#16

1.9K 106 0
                                    

"Apa aku cantik, Lian?"

Aku melempar pertanyaan bodoh itu kepada Julian. Pria itu sedang sibuk membuka kemasan biskuit Oreo dan sepertinya pertanyaanku tidak mengusiknya.

"Tentu saja kamu cantik, Mei,"tandasnya. Senyum tipis mengembang dibibirnya.

"Meski aku dalam keadaan sakit seperti ini?"lagi-lagi pertanyaan yang sama bodohnya seperti tadi kulempar padanya.

"Kamu tetap cantik dalam keadaan apapun, Mei,"ia meletakkan biskuit itu di atas meja lalu membantuku untuk bangun dan menumpuk dua buah bantal untuk kujadikan sandaran. Membuat posisi punggungku senyaman mungkin di sana.

"Kenapa kamu mencintaiku?"pertanyaan bodoh ketiga kalinya juga kulempar padanya.

Tapi Julian tak segera menjawab. Ia mengambil sekeping biskuit dari atas meja dan mengulurkannya padaku seperti tak pernah terpengaruh oleh pertanyaanku.

"Lian..."

"Kenapa bertanya seperti itu?"ia malah mengajukan pertanyaan padaku padahal aku sedang  menunggu jawabannya.

"Jawab saja,"aku merebut biskuit itu dari tangannya dan segera melahapnya seperti orang kelaparan. Aku hanya memakan makanan kecil sejak pagi tadi dan menolak nasi atau bubur. Perutku sedang tidak ingin menerima kedua makanan itu.

Julian tergelak. "Aku sudah pernah mengatakan padamu kan, karena kamu layak untuk diperjuangkan,"ucapnya.

"Itu bukan jawaban, Lian,"tolakku. "apa nggak ada alasan lain, misalnya karena aku cantik, pandai atau apalah."

"Seberapa penting alasanku buatmu?"ia menyebalkan karena mengajukan pertanyaan kembali.

"Jawab saja dan buat aku senang, Lian,"ucapku setengah memaksa. Aku menghabiskan biskuitku dan mulai mengunyah biskuit kedua.

Julian tertawa. "Karena saat pertama kali melihatmu hatiku bergetar, Mei. Dan aku mengikuti naluriku. Jujur, aku nggak pernah merasakan hal seperti itu saat bertemu dengan wanita manapun di dunia ini. Dan aku yakin Tuhan adalah alasan di balik semua itu,"ungkapan hati Julian terdengar indah dan melelehkan hati siapapun yang mendengarnya.

"You're so sweet,"pujiku sembari tersenyum. Julian adalah paket lengkap suami idaman!

"Thanks for complete me, Mei,"tandasnya romantis. Kali ini ia mendekatkan wajahnya ke wajahku dan aku hanya diam menunggunya melakukan sesuatu padaku. Kecupan manis misalnya. Aku masih bertumpu pada kedua bantal di punggungku dengan nyaman.

Tapi suara ketukan di pintu kamarku membuat kami terpaksa menghentikan adegan romantis yang bahkan belum kami mulai. Mbak Murni sangat pandai memilih waktu.

"Masuk Mbak,"suruh Julian seraya kembali pada posisi duduknya semula.

"Maaf,"mbak Murni masuk dan menghampiri kami. "dokternya sudah datang, Tuan,"lapornya.

"Suruh masuk Mbak,"suruh Julian.

"Baik."

Mbak Murni meninggalkan kamar kami dan memanggil dokter yang mungkin sedang menunggu untuk dipersilakan masuk.

"Lian..."

"Ya,"Julian mengalihkan pandangannya padaku. Sepasang telaga bening itu seolah bertanya ada apa.

"Aku baik-baik saja, Lian. Kenapa kamu masih memanggil dokter..."kalimatku menggantung karena sang dokter yang dipanggil mbak Murni muncul.

Julian langsung berdiri menyambut dokter itu dengan senyum ramah. Mereka bersalaman dan saling menanyakan kabar masing-masing. Lalu menanyakan kabarku.

"Apa kabar, Mei?"sapa dokter itu. Terus terang aku tidak menyukainya. Bukan dia saja, tapi seluruh dokter di dunia ini.

"Baik,"balasku datar.

Sang dokter meletakkan tasnya di atas meja, mengeluarkan stetoskop dan memeriksa detak jantungku dengan teliti. Lalu mengukur tensi darahku dalam diam. Selesai.

Begitu saja?batinku seraya tak henti menatap tingkah lakunya.

"Kamu harus banyak makan agar cepat sembuh, Mei,"pesan dokter itu seraya menuliskan sesuatu di atas secarik kertas mirip nota lalu menyerahkan benda itu pada Julian. Resep obat yang harus ditebus Julian, katanya mengakhiri kunjungan. Ia pamit sesaat setelah itu.

Julian memberi kode padaku untuk meminta izin mengantar dokter itu ke pintu depan. Entah berapa menit kemudian ia kembali dan aku sudah tidak melihat carik kertas itu di tangan Julian. Mungkin ia sudah menyimpannya di suatu tempat.

"Kamu mau makan lagi?"Julian kembali duduk di dekatku. Menawariku biskuit yang sudah sempat kucicipi tadi.

Aku menggeleng. Aku sudah kenyang hanya dengan dua keping biskuit tadi.

"Kenapa? Kamu harus makan banyak, Mei. Kamu dengar kan kata dokter tadi?"kali ini Julian memperlakukanku seolah aku ini anak kecil.

"Nggak, Lian,"aku mulai jengah dengan perlakuannya.

"Baiklah,"Julian pasrah. Kali ini ia tak mau memaksa. Mungkin ia tidak ingin insiden sendok jatuh itu terjadi kembali. "kalau begitu kamu harus minum obatnya."Julian mengambil sebuah mangkuk mini dari atas meja berisi tiga butir obat dengan bentuk dan warna yang berbeda.

"Apa yang dikatakan dokter tentangku, Lian?"aku mengajukan pertanyaan sebelum Julian mengulurkan butiran obat itu ke mulutku. "kalian baru saja bicara diluar kan?"

Julian menarik nafas dan menatapku lekat-lekat. Seperti enggan bicara.

"Nggak ada, Mei. Dokter itu hanya mengatakan kondisimu sudah mulai stabil dan kamu harus makan banyak, serta teratur minum obat. Itu saja,"papar Julian. Entah bohong atau jujur, hanya Tuhan yang tahu.

"Benarkah?"aku menggumam tak yakin. "apa dia nggak mengungkit soal paranoid atau gangguan kejiwaan?"

Julian tampak tercekat mendengar pertanyaanku. "Apa yang sedang kamu bicarakan, Mei? Siapa yang mengidap gangguan jiwa?"Julian sedikit cemas, kupikir seperti itu saat aku melihat kedua alisnya nyaris bertaut.

"Aku."

"Mei!"ia setengah berteriak. Julian menghela nafas panjang, mengendalikan emosi yang mungkin sedang merangkak naik sekarang. "aku nggak tahu apa yang sedang kamu bicarakan, Mei. Please, jangan membuatku bingung. Nggak ada yang sakit jiwa di sini, kamu paham?"ia menekan kalimatnya yang terakhir.

"Aku jelas-jelas mendengarnya, Lian,"aku berusaha mendebat Julian. "kalian bicara soal itu di depan pintu kamar rumah sakit..."

Ya, saat itu... Aku masih ingat betul kejadian itu. Semuanya! Mungkin saja saat itu aku sedang koma dan sempat kehilangan denyut jantungku. Dan saat itu aku hanya sebuah roh yang telah meninggalkan jasadnya!

Julian menatapku tanpa berkedip. Berbagai macam pertanyaan mengalir dari telaga bening itu ke arahku. Namun tanpa suara.

"Ucapanku benar kan, Lian?"suaraku sedikit gemetar. "aku mengidap gangguan jiwa kan? Katakan Lian! Aku nggak gila, Lian! Aku sehat, aku baik-baik saja..."aku mencengkeram sweater milik Julian, mengguncangnya dengan keras dan histeris, lalu luruh menjadi sebuah isak tangis. Air mata membanjiri pipiku sejurus kemudian. Menguras habis seluruh energiku.

Julian mendekapku sejurus kemudian. Erat sampai aku nyaris tak bisa bernafas. Air mata masih menggenang di sana. Di pipiku.

"Semua akan baik-baik saja, Mei,"bisik Julian di dekat telingaku. Ucapannya meyakinkanku jika semua dugaanku benar adanya. Aku mengidap gangguan jiwa!

SANDIWARA CINTA #Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang