bagian 6

5.8K 740 54
                                    

"Ali kemana ya Bude?."

"Mas Ali?" tanya bude heran, kemudian menoleh pada pakde, "Mas Ali di mana pak?"

"Loh, mas Ali kan lagi ngajar jam segini, hari rabu kan ini."

"Eh muhun" Bude tersenyum kemudian kembali menoleh padaku, "ngajar neng, si Monik juga udah pergi."

"Oh, Prilly pengen kesana deh bude."

"Ya atuh silahkan neng."

"Bude gpp sama Pakde aja?"

Jujur aku nggak enak sama Bude, baru juga nyusul Bude ke kebun bukannya bantuin malah pergi, tapi pengen liat Ali juga.

Setelah malam Ali memberikan gelang untukku, hubunganku jauh lebih dekat dengan Ali, kami sering bersama-sama setiap harinya, dia selalu ada saat aku membutuhkan maupun saat tidak dibutuhkan, dia selalu bersikap manis terhadapku, membuatku semakin jauh lebih mengaguminya.

"Ya gpp neng, ya kan pak?" Tanya bude pada pakde.

"Nya, terserah ibu aja bapak mah" Kata pakde.

Aku tersenyum senang mendengarnya, kemudian segera berterimakasih dan pamit pada Bude dan Pakde.

Perjalanan dari kebun ke tempat Ali mengajar cukup jauh menurutku, aku pernah diajak Ali ke sekolah 2 ruangan itu saat hari minggu kemarin, oleh karena itu aku sudah tahu arah jalan kesana.

Dalam perjalanan aku melewati desa, di sini aku tak berhenti tersenyum menyapa mereka yang sebenarnya mereka duluan sih yang senyumin aku.

Aku kagum sama suasana ramah warga pedesaan disini, kalau di jakarta boro-boro saling sapa saat lewat gini, mereka tak peduli, toh tak pernah kenal, namun disini beda, mereka terus menyapa dan tersenyum meskipun aku yakin mereka tak mengenaliku.

Perlahan tapi pasti sifatku mulai berubah, aku jadi mudah tersenyum disini, tak lagi misah-misuh marah-marah tak terima dengan keadaan, apalagi semenjak kenal Ali, hidupku semakin berwarna dan pastinya warna itu mempunyai aura yang positif.

Tak bisa disangkal, Ali memang berperan penting dalam perubahan kehidupanku. Minggu awal aku pergi di desa Ciburial ini aku sangat bosan dan menginginkan keluar malam, meskipun saat itu aku sudah mengenal Ali namun keinginan itu tentu masih saja hinggap dalam hasratku, kebiasaan dulu tak mungkin begitu saja bisa hilang. Namun, kini keinginan  pergi malam ataupun belanja tak sedikitpun terbesit dalam pikiranku, terlebih setelah hubunganku dengan Ali semakin dekat.

Dia selalu bisa membuatku tersenyum dan tersipu karna sikapnya, dia selalu tau cara membuatku merasa berharga.

Ali itu manis, hingga ingin sekali aku mencicipinya.

Terkekeh geli karna pikiranku, aku tak sadar hingga akhirnya aku sudah sampai di sebuah gedung sekolah kecil yang memiliki halaman luas namun bangunannya hanya terdapat dua ruangan itu.

Aku masuk kedalamnya, berlari kecil tak sabar untuk menemui Ali.

Namun saat sosoknya sudah terlihat aku terdiam, tak lagi bergerak mendekatinya.

Tangan kokoh yang selama ini menggenggamku lembut, Tangan kokoh yang selama ini hinggap dikepalaku untuk sekedar mengacak rambutku, kini dengan mata kepalaku sendiri aku melihatnya merangkul wanita lain.

Senyum yang selalu membuatku tertular, Senyum yang selalu membuatku ingin terus menatapnya, kini tak lagi terasa manis saat senyum itu dengan lebar dia ciptakan untuk wanita di depannya.

Sakit, tanpa di kamando air mata ini tiba-tiba menetes membuatku terkesiap saat iris mata Ali menangkap ke beradaannku, Ali tak kalah kaget dari diriku. Aku mengusap air mataku kasar kemudian segera berbalik dan berlari dari sosok yang beberapa detik lalu sangat ingin aku temui.

MAS ALITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang