#12

1.9K 94 0
                                    

Aku sakit!

Viko benar-benar... Ugh! Aku tidak tahu harus menyebutnya apa. Aku sudah kehilangan kata-kata terburuk untuk menyebutnya. Dia berhasil membuatku hancur saat ini. Memaksaku terbaring tanpa daya di bawah selimut tebal, gemetaran, dan mengacaukan semua metabolisme dalam tubuhku. Kepalaku berdenyut, jantung yang belum juga stabil, hanya rasa nyeri di dada kiriku berangsur membaik. Sisanya masih sama, nafasku masih sesak.

Julian...

Ah, aku tidak bisa menghubungi Julian dalam keadaan seperti ini. Aku takut mengatakan apa yang baru saja menimpaku pada Julian. Aku tidak mau Julian sedih dan kecewa. Aku tidak ingin membebaninya dengan masalah setelah semua perjuangan yang ia lakukan selama ini untukku. Lebih baik aku memendam ini sendirian. Sendirian!

Aku yang selama ini merasa cantik, angkuh, dan punya segalanya ternyata rapuh. Kamu tak sekuat penampilan luarmu Mei!batinku berteriak keras dan menggema di lorong-lorong yang menghubungkan hati dan pikiranku. Ya, aku bisa berakting kuat, tegar, mandiri, dan menjadi apapun yang aku mau. Tapi pada dasarnya aku lemah dan satu guncangan saja bisa merobohkan staminaku. Selemah daun kering yang tertiup angin dan setiap saat bisa terhempas jatuh. Lalu angin meniupnya lagi kemana ia suka. Mei dan daun kering. Aku!

Penampilan luarku menipu semua orang, bahkan diriku sendiri. Fisikku lemah. Dan sialnya aku baru tahu sekarang. Kenapa? Kenapa saat Viko mencampakkanku, aku baik-baik saja bahkan tak meneteskan air mata sebutirpun? Aku kuat dan tegar. Saat itu. Tapi sekarang aku berbeda. Mei yang sekarang mungkin sedang berpotensi mengidap penyakit jantung, asma, stroke, atau apalah. Inikah karma untuk segala perbuatanku? Untuk segala tipu daya yang kulakukan untuk Julian?

Aku mengusap air mata yang masih mengalir ke pipiku saat aku mendengar suara derit pintu kamar terbuka. Pasti mbak Murni, batinku menebak. Aku tak mengubah posisi tubuhku yang menghadap tembok berharap mbak Murni tidak melihat segala kelemahanku. Terutama air mata ini.

Aku mendengar mbak Murni meletakkan sesuatu di atas meja riasku. Mungkin gelas.

"Non Mei baik-baik saja?"teguran mbak Murni terdengar sangat hati-hati. Suaranya terdengar tak begitu jauh dari telingaku.

"Iya, Mbak,"sahutku dengan suara serak. Aku mengusap air mataku sekali lagi dan memastikan tak ada sisa air mata di pipiku. Aku membalikkan tubuh dan bangkit dengan tenaga yang tersisa. Aku bersandar pada tumpukan bantal untuk menyangga punggungku. Aku tidak yakin bisa duduk dengan tegap saat ini. Dengan kondisi seperti ini. "duduklah Mbak,"aku menyuruh mbak Murni agar duduk di dekatku.

Mbak Murni menuruti perintahku. Ia mendekat kemudian duduk dengan gerakan halus. Ia hanya menatapku sekilas dan tak berani menatapku lebih lama lagi.

"Aku mohon Mbak Murni jangan cerita soal ini pada Julian,"ucapku lirih. Suaraku masih seserak tadi. Sebenarnya aku tidak yakin mbak Murni tidak melihat kejadian tadi. Seandainya ia melihat pasti ia buru-buru menolongku. Tapi nyatanya ia muncul setelah Viko pergi."aku nggak mau Julian sedih. Mbak Murni bisa kan?"

Mbak Murni mengangguk tanpa bertanya apa-apa.

"Makasih mbak Murni..."

"Tapi...Non Mei yakin baik-baik saja?"aku sangat tahu jika mbak Murni juga mencemaskan keadaanku. "apa kita nggak perlu ke rumah sakit? Non Mei sepertinya kurang sehat."

Aku tersenyum. Berpura-pura seperti yang biasa aku lakukan. Dan berpura-pura sudah menjadi rutinitasku sehari-hari. Aku hanya menutupi keadaanku yang sedang buruk dengan tersenyum. Karena senyum bisa menutupi rasa sakit.

"Nggak Mbak,"sahutku berusaha menguatkan suaraku. Dadaku terasa sakit kembali. "tolong ambilkan obat sakit kepalaku Mbak,"aku menunjuk laci di bawah meja riasku dengan telunjuk kiriku.

Mbak Murni buru-buru bergerak dan membuka laci meja riasku. Dia mengambil satu kemasan obat sakit kepala dari dalam laci dan menyodorkannya ke arahku. Obat sakit kepala itu sisa 8 butir setelah kuminum 2 butir kemarin. Mbak Murni dengan sigap membantuku untuk mengambil gelas di atas meja. Aku meminum obat itu sebutir kali ini.

Aku merebahkan kembali tubuhku dan mbak Murni pamit dari kamarku.

Oh Tuhan, desisku seraya menatap langit-langit kamarku. Kenapa aku jadi seperti ini?tanyaku pada langit-langit kamarku. Pertanyaan bodoh. Aku memejamkan mata dan mengusir semua rasa sakit dari tubuhku tapi gagal. Aku menoleh dan melihat kemasan obat sakit kepala itu masih ada di atas meja. Haruskah?batinku gamang.

SANDIWARA CINTA #Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang