#15

2K 122 0
                                    

Aku menyandarkan punggungku pada tumpukan dua buah bantal empuk dan lembut. Aroma pewangi pakaian masih melekat pada sarung bantal, sprei, dan selimut tebal yang kini menutup separuh tubuhku. Seharusnya bisa membuatku nyaman, tapi nyatanya tidak. Aku sama sekali tak bisa memejamkan kedua mataku. Mataku hanya menatap nanar ke samping, ke arah jendela yang terbuka. Sesekali angin menerbangkan kain gorden tipis yang tersingkap, menjadi pemandangan yang menyita perhatian mataku.

Aku memohon pada Julian agar membawaku pulang secepatnya dari rumah sakit. Aku tidak akan betah tinggal disana lebih dari dua hari. Meski kondisiku masih belum stabil, aku tetap memaksa Julian untuk membawaku pulang. Dengan perjanjian aku akan rajin meminum obat dan setiap hari seorang dokter akan berkunjung ke rumah kami untuk memeriksa perkembanganku. Ya, Julian akan melakukan segalanya untukku.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana wajahku sekarang. Masih cantikkah, meski aku dalam keadaan sakit? Pucatkah? Apa kulitku masih tampak sehat dan kencang, ataukah keriput sudah terlukis di bawah mataku? Lalu bibirku bagaimana? Rambutku juga, aku tidak mencucinya beberapa hari ini.

Barisan alat-alat kosmetik masih belum tersentuh oleh tanganku semenjak aku pulang dari rumah sakit. Rindukah mereka akan pemiliknya? Karena aku sedang tidak ingin mengoleskan apapun ke wajahku saat ini. Apapun diriku sekarang, dengan atau tanpa make up sekalipun aku merasa jengah. Aku sudah menghapus jalinan kata 'aku cantik dan kaya' dari otakku. Siapa yang akan peduli dengan semua itu? Tidak ada! Keangkuhan hanya akan merusak moralku. Ya, Tuhan, ampuni aku...

Sekali lagi aku teringat, aku diberi kesempatan untuk hidup dan memperbaiki sikapku. Sebuah anugerah yang tak ternilai buatku. Lalu darimana aku harus memulainya?

"Mei..."

Panggilan itu lagi. Membuatku harus menengok ke arah pintu. Julian datang dengan sebuah nampan di tangannya. Hari ini ia memakai sweater hijau tanah dipadu dengan celana cargo selutut berwarna hitam. Aroma wangi sabun cair yang biasa ia pakai menebar ke sekitar wajahku. Tak ada aroma Bulgari Extreme seperti yang biasa ia pakai.

Julian meletakkan semangkuk bubur beras ke atas meja riasku. Segelas susu kedelai yang sudah diberi perasa strawberry, irisan buah pepaya dan pisang, dan beberapa butir obat yang dimasukkan ke dalam sebuah mangkuk berukuran mini. Aku tidak bisa mengkonsumsi semua itu, Lian, batinku hanya menatap gerak gerik Julian.

Julian beralih ke atas tempat tidur, ia duduk dan menghadap tepat ke arahku. Ia menyibakkan rambut yang tergerai dan menutupi sebagian dahiku.

"Waktunya makan dan minum obat, Mei,"ucapnya lembut. Ia mengambil mangkuk bubur dari atas meja, menyenduknya sedikit, dan menyodorkannya ke depan mulutku. "makanlah, Mei."

Aku menggeleng pelan.

"Aku nggak lapar, Lian,"gumamku menolak. Mulut orang sakit selalu pahit, kamu tahu kan, Lian?

"Tapi kamu harus makan agar bisa minum obat, Mei. Please, sedikit saja,"Julian membujukku. "agar kamu cepat sehat, Mei."

"Aku nggak mau, Lian,"sekali lagi aku menggeleng. Aku tidak suka dipaksa saat aku sudah mengatakan tidak mau.

"Mei, kumohon..."

"Aku nggak mau makan, Lian!"tangan kananku melayang secepat kilat menepis sendok yang terulur ke depan mulutku. Aku terhenyak saat menyadari hasil dari perbuatanku. Sendok itu terlempar ke atas lantai dan menimbulkan suara nyaring.

Julian sama terkejutnya denganku. Ia menghela nafas seolah jengah denganku. Tanpa bicara apapun ia mengambil sendok itu dan menaruhnya di atas meja. Lalu kembali duduk di tempatnya semula dan bergeming menatapku.

"Aku tahu kamu sedang nggak ingin makan, Mei,"tandasnya penuh kesabaran. Bahkan ia tidak marah dan malah tersenyum melihatku. "aku juga pernah sakit dan ibuku selalu memaksaku untuk makan. Kamu tahu, aku juga menolak untuk makan sama seperti yang kamu lakukan sekarang. Tapi kumohon, demi aku Mei, makanlah. Aku benci melihatmu sakit seperti ini. Aku sedih melihatmu terbaring lemah di atas tempat tidur... Aku hanya ingin melihat Mei-ku yang cantik dan ceria seperti dulu,"papar Julian panjang. Ia penuh dengan cinta dan kehangatan. Julian yang baik, orang seperti itukah yang aku tipu selama ini? Hanya orang bodoh yang bisa mengabaikan cinta dan ketulusan luar biasa yang diberikan seseorang bernama Julian. Harusnya aku merasa beruntung bisa mendapatkan hati Julian, bukan malah ingin mengeruk hartanya demi kepentingan pribadiku semata.

Aku menatap sepasang telaga bening itu. Telaga itu sudah bening seperti sedia kala. Tapi aku sedang tidak ingin berenang apalagi tenggelam di kedalamannya. Aku hanya ingin menatapnya dengan tekun.

"Mei,"Julian tahu jika aku sedang melamunkan sepasang matanya. Ia mengembangkan senyum terbaiknya dan sedang menebarkan pesonanya padaku.

"I'm so sorry, Lian,"ucapku lirih. Aku mengalihkan pandanganku dari telaga bening itu ke bawah, dimana jari jemariku sedang bercengkerama gelisah di atas pangkuanku. Mataku mendadak terasa panas tanpa sebab.

"Hei,"Julian menyentuh daguku perlahan. Membuatku harus mengangkat wajahku kembali dan menatap sepasang telaga bening miliknya. "you don't have to say sorry, Honey. Everything's gonna be fine. You too."

Bukan itu, batinku berdebat. Permintaan maaf itu bukan untuk soal sendok tadi, tapi untuk semua yang pernah aku lakukan padanya. Untuk sandiwara yang selama ini kumainkan di depan Julian. Dan kupikir aku harus mengakhirinya sesegera mungkin.

"Kamu sudah tahu kenapa aku bisa over dosis?"aku mencoba mengorek keterangan dari Julian. Karena ia tidak mengungkit persoalan itu sama sekali. Dan Julian mengangguk.

"Aku mendesak mbak Murni dan dia menceritakan semuanya,"ungkapnya jujur.

"Kenapa kamu nggak bertanya langsung sama aku, Lian?"aku mendelikkan mataku dengan sedikit marah. Harusnya ia bertanya padaku secara langsung dan mengusut kejadian ini dengan tuntas. Untuk menunjukkan perhatian dan perlindungannya padaku.

"Kamu masih tertekan, Mei. Dan aku nggak mau lebih menekanmu,"belanya. "aku akan mempekerjakan seorang security di depan untuk menjagamu selama aku nggak ada dirumah."

Oh.

"Apa kamu sudah tenang sekarang?"tangan Julian menyentuh pipiku.

Ya, anggukku pelan.

"Kamu mau minum susu?"tawar Julian beberapa detik kemudian.

"Ya,"balasku. "tapi apa aku boleh memelukmu sebentar, Lian?"sebuah ide gila yang baru saja melintas dipikiranku, meminta izin Julian untuk memeluknya.

"Sure,"sahutnya berangsur mendekat dan aku telah siap untuk meraih tubuh tegapnya ke dalam dekapanku.

Aroma harum tubuh Julian kuhirup dalam-dalam saat aku dan ia tanpa jarak. Tubuhnya hangat dan aku ingin menularkan kehangatan yang sama untuknya. Aku mencoba menikmati setiap detik yang berlalu saat aku memeluknya seperti ini.

Apa kamu tahu bahwa aku sedang berusaha keras untuk belajar mencintaimu, Julian?

SANDIWARA CINTA #Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang