#19

1.8K 104 1
                                    

"Hei, bangun!"

Tubuhku terguncang kasar. Membuatku kaget dan langsung membuka kedua mata. Wanita tua yang semalam tidur tak jauh dari tempat dudukku, membangunkanku dengan paksa. Ia baru saja mengguncang bahuku sedikit kencang seraya berteriak. Aku bangkit dan merasakan tubuhku kaku. Hari sudah terang dan tidurku terlalu nyenyak. Mungkin karena kelelahan.

"Cepat bangun! Ada razia!"beritahu wanita tua itu. Ia segera menggandeng anak kecil yang selalu bersamanya, lalu bergegas pergi dari hadapanku. Meninggalkanku yang masih harus mengumpulkan segenap kesadaranku dan mencerna pemberitahuan wanita tua itu. Razia?batinku bingung.

Aku menatap ke kejauhan, dari arah ujung jalan tampaklah beberapa personil polisi pamong praja berdatangan dengan langkah tegap dan cepat. Seolah nyalinya baru saja dicharge penuh, siap menghalau apapun dan siapapun yang menurut mereka mengganggu keindahan kota. Razia? Wanita tua itu benar. Tapi kenapa ia memberitahuku, aku kan bukan...

Sadarlah Mei! Lihat dirimu sekarang. Kamu dan para gelandangan itu tidak ada bedanya, batinku. Terima kasih telah menyadarkanku.

Aku berdiri dan mengambil langkah dengan tenaga yang tersisa. Aku harus pergi jika tidak ingin diciduk paksa oleh mereka. Meski otakku menolak untuk disebut sebagai gelandangan, tapi nyatanya penampilanku mengatakan hal itu. 

Kakiku yang telanjang masih sakit namun aku harus tetap melangkah. Sesekali aku harus menoleh ke arah mereka, berharap langkahku tak bisa terkejar. Tapi baru beberapa meter aku sudah kelelahan. Aku berhenti dan memutuskan untuk bersembunyi di belakang sebuah bak sampah yang berukuran besar. Aku terpaksa melakukannya meski harus menutup hidungku terus menerus agar bau busuk dari dalam bak sampah tidak bisa terhirup olehku. Atau mereka akan menangkap dan membawaku dengan paksa.

Oh Tuhan, tolong selamatkan aku, doaku dalam hati. Aku hanya diam di tempat dan hanya menunggu pasukan polisi pamong praja itu pergi. Dan aku seperti sedang menghitung detik-detik yang berlalu.

Aku mendengar derap sepatu-sepatu mereka yang angkuh menapak di jalan tak jauh dari persembunyianku. Tampaknya mereka belum menemukan satupun gelandangan atau pengemis di tempat itu. Mungkin wanita tua tadi sudah memberi tahu sesama kaumnya tentang razia pagi ini sehingga mereka bisa melarikan diri sebelum pasukan polisi pamong praja itu datang. Jadi, kehidupan mereka seperti ini? Tak punya rumah, makanan, dan rasa nyaman. Lalu bagaimana masa depan anak-anak mereka? Apa mereka juga harus mengalami nasib yang sama dengan orang tuanya? Kasihan...

"Hei!"

Aku tersentak dan jantungku nyaris copot saat seseorang menepuk pundakku dengan keras. Aku mendongak dengan gerakan refleks dan menemukan seraut wajah wanita tua itu. Aku bernafas lega setelah tahu orang yang menepuk pundakku adalah dirinya dan bukan salah seorang dari polisi pamong praja itu.

"Mereka sudah pergi,"ucapnya memberi tahu. Sementara anak kecil yang selalu bersamanya itu mengintip dari balik tubuhnya. Tanpa ekspresi berarti hanya tatapan kosong ke arahku.

Aku mengangguk pelan dan berusaha bangkit. Aku menguatkan diri untuk berdiri.

"Ayolah, kamu belum makan dari kemarin kan?"

Wanita tua itu mencari tempat duduk tak jauh dari bak sampah, sebuah teras toko yang masih tutup atau memang sudah tidak dipakai lagi karena sepertinya sudah lama tidak dipakai dan kondisinya tidak terawat. Teras itu tampak penuh dengan debu yang berasal dari jalanan. Aku mengikuti langkah wanita tua itu padahal tidak mengerti maksud dari ucapannya.

"Duduklah,"suruhnya.

Aku menuruti perintahnya. Aku mengambil tempat duduk di sebelahnya sementara anak kecil itu duduk di sisi yang lain. Wanita tua itu mengeluarkan sesuatu dari tas kreseknya. Sebuah roti yang dikemas dalam plastik transparan.

"Makanlah,"ia menyodorkan roti itu kepadaku. "aku tahu kamu nggak mau makan makanan kotor, makanya aku sengaja membelikannya untukmu,"tandasnya menjelaskan asal usul roti itu.

Aku mengambil roti itu dan langsung melahapnya dengan rakus. Ya, aku sangat lapar dan tidak punya waktu lagi untuk sekedar mengucapkan terima kasih pada wanita tua yang ternyata punya hati baik itu.

"Kenapa kamu berkeliaran di jalan seperti ini?"wanita tua itu mengajukan pertanyaan padaku. "dimana rumahmu?"

Aku hanya menatapnya sekilas namun tak menghentikan kegiatan makanku. Aku terlalu lapar. Maaf.

"Kasihan,"gumamnya. "harusnya keluargamu membawamu ke rumah sakit jiwa, bukan membuangmu ke jalanan seperti ini,"lanjutnya dalam gumaman. Ia menerawang ke jalan seperti sedang berpikir.

Roti dalam genggamanku sudah habis dan ia menyodorkan air mineral dalam kemasan gelas plastik. Aku menghabiskannya dalam sekejap.

"Kalau kamu lapar, kamu minta-minta saja pada orang-orang yang lewat,"ia berucap kembali. "aku sudah melakukannya puluhan tahun dan hasilnya lebih banyak dari yang kamu bayangkan. Aku bisa membangun rumah dan membeli sawah di kampung halamanku tanpa perlu bekerja keras. Hanya perlu menadahkan tangan dan memasang wajah memelas. Gampang kan?"ia menyunggingkan senyum untuk yang pertama kalinya semenjak bertemu denganku. Ia tampak licik dan menjijikkan. Padahal sebelumnya aku sempat berpikir jika dia adalah orang baik, nyatanya aku salah.

Wanita tua itu beranjak dari tempatnya dan pergi meninggalkanku sendirian tanpa pamit. Ia melangkah ke halte bus yang terletak beberapa meter dari tempatku duduk dan menghampiri orang-orang yang sedang menunggu bus di sana. Ia tampak menadahkan tangannya kepada orang-orang itu sembari berakting memelas di hadapan mereka. Lalu apa bedanya aku dengan wanita tua itu? Bukankah kamu juga pandai berakting, Mei?batinku. Kamu dan wanita tua itu sama-sama penipu!

Tidak! Kepalaku berdenyut saat pikiran itu melintas di sana. Sakit! Tolong jangan ingatkan aku dengan kesalahan-kesalahan itu. Aku ingin memperbaikinya. Aku tidak akan menipu siapa-siapa lagi, terutama Julian. Oh, Julian...

SANDIWARA CINTA #Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang