain di sini?"

"Jengukin Jingga,"

"Tipesnya kambuh lagi?"

"Jingga kan kecelakaan Winwin!"

"HAH KOK BISA JADI JINGGA GIMANA SEKARANG?"

gue dan Ten sudah mengusap wajah dengan rasa frustasi di ubun-ubun.

Hhhhhhh butuh banyak kesabaran dan ketegaran untuk bicara dengan Winwin emang.

"ITU JINGGANYA WIN-WIN!" Tunjuk Ten.

"Aaaa Jingga elo kenapa Jing?"

Plak! Tabokan Ten langsung mendarat ke kepala Winwin.

"Elo, temen sakit malah di'anjingin'!"

"Siapa yang nganjingin?"

"Elo bilang Aaaa Jingga elo kenapa Jing?" Ten menirukan gaya bicara Winwin tadi.

"Itu maksud gue elo kenapa Jingga?, tapi gue penggal hurufnya jadi Jing doang, biar gampang. Kayak elo manggil gue Win doang."

"Kagak-kagak. Kalo elo manggil Jingga musti lengkap. Jangan panggil Jing!"

LAH MALAH DEBAT.

Inilah alasannya kenapa gue gak mau mereka ada di sini. Selain otak mereka yang cuman 1/4 , mereka juga bersisik. 😑

Gue pada akhirnya hanya bisa menatap mereka bergantian.

"Udah?" Tanya gue saat Ten dan Winwin sudah lelah berdebat.

Keduanya memandang gue sambil memasang cengiran bego di wajah masing-masing.

"Hehehe Jingga,"

"Haha hehe. Berisik banget lo bedua!"

Gue mendorong pelan kepala Ten dan Winwin satu persatu. Heh! Rasakan toyoran maut gue!

"Gimana keadaan lo Jingga?"

GAK BAIK. APALAGI SEMENJAK ELO BEDUA DATENG!

"Wih kalung lo baru yah? Gue baru liat," Ten meraih kalung silver dari leher gue.

Tunggu, sejak kapan gue pake kalung?

"Awas salah pegang," Tegur Winwin.

"Elah gue meriksa doang." Ujar Ten. Sedangkan gue sedang mencoba mengingat kalung yang melingkar di leher gue sekarang.

Perasaan gue tipe orang yang tidak suka pakai aksesori. Papa dan Jeno pasti tahu itu. Terus kenapa bisa gue punya kalung?

"Eh Ngga? Jingga?" Ten melambaikan tangannya berkali-kali ke arah gue.

"Lah malah ngelamun." Sunggut ten.

"Ten?" Panggil gue.

"Hm?"

Gue memandang kalung silver dengan liontin berbentuk huruf 'J' itu.

"J, itu siapa?"

-To be continued -

(Don't forget to touch the stars Button if you like the story 😊 👉🌟)

OH MY 'J'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang