#22

3.2K 118 2
                                    

Mataku menatap lurus dari celah jendela yang terbuka. Sesekali angin berhembus mempermainkan kain gorden sehingga tampak meliuk-liuk seperti penari. Hari ini cerah dan cenderung panas meski matahari belum berada di atas kepala. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Bedanya aku kini tak lagi berkeliaran di jalanan, aku sedang berada di dalam kamar rumah sakit yang bersih dan jauh dari kata polusi. Hanya saja aku sekarang sedang duduk di atas sebuah kursi roda. Ya, aku harus duduk di atas kursi roda karena tulang kakiku patah. Butuh waktu sekitar dua atau tiga bulan untuk memulihkannya.

"Kamu melamun?"

Teguran itu memecah keheningan yang kuciptakan di dalam pikiranku. Aku hendak menoleh ke arah kananku tapi sebuah buket berisi bunga rose merah muncul tiba-tiba di hadapanku.

"Surprise!"teriak Julian berhasil mengejutkanku. Ia sukses mendaratkan sebuah kecupan di pipi kananku dengan sempurna. "do you like it?"tanya Julian saat aku mengambil alih buket itu dari tangannya.

Aku mencium bunga-bunga itu dan merasakan sensasi aromanya. Harum dan sanggup menghipnotis pikiranku dalam sekejap. Aku mengembangkan senyum bahagia.

"Tentu aku suka, Lian,"sahutku dengan girang. "tapi tumben kamu punya ide segila ini,"olokku kemudian. Dengan tergelak.

Julian ikut meledakkan tawa segarnya. Ia menyeret sebuah bangku lalu mendudukinya. Persis di hadapanku.

"Kamu menyebut ide brilian seperti itu sebagai ide gila?"protesnya tak terima. Ia mendekap kedua lengannya di dada. Sok serius. "ayolah, Mei. Nggak setiap hari aku memberimu kejutan kan? Lagipula ini pertama kalinya aku memberimu bunga,"tandasnya ingin melanjutkan pembahasan tentang kejutan ini.

"Ya,"sahutku cepat. "karena kamu bukan tipe pria romantis. Kamu tahu, setiap wanita pasti senang diberi bunga, especially red rose. Mawar merah selalu melambangkan cinta...dan kamu pasti nggak tahu kan, sejujurnya aku juga suka mawar putih,"ungkapku dengan mimik serius. Untuk mengimbangi sikap Julian.

"Really? You never told me before..."

Aku menghela nafas seraya menatapnya lekat-lekat.

"Pentingkah?"aku sedikit melebarkan kedua bola mataku.

"Tentu,"sahutnya mantap. "tapi sejujurnya aku nggak terlalu suka memberimu kejutan berupa bunga."

"Lalu?"tanyaku cepat. Sedikit emosi.

"Aku lebih suka memberimu makanan,"tandasnya lagi-lagi dengan serius.

"Hah?!"aku tercekat dengan pernyataan konyolnya.

"Iya, Mei,"sahutnya. "karena aku suka saat melihatmu makan dengan lahap. Karena yang kutahu kamu adalah orang yang sedikit rewel soal makanan, pilih-pilih makanan, dan kamu hanya akan makan jika kamu suka. Itu kenapa kamu nggak pernah bisa gemuk, tahu?"Julian menyentil hidungku gemas.

"Apa aku seserius itu soal makanan?"aku mendelikkan mata. Aku sedikit tak yakin dengan penilaiannya tentangku. Kupikir aku tidak terlalu berlebihan soal makanan dan masih dalam tahap wajar. Julian pasti telah melebih-lebihkan.

"Ya,"sahutnya pendek.

"Wow,"decakku seraya tergelak. Aku menghela nafas setelah cukup puas menderaikan tawa. Aku sengaja menciptakan hening diantara kami agar aku bisa berbicara serius pada Julian tentang isi hatiku. "thanks for loving me so much, Lian..."

Julian tertegun sejenak mendengar ucapanku. Ia lalu tersenyum dan menyentuh pipiku lembut.

"Seharusnya aku yang berterima kasih karena kamu telah hadir dalam hidupku. Memberi warna di hari-hariku yang selama ini aku merasa hanya ada dua warna, hitam dan putih. Monochrome, kamu tahu?"Julian mengimbangi kata-kataku dengan kalimat yang jauh lebih indah. Penuh sanjungan dan romantis. Andai saja ia mengatakan hal semacam ini pada wanita lain, aku bisa pingsan mendadak karena cemburu. Kamu benar-benar pandai merayu, Lian, batinku.

"Sehebat itukah aku di matamu?"tanyaku sedikit terbata. Seumur hidupku hanya Julian-lah satu-satunya pria yang bisa membuatku melambung tinggi karena sanjung pujinya.

"Aku hanya mencintai sekali, Mei. Menikah sekali dan mati sekali. Dan satu-satunya wanita yang bisa membuatku jatuh cinta lagi adalah putri kita, kamu tahu?"

Kalimat Julian ibarat sebuah mantra untuk melelehkan air mataku lagi. Untuk ke sekian kali. Ia begitu manis, romantis, dan ia segalanya bagiku!

"Hei, kamu menangis?"tegurnya ketika aku menundukkan wajahku perlahan. Ia berusaha menegakkan wajahku kembali.

Aku menggeleng kuat-kuat meski pada kenyataannya air mataku sudah meleleh. Aku menatap telaga bening milik Julian meski sedikit kabur tertutup sebagian air mata yang masih menggenang di permukaan mataku.

"Karena kamu membuatku baper, Lian,"tandasku dengan suara serak. Aku harus menahan isak tangisku untuk mengucapkan kalimat itu. Aku juga harus menahan geli saat mengucapkannya, kamu tahu?

"Baper? What's the meaning of..."

Aku mendekatkan wajahku ke arah Lian lalu mendaratkan sebuah kecupan hangat di atas bibirnya yang lembut. Cepat dan singkat.

"Mei..."Julian terbelalak kaget dengan kejutan yang baru saja kuhadiahkan padanya. Ia menggerakkan kedua bola matanya ke kanan begitu juga dengan alisnya yang ikut terangkat. Seolah melempar kode yang belum berhasil ku cerna.

"Ehem!"

Aku menoleh secara refleks dan mendapati seorang dokter muncul di depan pintu. Oh Tuhan, aku malu! 

SANDIWARA CINTA #Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang