#17

1.8K 105 0
                                    

Julian?

Aku terbangun dan tidak mendapati Julian di dekatku. Setiap aku membuka mata, ia-lah yang kulihat untuk pertama kali. Begitu juga saat akan memejamkan mata. Tapi kali ini tidak. Julian tidak ada di sampingku. Dimana Julian?batinku mulai panik. Aku tidak terbiasa tidak melihatnya saat membuka mata. Dan ini membuatku sedikit ketakutan.

Aku menyingkap selimut yang menutup tubuhku. Aku mencoba bangkit meski tubuhku masih lemah. Tapi kondisiku sudah jauh lebih baik ketimbang kemarin.

Kedua kaki telanjangku menjejak di atas lantai yang dingin. Aku berdiri dan mulai melangkah menuju pintu dengan langkah pelan namun lumayan stabil. Tidak, ini bukan seperti saat aku berada di rumah sakit. Ini diriku yang sebenarnya.

Aku membuka pintu kamar dan menatap ke segenap penjuru ruangan. Tapi kosong. Julian tak nampak di manapun di sudut rumah ini. Oh.

Kakiku terus melangkah keluar rumah. Mobil milik Julian tidak ada di garasi, hanya ada mobilku yang terparkir di sana. Bahkan aku sudah tidak ingat kapan terakhir aku memakainya. Kemana dia?batinku gamang. Ia pergi disaat aku sedang terlelap dan tidak memberitahuku sebelumnya. Apa ia berencana meninggalkanku setelah mengetahui kondisiku yang sebenarnya? Tidak, kumohon jangan lakukan ini padaku, Lian!

Aku telah berada di jalanan beberapa menit kemudian. Tanpa alas kaki dan masih mengenakan piyama tidurku. Sesekali telapak kakiku bergesekan dengan aspal dan kerikil-kerikil kecil yang tajam. Juga sengatan matahari yang sudah bergeser ke arah barat membuat kakiku semakin tersiksa. Panas dan mungkin sudah tergores di sana sini. Seraya menatap ke sekeliling, aku meneruskan langkah tanpa arah dan tujuan, mencari keberadaan Julian yang mungkin terselip di antara orang-orang itu.

Aku bertanya kepada orang-orang yang kebetulan berpapasan denganku, apa di antara mereka ada yang melihat Julian? Julian suamiku, seorang pria tinggi tegap dan mempunyai sepasang mata yang begitu teduh. Aku biasa menyebutnya dengan istilah 'telaga bening'. Selalu berpenampilan rapi dan ia paling suka mengenakan kemeja putih.

Orang-orang itu hanya menggeleng, bahkan ada yang acuh tak acuh dan mengabaikan pertanyaanku begitu saja. Diantara mereka ada juga yang menatapku dengan pandangan sinis dan sedikit aneh. Ya, aku memang aneh dan tidak seharusnya berada di sini, berkeliaran di jalan tidak jelas, tanpa alas kaki seperti orang gila. Aku tahu itu, tapi aku tegaskan bahwa aku tidak gila! Apa aku perlu berteriak pada orang-orang itu? Pentingkah?

Matahari sudah tenggelam dan aku menghentikan langkah. Aku terduduk lesu di tepi trotoar, kelelahan, haus, dan kondisi kaki yang tergores di sana sini. Sakit. Aku baru menyadari jika perjalananku sudah terlalu jauh dari rumah, aku juga tidak tahu dimana aku berada sekarang. Aku hanya menatap ke sekeliling, pada orang-orang yang hilir mudik di atas trotoar, kendaraan yang tak pernah putus di jalanan, pedagang keliling yang menjual aneka makanan yang menggiurkan lidahku. Bakso, soto ayam, sate, siomay...dan aku lapar!

Angin yang berhembus dari jalanan membawa serpihan debu dan menempel di wajahku. Menyadarkanku dari lamunan tentang keadaan alam di sekitarku yang asing. Aku atau mereka yang asing? Huh. Pada akhirnya aku mengutuk kebodohanku sendiri. Kebodohanlah yang membawaku sampai ke tempat asing ini. Tanpa membawa apa-apa, kecuali otak bodoh dan selembar pakaian yang kini membungkus tubuhku. Dan parahnya aku lupa kemana arah jalan pulang! Tidak! Ini adalah sebuah bencana!

Kemana? Dimana? Aku memutar kepalaku ke kanan dan kiri. Mencari sesuatu yang kusebut ingatan. Jalan pulang, alamat rumah Julian, aku tidak bisa mengingatnya sama sekali! Sial! Bodoh!

Aku memegang kepalaku dengan kedua tangan. Merutuki kebodohan otakku, memoriku terlalu buruk, dan satu-satunya hal yang kupercaya sekarang adalah aku memang mengidap sakit jiwa. Julian, Julian! Aku ingin pulang!

Aku bingung, linglung. Kepalaku berdenyut dan aku nyaris tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhku. Jika terlalu lama berdiri seperti ini aku bisa jatuh pingsan. Aku tidak mau pingsan di sini, di tempat asing ini. Aku terduduk kembali di tepi trotoar dengan pikiran kacau balau. Ah, siapapun juga tolong aku...

Air mata pertama jatuh menetes ke atas permukaan pipiku. Ia terasa hangat. Disusul butiran-butiran berikutnya. Butir kedua, ketiga, keempat, sampai tak terhitung keberapa dan menjadi genangan di sana. Padahal malam semakin bergulir dan menjadi dingin. Dan aku masih di sini, tersesat.

Siapa yang akan menolongku?batinku seraya membuang pandangan ke arah jalanan. Diantara pengguna jalan itu, siapa yang akan menolongku? Siapa yang akan menunjukkan ku jalan pulang? Adakah yang berbaik hati mengantarku pulang? Tapi aku tidak ingat alamat rumah Julian!

Dimanakah dirimu, duhai ingatanku?

SANDIWARA CINTA #Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang