Bagian 7

6K 754 44
                                    

Dulu, saat nenek mengajak aku ke dufan dan berkeliling dengan berjalan kaki, aku langsung mencak-mencak terus mengeluh pada nenek karna capek.

Tapi sekarang, jalan kaki berpuluh-puluh kilometer juga tak masalah bagiku, apalagi tanganku di genggam oleh Ali, tangan Ali hangat bahkan hangatnya sampai masuk ke hati, menjalar ke wajah sehingga membuat wajahku terasa panas dan memerah.

Berjalan berdampingan dengan tangan saling terpaut bukan hal pertama untukku, namun tetap saja, kalau sama Ali terasa berbeda.

Kami seperti orang pacaran saja.

Jalan berdua di sore hari, saling bercanda dan tertawa tak memperdulikan opini orang lain yang melihat kami.

Tapi mengingat statusku dengan Ali, aku langsung kehilangan tenaga. Jelas aku lesu jika mengingat status kami, karna status kami tidak jelas.

Dibilang cuma teman, tapi saling peduli, saling cemburu, meskipun hanya aku yang cemburu tapi Ali nampak tak keberatan, dia justru dengan suka rela menjelaskan, seakan takut aku salah paham.

Tapi dibilang pacaran, nggak juga. Ali tak pernah bilang cinta, begitupun denganku, meski cinta sudah tumbuh di hatiku, namun aku tak mau memulai untuk bicara.

Gengsi.

"Sariawan ya?" aku menoleh pada Ali, kemudian tersenyum, "Enak aja," Jawabku.

"Lagian diem aja."

"Ya gpp. Btw, sabtu ini sahabat-sahabat aku mau kesini li"

"Oh ya, bagus dong"

Aku mengangguk, "Sabtu ini anterin aku ke kota ya." Aku melihat Ali menatapku heran, terlihat dari tautan alisnya yang tebal kini semakin menyatu, "kan mereka nggak tau jalan kesini, kasihan mereka makanya kita jemput aja ya"

"hmm" Ali hanya menjawab dengan gumaman kemudian tangan kanannya yang terbebas mengusap rambutku.

Aku memperlihatkan deretan gigiku, nyengir senang kearahnya, "Aku tadi kenalan sama Mawar sama Akbar loh"

"Wah ada temen baru dong sekarang?"

"Iya, mereka tadi nanyain aku pacar kamu atau bukan"

"Terus kamu jawab apa?"

"Ya jawab bukan, emang bukan kan?"

Ini bukan kode, serius deh.

Ali melepaskan genggaman tangan kami kemudian dia mencubit pipiku dengan kedua tangannya, aku cemberut kemudian Ali terkekeh.

Begitulah Ali, sebenarnya dia irit sekali bicara, dia akan banyak bicara saat membicarakan hal-hal yang penting tentang kehidupan, atau dia akan berubah menjadi sangat bawel saat menasehatiku untuk jangan ini lah, harus itulah. Tapi aku suka, sungguh.

Dia tak banyak bicara apalagi jika aku sudah membicarakan tentang cinta, pacar ataupun hubungan yang menurutku juga sangat bulshit, tapi nggak bisa bohong, setiap wanita memang butuh kepastian kan?

"Eh, tapi kamu emang sedeket apa sih dulu sama Desi?" Aku bertanya setelah kami sebelumnya tersenyum pada penduduk yang melewati kami.

"Sedeket apa? Aku kan udah bilang aku anggap Desi adik, ya pasti deket banget lah"

"Adik ya?"

"Iya"

Adik-kakak ketemu gede?

"Kenapa tiba-tiba tanya gitu?" Kali ini Ali bertanya.

"Tadi Akbar bilang soalnya, katanya kamu deket sama Desi"

"Ya kalau ngajar deket, masa iya jauh-jauhan"

MAS ALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang