#14

1.8K 110 1
                                    

Mei! Mei!Mei!

Seseorang menyebut namaku berulang kali. Suara yang sangat akrab di telingaku. Aku jengah mendengarnya, tapi suara itu begitu mengusik. Sangat mengganggu!

Aku membuka mata dan menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya tadi leherku sempat tercekik dan nafasku terhenti beberapa saat. Perlahan aku mulai mengatur nafas dan berusaha mengoptimalkan daya kerja otakku. Sebisa mungkin.

Aku mendapati sebuah langit-langit berwarna putih terbentang di atas kepalaku. Itulah hal pertama kali yang kulihat setelah membuka mata. Hanya sekian detik saja dan aku belum sempat menurunkan pandanganku dari langit-langit itu, sampai suara seseorang terdengar meneriakkan namaku kembali. Entah untuk yang ke berapa.

"Mei..."

Aku menurunkan pandangan mataku dan mendapati seraut wajah Julian terpampang jelas di depanku. Wajahnya pucat dan matanya merah saat menatapku. Tangannya menggenggam erat jemari tangan kananku dan otakku baru menyadarinya sekarang.

Sebuah respirator terpasang dan berguna membantu pernafasanku. Mungkin aku membutuhkannya sebelum ini, tapi kurasa aku bisa bernafas dengan baik sekarang. Aku sudah bisa mengingat cara mengambil nafas dan menghembuskannya. Jarum infus sialan itu juga menusuk punggung tangan kiriku dengan kuat. Aku benci jarum infus! Juga bau rumah sakit, membuat perutku mual dan ingin muntah. Bawa aku pergi dari sini secepatnya, Julian...

"Lian,"aku nyaris tak bisa menggerakkan bibirku. Dengan susah payah aku menyebut nama Julian. Aku ingin sekali mengeluh padanya. Menceritakan padanya bahwa seluruh tubuhku lemah dan tidak bertenaga. Aku sangat lelah, seperti habis berlari sangat jauh dan tanpa jeda. Sama sekali. Kedua kakiku juga tak bisa kugerakkan. Hanya jari-jari tangan dan bola mata yang bisa kugerakkan ke kanan dan kiri. Aku juga bisa mengedipkan mataku karena itu sangat mudah dan aku harus melakukannya agar permukaan mataku tidak kering. Selebihnya aku merasakan tubuhku kaku. Kepalaku berat tapi tak berdenyut. Jantung yang berdetak lemah, nafas yang syukurlah, semakin teratur, dan nyeri di dada kiriku sudah menghilang. Kurasa aku sudah lebih baik ketimbang sebelumnya, meski alat-alat medis itu sedikit menyiksaku.

"Terima kasih kamu telah bersedia kembali, Mei,"sebutir air mata Julian menetes membasahi jemari tanganku. Hangat dan penuh cinta. Kurasa aku semakin mendalami karakter Julian sekarang, untuk menipunya di masa depan. Bodohnya aku bisa berpikir seperti itu sekarang! 

Aku memperhatikan telaga bening itu berubah menjadi keruh untuk pertama kalinya. Apa gerangan yang membuat telaga bening itu tak lagi bening seperti sebelumnya? Padahal aku ingin menyelam ke dasarnya. Aku ingin tenggelam ke kedalaman telaga bening itu sekali lagi!

Julian mengecup jemariku dengan lembut. Seolah tak peduli dengan kehadiran seorang dokter yang sebagian rambutnya memutih dan berkacamata. Ia didampingi suster muda dan lumayan cantik. Dokter itu memeriksa keadaanku. Ia menempelkan ujung stetoskop yang  dingin itu di atas permukaan kulit dadaku. Ia terdiam saat berkonsentrasi pada bunyi detak jantungku. Setelah puas memeriksa detak jantungku, ia beralih pada mataku. Ia mengeluarkan sebuah senter kecil dan menyalakannya ke arah mataku. Silau! Aku berdoa agar mereka cepat pergi dari kamar ini. Tapi belum. Kini suster itu mengambil alih pemeriksaan tubuh pasien, aku. Ia memeriksa tensi darahku lalu mengecek botol dan selang infus. Selesai.

"Apa yang kamu rasakan? Apa kamu sakit?"cecar Julian masih tampak sedikit cemas. Setelah dokter dan suster itu pergi. Ia lebih memilih bertanya padaku ketimbang dokter yang punya data medis tentang keadaanku.

Julian bodoh, batinku. Bahkan tubuhku nyaris tak bisa digerakkan sama sekali. Bahkan aku tak bisa menjelaskan keadaanku dengan kata-kata, karena bibirku susah digerakkan. Aku perlu mengumpulkan energiku kembali, Lian!

"Apa yang terjadi?"aku berhasil mengucapkan sebuah pertanyaan pada Julian meski terbata dan susah payah. Mungkin cairan infus itu yang memberiku energi sedikit demi sedikit.

Julian tak langsung menjawab. Ia diam untuk beberapa saat. Mungkin sedang berpikir atau ia enggan menjawab pertanyaanku.

"Kamu over dosis, Mei,"tandasnya pelan. Bibirnya tampak gemetar. "untungnya kamu cepat dilarikan ke rumah sakit dan dokter bisa mengeluarkan obat-obatan itu dari perutmu. Dan.....denyut jantungmu sempat berhenti tadi." Pada baris kalimat terakhir Julian langsung menundukkan wajahnya. Menyembunyikan perubahan ekspresi wajah dan telaga bening itu dari tatapanku.

Oh. Aku sudah tahu semua detailnya.

"Aku nggak tahu bagaimana hidupku jika kamu pergi, Mei,"Julian mengangkat wajahnya dan aku melihat sebutir lagi air mata turun dari matanya. Ia sangat dramatis dan aku suka itu. Aku suka pria yang menangis karena takut kehilangan wanita yang dicintainya!

Setidaknya aku adalah wanita hebat yang sanggup membuat seorang pria meneteskan air matanya untukku. Dan aku akan mengingatnya sampai kapanpun.

"Aku lelah, Lian,"aku mengucapkan sebaris kalimat lagi. Sangat lirih. Dan tanpa harus meminta persetujuan Julian, aku memejamkan mataku.

"Tidurlah, Honey,"Julian mengecup keningku dengan lembut.

Julian, apa kamu tahu kenapa kematianku tertunda?batinku sebelum terseret ke dalam lelap. Karena aku harus memperbaiki sikapku, terutama padamu. Sandiwara yang kumainkan dengan sempurna di hadapanmu...

SANDIWARA CINTA #Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang