#20

2.1K 108 1
                                    

Panas, polusi udara, partikel debu beterbangan kemanapun angin membawanya, sebagian menempel di tubuh, wajah, dan pakaianku, sebagian lagi terhisap oleh alat pernapasanku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rupaku sekarang, disaat debu tebal sudah melekat di sana. Pakaian yang sudah dua hari kupakai juga sudah sedikit berbau dan kotor. Tak ada lagi Mei yang cantik dan angkuh, yang ada hanya Mei si gelandangan baru!

Aku melihat si wanita tua dan anak kecil itu beristirahat di depan sebuah warung tenda di seberang jalan. Mereka tampak duduk santai di bawah pohon sambil melepas lelah. Anak kecil itu menghisap es teh dari sedotan yang kini berada di dalam genggamannya. Pasti menyenangkan bisa menikmati es teh disaat panas terik seperti ini, batinku hanya bisa menelan ludah seraya menatap anak kecil itu. Sementara wanita tua itu melahap sebuah gorengan dengan sesekali menatap ke jalanan, ke arah mobil-mobil yang berhenti di depan rambu lalu lintas yang kebetulan berwarna merah. Mereka adalah mangsa dan wanita tua itu melewatkannya karena sekarang adalah jam makan siang yang tidak mungkin ia tinggalkan. Usai melahap habis gorengannya wanita tua itu mengeluarkan uang dari tas kresek miliknya dan mulai menghitung lembar demi lembar yang telah terkumpul. Lumayan banyak hasil yang ia peroleh dari pagi hingga siang. Hasil meminta-minta yang konon ia sebut sebagai bekerja.

Ah, dan perutku lapar. Aku masih duduk di teras sebuah toko yang sudah tidak di tempati. Menghabiskan beberapa jam ini dengan melamun seraya membuang pandangan ke jalan raya. Berpikir dan merenung tentang banyak hal. Terutama jalan hidup yang sudah kulalui. Kesalahan-kesalahan yang sudah kulakukan, penipuan-penipuan kecil yang tidak pernah kuungkap pada siapapun, sandiwara-sandiwaraku di depan Julian...

Aku mengakhiri lamunan dan bangkit dari tempat dudukku, berdiri, dan mulai melangkah ke arah jalan yang kupercaya adalah arah darimana aku datang. Arah rumah Julian. Jika aku benar.

Aku berjalan dengan ekstra hati-hati karena harus menahan panas dan sakit saat kakiku harus bergesekan dengan aspal yang panas. Juga panas matahari yang membakar kulit tubuh dan rambutku. Belum lagi debu dan polusi yang terpaksa kuhirup karena tak ada lagi udara bersih di kota metropolitan ini. Aku sudah tak peduli lagi jika ada mata-mata yang menatapku dengan nyinyir. Toh, aku tidak mengenal mereka dan sebaliknya. Mereka menganggapku orang gila, gelandangan, pengemis, itu terserah mereka.

Aku melangkah dan terus melangkah meski tak punya tujuan jelas. Mengedarkan pandangan ke sekeliling, berharap menemukan sosok Julian diantara pengguna jalan itu. Meski kedengaran mustahil. Ibarat mencari jarum diantara tumpukan jerami. Mission impossible.

Suatu kali aku berhenti, duduk di tepi jalan sekedar meluruskan kaki-kakiku yang pegal. Kembali menatap sekitar dan menahan haus yang menggerogoti kerongkongan. Hari beranjak sore dan matahari tidak segarang tadi. Angin sejuk menerpa wajahku dari arah pepohonan yang tumbuh di sisi jalan. Sedikit mengurangi kepenatanku tapi tidak rasa hausku. Tapi aku sangat menikmatinya.

Setelah merasa cukup melepas lelah, aku melanjutkan kembali perjalananku. Sebentar lagi gelap dan aku masih berjalan dengan kekuatan yang tersisa. Aku masih tidak tahu arah jalan pulang dan hanya menduga-duga saja. Entah benar atau salah.

Julian?

Langkahku terhenti. Ujung mataku menangkap sebuah bayangan di seberang jalan. Sesosok tubuh mirip Julian. Punggung yang sama, potongan rambutnya juga sangat mirip, kemeja putih, celana katun hitam, semua yang ada pada sosok itu nyaris mirip Julian. Hanya saja aku tak bisa melihat wajahnya, karena ia tak kunjung membalikkan tubuh. Kurasa aku harus segera memastikan sosok itu sebelum ia pergi dan aku kehilangan jejak.

Aku turun ke jalan dengan langkah tergesa sambil menghentikan paksa kendaraan yang melaju. Pasalnya lampu merah sedikit lebih jauh dan aku tidak punya waktu untuk menyeberang dari sana. Sebuah mobil berhenti mendadak dan nyaris menabrakku. Aku tidak peduli akan kemarahan sang pengemudi yang ia lampiaskan lewat klakson yang ia bunyikan berkali-kali. Aku tak mau kehilangan jejak sosok mirip Julian itu dan kembali melanjutkan langkahku. Aku tidak tahu sebuah mobil lain yang melaju dengan kecepatan tinggi siap menyambutku. Semua salahku, menyeberang sembarangan hingga insiden itu menimpaku.

Mobil itu mendorong tubuhku ke udara lalu jatuh terhempas ke atas permukaan aspal yang kasar dan keras. Semua terjadi begitu cepat dalam sekejap mata. Tahu-tahu tubuhku telah terkapar di atas jalanan berlapis aspal itu dalam kondisi yang mengenaskan. Kepala dan seluruh tubuhku sakit namun mataku masih terbuka. Cairan berwarna merah menggenang di bawah kepalaku, tangan kananku tergores dan terasa perih akibat bergesekan dengan aspal yang kasar. Dan kedua kakiku serasa mati rasa. Punggungku juga seperti patah.

Lalu lintas terhenti seketika. Orang-orang menghentikan aktifitasnya dan berlarian ke arahku. Ada yang segera menghubungi polisi, ada yang berinisiatif menggotong tubuhku ke tepi jalan, dan ada juga yang memotretku. Sial!

Perlahan-lahan pandanganku kabur. Wajah-wajah malaikat penolongku mulai pudar. Suara-suara mereka juga melemah. Duniaku mulai menghitam dan seketika gelap. Wajah dan suara di sekitarku juga menghilang. Aku kehilangan kesadaran.

SANDIWARA CINTA #Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang