bagian 13

4.1K 521 30
                                    

Malam yang indah, cahaya bulan terlihat dari jendela kayu di kamarku, masih jam 7 malam bintang di langit sudah bertaburan menghiasi. Aku memutuskan keluar dari rumah, duduk di teras di temani semilir angin yang dingin.

Pikiranku menerawang, tak menyangka hidupku akan seperti ini, tinggal di desa yang jauh dari kata mewah, namun aku bisa bertahan sejauh ini. Bisa berkebun meskipun jauh dari kata baik, itu sudah keajaiban menurutku, padahal sebelumnya aku tak pernah terpikir akan panas-panasan di tengah ladang, memetik pucuk daun teh, menanam sayur, kotor-kotoran, hidupku dijakarta sangat liar, bahkan bisa di katakan sangat bebas, manja dan semua tentang menikmati hidup tanpa tahu bagaimana bekerja keras.

Tidak merengek pulang saja sudah bagus, karna jujur awal-awal berada disini aku terus merengek pada nenek lewat Hp, namun sekarang aku justru sangat menikmati, disini tenang, tak riuh seperti di jakarta.

Yang paling membuatku terus tersenyum ya karna Mas Ali, dia benar-benar merubah hidupku. Awalnya kupikir dia jelmaan dewa Ares, nafsunya besar, tapi selama ini ali nggak pernah macam-macam, paling mentok paling pelukan, pegangan tangan, hanya itu.

Entah apa itu karna kami tidak dalam status berpacaran?

Duh, berpikiran pada status kami selalu membuatku kembali mellow, dia itu membingungkan, kaya tadi aja, dia benar-benar ambigu tiba-tiba ngomongin hidup bersama terlebih tentang anak.

Anak kita?

Anak aku sama Ali?

Atau anak kita yang memang aku sama orang lain dia sama orang lain juga gitu?

Tapi aku yakin, sikap dia selama ini benar-benar menunjukkan kalau ini bukan hanya pertemanan biasa, dia selalu membahagiakanku, memprioritaskanku, memberi perhatian lebih dan aku tak pernah protes dengan semua sikapnya.

Ting

Bunyi ponsel tanda pesan masuk membuatku merogoh saku dan membuka pesan itu, desahan kasar lolos saat Elzan yang ternyata mengirimku pesan.

Elzan: Besok ketemu?

Me: Nggak bisa.

Elzan: Kenapa?

Me: Nggak enak sama pakde, bude.

Elzan......

Dia itu lebih dari sekedar teman biasa, kami bahkan seperti orang berpacaran, namun sebenarnya tidak, aku dulu terlalu naif tentang cinta, terlalu tak percaya dengan indahnya romansa dari cinta. Aku dan dia hanya having fun, menjalani hidup berdua, berpelukan, berciuman, bahkan tidur bersama. Iya. Aku memang seliar itu.

Suara Hp memubuatku terkejut, disana terpampang nama Elzan sebagai pemanggil, dengan helaan nafas panjang aku menjawabnya.

[Hallo]

“Hallo El.”

[Aku rasa kamu ngejauh, aku salah apa?]

“Loh, keadaan kita yang membuat jauh El.”

[Kamu yang membuat kita jauh Prill]

Aku menghela nafas, setuju dengan ucapan Elzan, namun selalu ku sangkal.

[Kalau kamu nggak enak sama bude, atau pakde mu, aku yang minta izin nanti pas jemput kamu] suara elzan kembali mengintrupsi.

“Tapi El...”

[Apalagi? Jelas-jelas kamu menghindar, mau buat alesan apa lagi?]

“Aku nggak mau nyusahin kamu dengan ke bandung cuma buat aku.”

[What the hell Prilly, sejak kapan kamu nyusahin aku? Selama ini jelas-jelas aku senang jika kamu bersamaku]

Memejamkan mata lelah, aku akhirnya pasrah, “terus maumu apa?”

[Besok aku ke bandung, kita ketemu]

“Terserah,” putusku. Elzan itu mempunyai sifat pemaksa, dia selalu harus mendapatkan apapun yang dia mau, jadi percuma saja jika terus menolak.

Aku menoleh saat merasakan kehadiran sesorang yang masuk ke halaman rumah Bude, disana Ali bersisian dengan Desi sedang masuk pagar berkayu dan menatapku.

Sifat pencemburuku tiba-tiba saja mendidih, aku terasa panas melihat Ali kembali bersama Desi.

“Oke, kita besok ketemu.” Aku bersuara lantang pada Hp berharap Ali mendengar, kemudian memutuskannya panggilan, biar saja aku bertemu dengan Elzan toh Ali juga terus-terusan bersama Desi.

Apa yang katanya hidup bersama?

Apa yang katanya anak kita?

Bulshit!!!

“Kenapa diluar?” Ali bertanya setelah mendekat.

“Cari angin,” ucapku.

Ali tersenyum manis kemudian berujar, “di dalem nggak ada angin?”

Aku menoleh pada Desi yang kini sedang menatapku, kemudian beralih pada Ali lagi.

“Oh iya, di dalem ada kok.” Setelah berucap seperti itu aku masuk kedalam dan membanting pintu cukup keras, okey, itu memang sangat keras, aku tak sengaja melakukannya.

Aku kesal, rasanya pengen nangis terus-terusan seperti ini, Ali benar-benar sudah kurang ajar menjukir balikan perasaanku, baru saja tadi pagi manis banget. Sekarang udah kecut kaya jeruk belum mateng.

Pintu kembali di ketuk, aku biarkan, namun semakin lama ketukannya semakin keras membuatku mau tak mau membukanya, tak mau mengganggu Pakde, Bude, juga Monik yang sudah ada di kamar.

Setelah pintu dibuka, terlihat Ali disana, aku menoleh ke balik punggungnya namun tak menemukan Desi disana. Ali mengikuti arah pandangku kebelakang punggungnya kemudian menatapku dengan senyuman.

“Desi pulang duluan kalau itu yang kamu cari,” katanya.

“Oh, terus ngapain kamu masih di sini, nggak pulang bareng dia?” tanyaku.

Ali hanya tersenyum menatapku.

“Diem doang lagi kaya orang budek,” ketusku sembari melipat tangan di dada.

Ali tertawa keras kemudian bertanya, “kamu cemburu ya?”

Aku menatapnya serius kemudian mencondongkan wajahnya padanya, “iya aku cemburu, nggak boleh?” ucapku tegas.

“Boleh,” jawab Ali cepat.

Aku mengerjap kaget namun Ali hanya tersenyum.

“Ali......” pekikku panjang, “aku gemes sama kamu, kita ini sebenernya gimana sih?”

“Gimana apanya Prill?” pertanyaannya di barengi dengan hela nafas.

“Kita nggak pacaran kan? Kenapa aku boleh cemburu?”

“Loh, seharusnya aku yang nanya, kenapa kamu cemburu?”

“Katanya sih cemburu itu tanda sayang. Nggak tau deh, takutnya cuma disini aja, disitu nggak?”

“Sayang juga kok,” jawab Ali cepat, yang lagi-lagi membuatku mengerjap takjub.

Aku mendongak, Ali di depanku dan sekarang momen yang pas, Ali juga sudah mengatakan kalau dia sayang padaku, namun selanjutnya hening, Ali tak bicara apapun setelahnya.

Aku berdecak keras, terus sekarang ini kita apa? Setidaknya kalau Ali bilang ‘Prill mau nggak jadi pacarku’ aku pasti langsung jawab iya kok.

“Terus?” pancingku.

Ali kembali menghela nafas kemudian menyugar rambutnya setelah itu melangkah mundur sehingga aku tak lagi mendongak.

“Kamu kayaknya belum bisa tidur, jalan bentar yuk. Bibi sama mamang kemana? Udah pada tidur?”

Aku mendesah kecewa kemudian mengangguk lesu sebagai jawaban.

“Pergi ikut aku mau?”

Ting

MAS ALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang