#2

3.8K 222 1
                                    

Huft.

Tiba-tiba saja kepalaku merasa pusing setelah membaca angka-angka yang tercetak di layar kalkulatorku. Angka-angka itu tidak bersalah. Penghitungannya tepat. Hanya saja hasil akhirnya sedikit mengecewakan. Aku hampir bangkrut!

Omset penjualan butikku mengalami penurunan di bulan ini. Bulan kemarin masih lebih baik meski tidak terlalu bagus. Sedang aku harus memperpanjang kontrak sewa tempat dua bulan lagi. Tabunganku belum mencukupi ditambah lagi omset penjualan yang kian merosot dari waktu ke waktu. Hari ini pun aku belum berhasil menjual sepotong pakaianpun.

Aku membangun usaha ini dari nol. Aku mempertaruhkan seluruh tabunganku untuk membayar biaya sewa dan belanja pakaian sebagai modal awal. Aku juga membeli alat perlengkapan butik seperti gantungan baju, manekin, rak pakaian, dan beberapa kelengkapan lain. Kupikir aku bisa lebih maju dengan membuka usaha sendiri daripada bekerja pada orang lain. Ternyata aku salah. Membuka usaha sendiri penuh resiko.

Aku mencintai fashion dan butik ini tentunya. Aku menjalankan usaha ini hampir setahun dan aku tidak siap mental jika harus bangkrut sekarang. Aku tidak mau menjadi pengangguran dan keluyuran ke sana kemari mencari lowongan pekerjaan. Tidak!

Aku meletakkan kepalaku di atas meja. Seolah ingin meletakkan beban di pundakku meski hanya beberapa menit saja di sana. Oh Tuhan, bantu aku kali ini saja, ratapku sembari memejamkan mata.

"Permisi!"

Teriakan itu membangunkanku secara spontan. Aku sempat berharap suara itu membawa keberuntungan buatku. Minimal orang itu mau membeli sepotong pakaian dari butikku.

Ah, bukan. Pria itu adalah seorang pengantar pizza. Yah, perutku memang sedang lapar karena sekarang sudah masuk jam makan siang. Tapi kenapa petugas pengantar pizza itu tersesat kemari. Pasti ibu pemilik salon di sebelah yang memesan pizza itu. Menyebalkan.

"Saya mau mengantar pizza, Mbak,"ucap pria itu seraya menyerahkan kardus pizza di tangannya kepadaku.

"Maaf, Mas. Saya nggak pesan pizza. Mas pasti salah alamat,"ucapku mencoba bersikap ramah meski aku malas melakukannya.

"Nggak kok Mbak,"ucapnya sambil tersenyum. Ia melihat catatannya. "ini alamatnya benar kok. Mei Butik."

Hah?!

Aku merebut catatan petugas pengantar pizza itu dan membaca huruf-huruf di sana dengan teliti. Pengantar pizza itu memang benar, tapi aku tidak pernah memesan pizza. Selapar-laparnya aku, aku tidak akan pernah memesan pizza atau makanan dari toko online manapun. Aku hanya perlu menyeberang jalan dan membeli nasi bungkus yang harganya murah meriah di sana. Apalagi porsi nasinya pas untuk perutku meski hanya dengan lauk sederhana. Kering tempe, mie goreng, dan secuil telur dadar.

"Tapi saya nggak pesan pizza..."

"Bapak Julian yang memesan,"ungkap pengantar pizza itu akhirnya. Terungkap sudah misteri pizza itu. "silakan tanda tangan Mbak,"suruhnya memutus kebingunganku.

Aku seperti robot yang dikendalikan remote kontrol saat menandatangani surat penerimaan pizza itu.

"Makasih Mbak..."

Aku bahkan masih tertegun dan tidak menjawab ucapan pengantar pizza itu. Aku hanya menatap kardus pizza yang kini sudah berada di dalam genggamanku.

Julian? Pizza?

Pria bodoh itu ingin menyogokku dengan pizza?batinku. Aku meletakkan kardus pizza itu di atas meja lalu duduk menatapnya dengan tekun.

Aku tersenyum pahit. Memang, Julian dan aku dekat. Bukan hanya sekali ia mengajakku pergi makan malam atau menawariku makan. Tapi aku selalu menolaknya dengan seribu alasan yang kubuat-buat. Aku tidak mau menerima pemberiannya karena aku tidak mau menggantungkan hidupku pada orang lain. Aku tidak suka dikasihani!

Ddrrrttt.

Sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari Julian.

Apa pizzanya sudah sampai?

Aku meletakkan ponselku kembali ke atas meja. Tanpa membalas pesan Julian. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Julian. Sebaris kalimat bernada protes atau ucapan terima kasih telah mengirimiku pizza di saat perutku kelaparan. I have no idea.

Ponselku bergetar kembali.

Julian calling...

"Halo,"ucapku malas. Sebenarnya aku malas melakukan ini, tapi kupikir aku terlalu kejam jika mengabaikan panggilannya. Tentu saja karena ia repot-repot mengirimiku pizza itu.

"Apa pizzanya sudah sampai?"

"Ya,"anggukku. Sekarang siapa yang bodoh? Julian tidak akan melihat anggukanku bukan?

"Kebetulan aku tadi harus meninjau pabrik dan lewat di depan PHD. Dan aku ingat kamu,"bahkan aku bisa mendengarnya tersenyum. "dimakan ya, pizzanya. Aku lihat kamu sangat kurus akhir-akhir ini..."

Aku menutup sambungan telepon tanpa permisi atau sebaris kalimat salam. Mulutku bungkam. Seperti tak berkutik.

Julian terlalu bodoh atau terlalu mencintaiku? Sikapnya membuatku tidak habis pikir. Ia mengejarku yang telah dengan sengaja berlari menjauh darinya. Apa dia memang tipe orang yang tidak mudah menyerah?

Aku harus bagaimana?

SANDIWARA CINTA #Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang