Bagian 15

4.3K 519 26
                                    

Gita: Lo jadian sama Mas Ali?

Aku mengerutkan kening melihat pesan dari Gita, dari mana dia tahu kalau aku dan Ali sudah jadian coba, yang lebih aneh dia memberiku pesan pribadi bukan dari group TRICE yang biasa kami lakukan.

Me: Tau dari mana lo?

Gita: Elzan kemaren nyamperin lo kan?

Sekarang aku paham, pasti Gita tau dari Elzan, tak biasanya Elzan seterbuka itu tentang kehidupannya. Aku jadi curiga apa hubungan Elzan dengan Gita sampai-sampai mereka bisa seintens itu berbagi kabar dari kemarin, mulai dari Elzan yang memberiku salam lewat Gita, Elzan yang tiba-tiba datang ke restourant karna tau dari Gita, dan sekarang Elzan dengan gampangnya bercerita kepada Gita.

Me: Lo deket sama Elzan ya?

Gita: Jangan ngaco!

Me: Lo ketemu Elzan dimana emang, tau dari mana Elzan nyamperin gue?

Lama balasan dari Gita membuat aku kembali curiga, apa dia benar-benar dekat dengan Elzan.

Me: Elzan cerita sama lo?

Tak sabar menunggu balasan dari Gita akupun segera kembali memberinya pesan.

Gita: iya.

Me: Tumben Elzan cerita-cerita, nggak biasanya.

Gita: Lo jangan ngalihin perhatian! Gue sekarang yang lagi introgasi lo, kenapa jadi lo yang nanya-nanya.

Aku menghembuskan nafas mencoba meredamkan rasa penasaranku, lagian tidak apa-apa sih kalau Elzan dengan Gita juga, tapi berasa aneh nggak sih, ‘Temen spesial’ kita sekarang malah deket sama sahabat sendiri. Pasti bakalan akward banget kalau ketemu.

Me: Okey, lo mau nanya apa?

Gita: Lo yakin sama Mas Ali?

Me: 100 persen.

Gita: Dan Elzan??

Me: Git, please, gue udah memilih, tolong hargai.

Gita: Dengan cara mencampakan Elzan begitu aja?

Me: Bahasa lo jijik sumpah, dari dulu kita kan cuma temen.

Gita: Temen tidur bareng?

Aku menggeram kesal saat Gita keras kepala, dan herannya dia malah membela Elzan bukan sahabatnya.

Me: Gue nggak pernah ngapa-ngapain ya sama Elzan.

Gita: Fuck apapun pembelaan lo, yang jelas gue tau lo sering nginep di apartemen Elzan, gue nggak pernah percaya dua orang dewasa dalam satu atap nggak ngelakuin apapun, lo main ludo selama di apartemen Elzan?

Me: Terserah lo mau percaya apa nggak. Harusnya lo percaya sama sahabat lo sendiri, bukan malah belain dia.

°°°°°°

Hari demi hari sudah terlewati, dan hari demi hari selalu ku jalani bersama Ali, sekarang dia milikku, dan aku sangat bahagia bisa memiliki lelaki yang sangat bisa membahagiakanku dengan hal sederhananya.

“Mau makan apa?” Ali bertanya saat kami sampai di rumahnya, sudah waktunya makan siang dan kami memutuskan untuk makan siang di rumah Ali, katanya sih dia mau masak khusus buat aku.

“Chef Ali memang bisanya apa?” ucapku.

“Apa aja asal ada bahannya,” jawab Ali.

“Ya sudah berarti yang ada aja bahannya, aku makan apa aja kok.”

“Apa aja?” ucap Ali, membuatku mengangguk, “jengkol balado juga mau?” lanjutnya.

“Nggak,” pekikku langsung, Ali tertawa melihat aku yang sekarang  menutupi mulut. Aku memang pernah beberapa kali makan di rumah Ali, dan saat ibu Ali menyediakan jengkol balado aku langsung mual, aku nggak enak sebenarnya pada ibu, tapi mau bagaimana, aku benar-benar nggak tahan sama baunya.

“Yasudah sekarang sang ratu silahkan duduk.”

“Oke,” ucapku, setelahnya Ali menghilang dari balik tembok yang menjadi penghalang ruang nonton TV ini dengan dapur.

“Buncis mau?” teriak Ali.

“Mau,” jawabku.

“Pedes nggak?”

“Boleh,” jawabku.

“Gehu mau?”

“Mau Mas Ali,” aku mendesah jengkel karna Ali kembali berteriak.

“Cintaku mau?”

Aku beranjak dari dudukku dan menghampiri Ali, “ngomong apa barusan?”

Ali tersenyum kemudian menggeleng, “nggak ngomong apa-apa.”

“bohong, kamu teriak-teriak gitu.”

“Kataku gehu mau?” Begitulah Ali, sikapnya selalu baik, sangat menyayangiku, menghargaiku, namun kata cinta seolah sangat sakral untuk selalu di ucapkan.

“Dan tadi juga ku bilang mau.” Aku menjawab ketus kemudian berbalik berniat duduk kembali.

“Cintaku?” Ali berkata lirih memang, namun telingaku mendengar dengan jelas, aku mendekat saat senyum Ali terkembang.

“Gimana, gimana?” tuntutku.

“Cintaku, mau nggak?” ucap Ali menggigit bibir bawahnya menatapku yang sekarang berbinar.

“Mau.” Ku anggukan kepala dengan cepat, sangat antusias untuk menjawab.

“Nih,” katanya, aku mengerutkan keningku tak mengerti namun saat pipiku lembab karna ulahnya aku seketika tersentak, dia mencium pipiku sangat lembut, hampir seringan bulu.

“Kamu cium aku?” serius, ini bukan hal yang tabu bagiku, adegan fisik seperti ini sangat cheesy menurutku, sangat anak SD, namun entah kenapa jika Ali yang melakukan membuat hatiku kembang kempis saking bahagianya.

Ali tertawa kemudian mengacak rambutku, “yaudah sana, nanti tambah khilaf, disini nggak ada siapa-siapa selain kita berdua.” Monik memang sedang di solo bersama ibu, mengunjungi kerabat bapak yang sedang nikahan katanya.

“Aku gpp padahal di khilafin,” ucapku.

Ali mendorong bahuku menyuruhku berlalu sambil tertawa, “Nggak usah gila yaa pacar,” katanya.

“Ck, punya pacar alim banget, takut banget digodain setan.”

Ali hanya geleng-geleng saat aku bergumam seperti itu.

°°°°°°

“Assalamualaikum.”

Aku yang sedang mencuci piring menoleh pada Ali yang sekarang sedang duduk menungguku mencuci piring, “siapa?” tanyaku.

Ali menggeleng kemudian beranjak untuk mencari tahu.

Cukup lama Ali meninggalkanku, dan setelah aku selesai mencuci semua piring, akupun menyusul Ali untuk mengetahui siapa tamunya.

Disana aku melihat Desi sedang menangis, sesenggukan dalam pelukan Ali, aku nggak tau kenapa, namun terlihat jelas Ali sangat khawatir dan peduli, sampai-sampai aku mendengar suara Ali berkata, “kamu punya Mas, nggak usah nangis,” katanya.

Aku ingin sekali menekan rasa cemburu yang selalu mampir saat Ali berdekatan dengan Desi, Ali pernah menasehatiku karna cemburuku berlebihan pada Desi, namun kali ini dadaku benar-benar sesak, melihat Aliku memeluk wanita lain di depan mataku.

Dia milikku.

“Ehem.” Deheman kerasku membuat Ali menoleh, Ali segera menegakkan tubuh Desi dan membawa Desi untuk duduk di bangku.

“Dia kenapa li?” tanyaku mendekat pada mereka.

“Bapaknya marah sama dia sampe main tangan,” kata Ali, sedangkan Desi masih sesenggukan.

“Trus hubungannya datang ke kamu?”

Ali langsung menatapku tak percaya, terlebih nadaku yang sedikit meninggi.

“Prill....”

“Aku kan tanya, hubungannya datang sama kamu dalam keadaan nangis sampe peluk kamu itu apa, kan bapaknya yang mukul dia.”

“Prill, jangan bilang kayak gitu, dia...”

“Mas, maaf, benar kata Neng Prilly, aku nggak seharusnya kesini, maaf menganggu Mas,” suara Desi mengintrupsi masih dengan isakannya. Dia beranjak namun segera ditahan oleh Ali.

“Hei, mau kemana Des, kamu mau pulang kerumah saat bapakmu masih marah? dia bakal pukul kamu lagi Des,” kata Ali.

Desi duduk kembali saat Ali menariknya untuk duduk, kemudian tatapan Ali mengarah padaku, dia berdiri dan menarik tanganku ke luar rumah.

“Kamu nggak seharusnya bilang gitu.”

“Loh, aku cuma nanya kan, apa salahku?”

Ali menyugar rambutnya kemudian menatapku tepat di mata, tangannya menyentuh kedua bahuku untuk tak bergerak, “dia lagi sedih, dan kamu bilang begitu seakan-akan dia mengganggu, apa kamu benar-benar nggak ada rasa pedulinya?” ucap Ali, suaranya tegas syarat emosi, namun ucapannya masih lirih, tak terkesan membentakku sama sekali, dia tetap lembut.

“Kayaknya kamu yang peduli banget sama wanita berhijab itu, kenapa Li, suka sama dia sampe peluk-pelukan segala.”

Ali menjatuhkan tangannya dari pundakku kemudian beristighfar sembari mengusap wajahnya, “kamu benar-benar kelewatan kali ini, kamu tahu...”

Aku sudah tak mendengarkan Ali saat suara Hp berdering, nomor rumah masuk sebagai pemanggil, segera aku menjawab.

“Hallo,” jawabku.

[Hallo non, nenek non, nenek tiba-tiba nggak sadarkan diri.]

Aku mematung, Ali yang melihatku beku seketika gelisah dan menginginkan penjelasan ada apa, “sekarang bagaimana keadaan nenek?”

[Nenek lagi di bawa ke rumah sakit non.]

Aku segera menutup panggilan dan berbalik, berniat pulang dan kembali ke jakarta, namun baru beberapa langkah tanganku di genggam erat oleh Ali.

“Hey nenek kamu kenapa?” tanya Ali.

“Aku mau kejakarta, kamu nggak usah peduliin aku, urus aja adek-adek’an mu itu,” jawabku membuat Ali terdiam saat aku berlari menjauh.

°°°°°°

Mas Ali pilih nenangin desi apa Prilly ya??

MAS ALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang