#18

1.8K 102 1
                                    

Aku memeluk lenganku, duduk merapat pada pintu sebuah toko yang sudah tutup, menahan hawa dingin yang mulai menyerang tubuhku. Jalanan masih ramai meski malam kian beranjak larut. Perutku lapar dan aku tidak punya tenaga untuk melangkah, lagipula aku juga tidak tahu harus kemana. Kupikir kondisiku melemah kembali. Haus, lapar...

Seorang wanita tua berpakaian lusuh dan kumal, dengan sebuah kantung kresek dan selembar kardus di tangannya, mendekat. Ia mengamatiku dengan tatapan tajam, menelusuri setiap inchi tubuhku dengan sepasang mata kecilnya. Dalam keremangan lampu jalanan, aku melihat debu tebal membungkus wajah, tangan, dan pakaiannya. Ia sedikit berbau dan nyaris membuatku muntah.

"Kamu siapa? Kamu gelandangan baru di sini?"ia melempar pertanyaan seraya membentang sebuah kardus yang ia bawa tak begitu jauh dari tempat dudukku. Oh, seorang anak kecil, laki-laki dan berusia sekitar tiga tahun muncul dari arah lain. Ia sedikit berlari mungkin tertinggal dari wanita tua itu. Keadaan anak itu tak lebih baik dari wanita tua itu. Mereka duduk di atas kardus itu beberapa saat kemudian. Wanita tua itu mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam tas kresek yang ia bawa. Sebuah nasi bungkus.

Aku mengalihkan pandanganku ke jalanan seraya menelan ludahku sendiri. Aku mencoba mengalihkan perhatianku ke tempat lain dan melupakan rasa lapar yang menggerogoti lambungku. Terakhir aku makan tadi siang, itupun hanya dua keping biskuit.

Aku tersentak. Anak laki-laki yang datang bersama wanita tua itu menghampiri tempat dudukku. Ia berdiri kaku menatapku dengan tangan terulur, sebuah tahu goreng berada dalam genggamannya. Aku menatap wanita tua itu untuk bertanya dengan mataku, tapi ia tampak sibuk melahap makanannya dengan tangan kotornya. Sedang anak laki-laki itu masih mengulurkan potongan tahu goreng kepadaku, juga dengan tangan kotor sama dengan wanita tua yang kemungkinan adalah neneknya. Tampaknya ia sedang berharap aku menerima pemberian kecilnya, karena ia tahu aku lapar dan ia hanya ingin berbagi sedikit rejekinya hari ini denganku.

Aku menggeleng pelan. Entah berapa banyak bakteri yang menempel pada tangan anak kecil itu dan aku tidak mau terkena penyakit. Aku tidak bisa memakan makanan kotor seperti itu.

"Yung..."wanita tua itu memanggil anak kecil itu. Tapi anak kecil itu masih bergeming di tempatnya. Seolah tak mendengar panggilan wanita tua itu. "dia nggak mau makan makanan kotor itu." Wanita tua itu menarik lengan anak kecil itu agar segera mendekat kembali padanya.

Aku mendesah dan kembali menatap ke jalanan sembari menahan perih di dalam perutku. Aku merapatkan lenganku lebih erat agar bisa menahan hawa dingin yang kian menusuk kulit.

Julian.

Nama itu terus-menerus terngiang di pikiranku tanpa henti, tanpa jeda. Ia mengalir terus seperti benang tanpa ujung. Sedang apa Julian?bisikku dalam hati. Berharap ia mendengar telepatiku. Meski aku tahu semua itu konyol. Tapi hatiku benar-benar ingin tahu sedang apa ia di seberang sana? Apa ia sedang kebingungan mencariku? Memikirkanku? Sedihkah ia atas kehilanganku? Apa ia sudah makan? Apa ia...

Ah.

Kepalaku nyaris jatuh karena rasa kantuk yang tiba-tiba menyerbu kedua mataku dengan dahsyat. Aku tergagap dan langsung tersadar seketika. Sekali lagi aku merapatkan kedua lenganku melawan hawa dingin yang terus-terusan menyerang tubuhku. Aku benci semua ini! Aku hanya ingin berbaring di atas tempat tidurku yang nyaman, berselimut tebal dan hangat, bersama Julian di sampingku.

Julian. Apa aku terlalu sering menyebut nama itu beberapa jam terakhir ini? Tidak, bahkan sebelum inipun aku selalu menyebut nama Julian. Aku baru sadar jika aku merindukan Julian. Sosoknya, senyumnya, kata-kata lembutnya, harum aroma Bulgari Extreme yang melekat ditubuhnya, dan semua yang ada pada diri Julian. Aku merindukan semua itu, ya Tuhan!

Aku menengadah ke langit. Kosong. Hitam tanpa bulan dan bintang. Mungkin itulah kiasan hatiku sekarang karena tanpa Julian. Aku hanya ingin bertanya pada langit, bagaimana Julian tanpa aku? Seperti langit malam inikah?

Pipiku terasa hangat. Sebutir air mata menetes di sana. Perlahan namun pasti. Membentuk sebuah genangan mirip sungai di atas permukaan pipiku. Menderas dan tanpa suara isak.

Apa yang kualami sekarang adalah balasan dari semua kebohonganku selama ini pada Julian. Tuhan sedang menghukumku. Aku memang pantas mendapatkan ini. Kapan lagi aku akan menebus semua perbuatanku jika bukan sekarang? Lebih baik aku menebusnya di sini ketimbang nanti setelah aku mati.

Aku meletakkan tubuhku di atas lantai teras toko yang kotor, meringkuk dan menumpukan kepalaku pada kedua tangan. Rasa kantuk yang teramat tak bisa kutahan. Aku jatuh tertidur beberapa saat kemudian. Sementara wanita tua dan anak kecil di sebelahku juga telah berbaring, mungkin mereka juga telah terlelap ke alam mimpi.

SANDIWARA CINTA #Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang