Suara bel sepeda terdengar dari kejauhan. Kring Kringkring Kringgg kringkring, begitu bunyinya.
Gue mendesah panjaaang sambil mendecapkan lidah. Tck. Sepertinya gue bakal gagal tidur siang lagi, nih.
Hanya dia yang membunyikan bel sepeda nyaring-nyaring dengan nada seperti itu. Bukan loper koran. Bukan tukang susu. Mau pagi, siang, sore, atau malam, berisiknya nggak pernah dikurangin. Tapi, semua orang maklum.
Gue menajamkan telinga, siapa tau aja salah. Akan tetapi, gue nggak pernah salah buat yang satu ini. Suara sepeda yang dibuang begitu saja hingga putaran rodanya berdesing tidak mungkin dilakukan oknum selain dia.
Lalu ... suara pagar terbuka dan tidak ditutup lagi.
Dia sudah melakukan 'kejahatan' semacam itu seumur hidup hingga menganggapnya sesuatu yang wajar. Kalau gue bilang jangan lakukan itu, dia akan menatap mata gue dengan pandangan penuh tanda tanya yang seolah bertanya balik, kenapa gue tiba-tiba nggak boleh melakukannya? Udah belasan tahun gue membuang sepeda begitu aja kayak gitu, menimbulkan suara berisik dan membuat semua orang langsung tahu itu gue, sekarang tahu-tahu itu nggak boleh dilakukan. Apa alasannya?
Persis seperti anak balita yang harus tahu asal usul sebuah jawaban sebelum menelannya mentah-mentah.
"Sihang, Hante! Haya'a ahda?!"
Nah, kan ....
BUG BUG BUG.
Itu adalah suara langkah kaki yang langsung berlari menaiki tangga meski mama belum sempat menjawab pertanyaannya. Biasanya, begitu suara ini terdengar, kantuk gue saat membaca komik pengantar tidur siang lenyap entah kemana.
TOK TOKTOKTOK TOKTOK.
Suara ketuk pintu dalam kecepatan tinggi. Di sini, gue biasanya mengubah posisi tidur menghadap pintu. Lalu ....
BRAKKK!!!
Gue meringis mendengar suara pintu dibuka paksa tanpa dipersilakan masuk. Gue udah siap dengan senyum paling kecut di dunia.
Suara-suara itu akan selalu lo temukan nanti di kisah ini. Terutama pada tiap Minggu pagi dan hari libur, saat biasanya seseorang beristirahat dalam tenang dan damai. Terutama saat dia berada di tempat-tempat di mana semua orang sudah memahami kondisinya. Terutama banget saat ada gue yang selalu menerima dirinya apa adanya.
"Haya!!!" jeritnya sumbang, tepat di ambang pintu.
Mau lihat ada gue di dalam kamar atau enggak, dia bakal menjerit begitu.
"Apa yang gue bilang soal pintu?" tanya gue sejelas mungkin. Dengan artikulasi dan gerakan bibir yang mudah dibaca.
"Guhe uda hetuk pintu, lho," kelitnya sambil ngelempar tas ke lantai.
Tasnya paling-paling hanya berisi komik dan buku sket. Nggak ada peralatan make up yang biasanya menjadi pertimbangan utama cewek-cewek nggak membanting atau melempar tas. You know-lah, cem bedak ... atau merah-merah pipi yang kalau jatuh bisa pecah. Girls sweat so much about it, right?
Tapi cewek satu ini mah enggak.
"Gue 'kan belum menyilakan masuk," kata gue, dengan malas bangkit dari baring.
"Hapa?" tanyanya. "Lo omo hapa?"
"Gue," ulang gue dengan wajah menghadap padanya, "belum ngasih lo masuk."
Mukanya cemberut, "Sooo ...? Lo hugha gha hagi 'apa-'apain!"
Ketus bukan main.
Nggak ada cewek yang bicara ketus ke gue. Dia ini pengecualian tingkat alam semesta. Memang, gue yang secara nggak resmi memberinya hak untuk itu. Kami sudah saling kenal sejak sama-sama dalam kandungan. Her mom and mine berteman sejak remaja dan mengandung anak kedua di saat yang sama. Mereka mengeklaim kami anak kembar yang terpisah di dua rahim yang berbeda. We are fated. So they said.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetheart in Your Ear [SUDAH TERBIT]
Teen FictionMilo Sayaka mulai merasa tersisih saat sahabat yang selalu menjadi bayang-bayangnya akhirnya memiliki tambatan hati. Setelah belasan tahun ia selalu ada untuk melindungi Kiera Zelma karena keterbatasan gadis itu, Saya tak pernah menyangka akan ada...