7 : ujian

1.3K 176 42
                                    

SHOUYOU tidak suka berhitung.

Di dalam benaknya, ia kerap kali beranggapan bahwa waktu dalam dirinya adalah jam pasir. Yang titik-titik halusnya tidak perlu ia beri angka dari satu sampai ratusan bahkan ribuan, yang setiap detiknya tidak terdengar tik tok tik tok atau menunjuk pada romawi berapa ketika alarm-alarm kecil itu memberi peringatan kapan ia harus makan, atau kapan matanya harus terpejam, atau juga kapan ia harus bisa memisahkan jam latihan dan memilih bermalas-malasan.

Suatu kali Kenma pernah protes kalau hidupnya sama sekali tidak terstruktur, meski terlambat pada jam-jam penting bukanlah kebiasaan Shouyou. Tapi hidup itu memang harus berjalan sebagaimana mestinya, kilah Shouyou waktu itu, akan jadi membosankan kalau setiap gerak-geriknya dijadwal dengan begitu ketat. Ia perlu bernapas, semua orang perlu bernapas dari yang namanya rutinitas.

Jadi ketika Kei datang saat itu sambil berderap dengan langkah yang khas di antara anak tangga panggung auditorium, kemudian menempatkan diri di depan grand piano yang bersinambung dengan piano miliknya, atau juga ketika jemari-jemari panjang itu memilah lembar demi lembar partitur, Shouyou berusaha denial. Ia lupa akan titik-titik pasirnya dan ia lupa ada di angka berapa juga berapa banyak waktu yang dapat ia habiskan sebelum jam penentu tiba.

"Kau kelihatan tegang."

"Oh, ya Tuhan!" Shouyou menepuk kening. "Tidak usah diperjelas, oke? Melihat partitur saja aku pusing. Ugh, semuanya bergerak dengan aneh."

"Kalau kau gugup saat ujian nanti, awas," sunggut Kei, lalu melirik arloji. "Masih ada tiga puluh menit lagi untuk gugup."

"Keeiiiiii, tidak perlu diperjelas, okeey?"

"Hanya mengingatkan, siapa tahu kau lupa."

"Astaga, aku bisa gila," rengeknya, menumpukan kening di atas tuts sekaligus sampai denting fals menggema. Dua lembar pertama kertas musiknya jatuh, melayang, lalu berhenti di ujung kaki. Shouyou menarik napas dalam-dalam, ia tidak bohong mengenai not-not balok yang menari. Seolah mengoloknya tanpa ampun dan Kei senang sekali memperparah.

Ia memejamkan mata sejenak, sedikit mempertahankan kewarasannya dan tidak sadar begitu sepatu familier Kei berhenti tidak jauh dari kursi pianonya, membungkuk sampai kertas yang jatuh diambil, sebelum akhirnya menepuk puncak kepala Shouyou dengan sesuatu yang kecil tetapi keras. Ketika Shouyou mendongak, sebatang lolipop terjulur lugas di depan matanya.

"Aku bukan bocah."

Bahu Kei berkedik, tangannya sibuk membuka pembungkus lolipop. "Ini rasa teh hijau, mungkin bisa menghilangkan stress."

"Serius, aku-" hup, Shouyou mencecap manis bercampur manis pada reseptor lidahnya. "Khau hini," ia mengulum di sisi kiri mulut bagian dalam, "terima kasih kalau begitu."

"Geser sedikit," perintah Kei, menempatkan diri setelah Shouyou bergeser. Tangan Kei itu memang tidak bisa diam atau bagaimana? Sepertinya senang sekali mengurus hal-hal yang kecil seperti meletakkan kertas partitur di tempatnya, membetulkan letak kacamata sejenak, sengaja memberi sentilan kecil di kening Shouyou, atau yang tanpa dosanya menarik rambut Shouyou dengan alasan konyolnya agar ia tidak tertidur.

Aku curiga jangan-jangan kau yang sebenarnya gugup, Shouyou berceletuk jenaka, tetapi berteriak ngilu begitu Kei menarik hidungnya. Lolipopnya nyaris terlepas dan Kei tidak ingin benda yang sudah berliur itu jatuh tepat di celananya. Shouyou tahu Kei sengaja tidak melirik arloji, atau memperingatinya soal waktu yang semakin menipis. Ia pikir biarkan saja semuanya berlalu, biarkan sebentar saja hal-hal kecil seperti ini berjalan tanpa doktrin bahwa sekarang, saat ini juga adalah hari ujian mereka.

"Kei,"

"Hm,"

"Terima kasih, ya." Memangnya ini apa? Semacam perpisahan? Ketika Kei bertanya, Shouyou menanggapinya dengan tawa renyah, renyah sekali. "Jujur saja sih, kalau aku tidak berpasangan denganmu, mungkin permainanku tidak akan membaik. Hum, warna-warna itu memang jadi aneh bentuknya, tapi setidaknya membaik saat aku mencoba... bagaimana aku menjelaskannya, berdamai?" Lagi, tawanya terdengar lebih halus. "Yang jelas, Kei memang terbaik, deh. Mungkin aku tidak akan seperti ini kalau Ukai-sensei tidak memilihmu."

Toska [tsukihina]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang