bagian 16

6.3K 576 65
                                    

"Mas Ali udah di depan neng." Bude masuk ke kamar, aku yang sedang memasukkan baju ke koper kembali menatap Bude.

"Prilly bilang kan nggak mau sama dia Bude," ucapku.

"Kenapa sih neng? Pakde sama Bude nggak bisa anterin neng ke jakarta, biarin Mas Ali aja ya, dia udah siap nunggu kamu di depan."

"Ck, Prilly udah besar, sendiri ke jakarta nggak bakalan kenapa-kenapa."

"Mas Ali juga khawatir neng, dia izin sama Pakde buat anter kamu tadi, keliatan banget dia khawatir sama kamu."

"Semua aja di khawatirin," gumamku, "Desi dipeduliin, gue juga iya, ish."

"Neng, ngomong apa?"
Aku yang hanya bergumam membuat Bude bertanya, siap dengan barang bawaan aku segera membawa koper, kemudian menatap Bude, "nggak bilang apa-apa Bude," ucapku.

"Yaudah ayo, pak Tikno udah nunggu juga."

Pak Tikno itu tetangga sebelah yang katanya bisa bawa mobil, mobilnya minjem dari juragan Suki yang kata Bude sih baru beli mobil, mobil yang sekarang lagi di eluh-eluhkan dan dibeli orang masal, nggak tau ayla, atau alya, aku lupa merknya.

Aku keluar dari kamar sambil menggeret koper kecilku bersama Bude, di ruang tamu aku melihat Ali lengkap dengan ransel di pangkuannya, Pak Tikno, juga Pakde yang sedang mengobrol.

"Sudah siap neng?" tanya Pakde.

Aku mengangguk, Pakde menghampiriku, membawakan koper untuk di masukkan ke dalam bagasi mobil, selanjutnya aku keluar setelah melihat semuanya keluar.

"Neng hati-hati ya, nenek gpp kok, nggak usah gelisah nya," ucap Pakde, "Mas Ali, jagain Neng Prilly ya," lanjut Pakde pada Ali.

Ali mengangguk dan tersenyum manis membuat aku mendengus karna senyumnya. Setelah berpamitan pada Pakde, Bude juga monik yang baru muncul, akhirnya kami masuk mobil dan melajukan dengan pelan.

Aku duduk di belakang, Ali juga, entah kenapa dia nggak milih di depan aja nemenin Pak Tikno.

"Nenek gpp kok," ucap Ali, aku mendengus memilih memandang kearah jendela mobil. Tadi Bibi Sum-pembantu di rumah-memang telpon lagi, mengabarkan kalau tekanan darah nenek tinggi dan faktor kelelehan juga makanya bisa pingsan, sekarang sudah siuman katanya.

"Ngapain ngikut sih, kemanain Desi nya?"

Tak ada jawaban hanya embusan nafas keras yang terdengar, mungkin dia lelah karna sikapku.

"Desi kayaknya lagi butuh kamu banget deh, nggak takut dipukulin lagi emang sama bapaknya, kayaknya tadi khawatir banget."

"Prill," Aku menoleh padanya, namun Ali malah menoleh pada Pak Tikno yang serius menyetir, mungkin tak enak harus ribut dan terdengar Pak Tikno.

"Kenapa?"

Ali malah memelukku, tanpa ragu, membuatku menoleh pada Pak Tikno khawatir, "Kamu cemburu aku seneng, itu artinya kamu sayang sama aku, tapi tolong, aku berkali-kali bilang kalau Desi itu udah aku anggep adik aku sendiri,"

"Iya, dia kan...."

"Ussstt," Ali mengintrupsiku, tak membiarkanku untuk berbicara, pelukannya dia eratkan, membuatku mau tak mau membalas pelukannya, peduli setan dengan pak Tikno yang sekarang melirik kami lewat spion tengah mobil."Biarin aku yang bicara, oke?"

Aku mengangguk, hatiku sedang gelisah, karna nenek maupun karna rasa jengkel pada Ali, namun dalam dekapannya seperti ini membuatku harus menurut karna ini nyaman, aku tak mau dia lepaskan.

"Desi disini cuma sendiri, berdua sama bapaknya yang suka mabuk-mabukan itu, ibunya udah lama meninggal, dia nggak punya sodara, mungkin dia kerumahku buat ketemu ibu, karna Desi emang deket sama ibu,"

MAS ALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang