Kalau 'kayaknya' itu sebatas dugaan, bisa jadi lo cuma iri
***
"Mah ... Saya pergi dulu!"
"Kemana, deeek?"
"Jogging!"
"Langsung pulang!" jerit mama. "Kiki biasanya ke sini hari Minggu nanti kalau kamu nggak ada kasian dia!"
Gue nggak nyaut lagi, ngelempar helm ke Heru yang udah nungguin di halaman lalu menstarter motor menuju spot jogging kami tiap Minggu pagi.
Asli kalau ayam kate ini nggak tahu-tahu muncul depan rumah, gue masih pengin tidur sampe siangan dikit. Berhubung gue orangnya nggak tegaan, sekaligus udah beberapa minggu nggak olah raga, gue iyain aja kemauannya. Ini anak nggak punya temen main selain gue kayaknya, kalau gue pacaran-selain Kiki-makhluk ini yang selalu manyun.
Bener aja, cuman sprint beberapa kali, gue memutuskan berhenti.
"Lo kenapa sih, Say?" Heru nanya. "Anjing gue jijik kalau manggil nama lo depannya doang. Lo kenapa sih, Ya? Aneh juga. Nama lo kurang kerjaan banget, sih, Bokap lo kekurangan ide, ya? Dari sekian juta nama yang bisa dia search di internet berikut artinya, kenapa dia milih Saya, Kita, astaga ... nirfaedah banget hidup lo!"
Gue diem seribu bahasa menanggapi celoteh Heru yang bersimbah keringat. Salah sendiri maksa gue jogging saat gue nggak mood gini, lanjut basket pun sama sekali nggak bikin perasaan gue meringan barang sedikit. Dengan kurang ajarnya, cowok gempal berambut keriting itu melempar bola ke arah gue. Gue memaki sambil menghindar, bola menggelinding.
Kaki-kaki pendeknya mengejar bola.
"Gue kayak anak ayam lama-lama main sendiri, ayam aja main sama sodaranya!"
"Berisik lo!"
Heru Sudrajat mengekeh.
"Lo pikir nama lo manfaat apa? Jaman sekarang mana ada anak umur 19 tahun namanya Sudrajat? Bokap lo terjebak lorong waktu?"
"Ah ngebales aja lo bisanya, adiknya Drunella sama Barbeta!"
"Cinderella dong gue?"
Heru pura-pura ngeludah, "Najis. Kenapa sih lo? Berantem lagi sama Emma?"
Iya, sih. Tapi bukan itu yang menyita pikiran gue saat ini. Meskipun Senin nanti nyawa gue sudah bisa dipastikan akan melayang di tangan Emma, paling enggak sekarang gue masih bisa alasan menolak bertemu saat dia lagi emosi. Gue juga udah pasrah seiyanya diputusin, ikhlas. Kayaknya gue memang harus nunggu saat yang tepat sampai cinta mengelus batin gue, bukan cuma pacaran for the sake of pride atau status gitu.
"Ya ampun ... jaman udah berubah, lo masih aja diperbudak sama cewek!" cemeeh Heru tanpa nunggu komentar apa-apa dari gue. "Kapan sih lo nyadar kalau masa muda pemuda harapan bangsa kayak kita ini terlalu berharga untuk diinjek-injek sama cewek plastik kayak Emma?"
Alis gue mengerut, "Cewek plastik?"
"Iya, cewek-cewek barbie, persis kayak yang biasa lo pacarin!"
"Ah ampas kopi lo aja kapan hari bilang pengin ngegenjot Saras karena bodinya bahenol."
"Eits ... jangan samain harga diri pemuda sama kebutuhan biologis, dong. Justru itu masalahnya, kalau lo nggak diperbudak dan memandang mereka sebagai objek seksual lo aja, gue nggak akan bilang lo menyedihkan!"
"Heh ... biadab lo ya lama-lama. Inilah kenapa Tuhan ngasih lo muka pas-pasan, kalau cakep kayak gue, habis semua cewek lo tidurin!"
"Bukan gitu maksud gue, kondom bekas!" sengitnya. "Gue tuh prihatin sama nasib lo. Bagus lo pacaran kek sama temen lo yang bud-nggak bisa denger itu. Dia jauh lebih manusiawi, baik hati, dan pastinya nggak tiap hari bikin lo muram aja kayak perawan datang bulan. Putusin ajalaaah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetheart in Your Ear [SUDAH TERBIT]
Novela JuvenilMilo Sayaka mulai merasa tersisih saat sahabat yang selalu menjadi bayang-bayangnya akhirnya memiliki tambatan hati. Setelah belasan tahun ia selalu ada untuk melindungi Kiera Zelma karena keterbatasan gadis itu, Saya tak pernah menyangka akan ada...