Di mana-mana, wanita selalu benar.
Apalagi seorang bunda
Begitu sampai rumah dan memarkir motor di teras seperti biasa, Juna segera membebaskan rambut dari helm full face yang membungkus kepala sepanjang perjalanan pulang. Tangannya mengacak bagian belakang rambut selehernya hingga butiran keringat memercik ke mana-mana. Macet membuatnya gerah luar biasa.
"Jun?" terdengar suara memanggil dari dalam.
Buru-buru pemuda itu menutup dan mengunci kembali pintu pagar sebelum masuk.
"Nyalain lampu teras dong, Sayang," pinta suara yang sama.
Tanpa diperintah, sebenarnya Juna sudah otomatis memencet saklar lampu teras setelah membuka pintu depan.
"Gerah banget, macet," keluhnya tanpa ditanya.
"Hari Minggu," kata bundanya pendek.
"Malem, Bunda."
"Malem, Sayang. Tunggu sebentar, ya, Bunda lagi tanggung."
Sambil mengintip sekilas pekerjaan sang bunda-rajutan syal dengan inisial namanya-Juna mengecup puncak kepala wanita paruh baya itu dengan penuh kasih, "Buat apa ngerajut syal, Bun? Juna nggak akan pakai juga."
"Siapa tahu," gumam bundanya, terus memusatkan konsentrasi. "Udah makan, Nak? Bunda nggak masak, kita makan di luar, yuk?"
"Ke mana? Macet, Bun."
"Ke depan aja, makan nasi goreng. Mau?"
"Juna bikinin aja sih kalau nasi goreng, biar hemat. Bunda gajiannya masih lama, kan?"
"Ya udah ... kalau kamu nggak keberatan. Punya Bunda jangan pedes, ya?"
Juna mengiakan, tersenyum simpul seraya menjauh menuju sudut ruangan tempat menyimpan helm. Meski jaket dan mantel lain juga di simpan di sudut yang sama, tapi Juna hanya mau menanggalkan jaket kebanggaannya di kamar. Kalau tidak, bundanya pasti akan curi-curi kesempatan untuk mencucinya.
Juna nggak suka jaketnya terlalu bersih, dia lebih nyaman tampil agak belel.
Sebelum mandi, demi mengeringkan keringat yang membasahi kaus kutungnya, Juna membaringkan diri. Dengan mata terpejam, rabaan tangannya menemukan remote audio player dan menekan tombol power. Alunan Clock Strikes berkumandang dari menit kedua, melanjutkan dari terakhir kali dia mematikannya tadi pagi.
Sepuluh menit berbaring dan nyaris ketiduran, notifikasi ponsel membangunkannya. Meski terkantuk-kantuk, dia membuka kuncian layar ponsel yang langsung memperlihatkan lembar notifikasi Facebook. Mendadak, kantuknya lenyap melihat sebaris pemberitahuan. Kiara Zelma accepted your friend request.
Bukan hanya Facebook, sejak semalam Juna juga sudah mengikuti akun Instagram dan Twitter gadis tuli yang menyita perhatiannya itu. Dengan antusias, dia mengubah posisi tidurnya menjadi tengkurap, asyik menggulirkan layar ponsel dan memberi reaksi suka pada hampir semua postingan Kiki beberapa waktu terakhir.
Saat dia menggulir kembali ke atas, sebuah postingan baru muncul di lini masa akun Kiki. Meski tak bisa menahan geli melihat Kiki membuat mimik lucu di selca terbaru dan tak pikir panjang memencet tombol suka, ada dengus samar berembus dari lubang hidungnya saat mendapati wajah juniornya di kampus tengah tertawa di samping gadis itu. Tanpa maksud apa-apa, Juna mengirim permintaan pertemanan ke akun Milo Sayaka.
Dia tahu Milo Sayaka, tapi tak terlalu mengenalnya.
Namanya cukup tersohor di kalangan band kampus, berserta groupies-nya. Saya yang vokal dan gaya panggungnya sangat mirip Taka OKR. Kalau saja suara dan musikalitasnya nggak cukup baik, Juna tak akan segan mengolok-oloknya imposter. Namun, berhubung sangat mumpuni, dia hanya bisa berharap satu hari Saya menemukan gayanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetheart in Your Ear [SUDAH TERBIT]
Fiksi RemajaMilo Sayaka mulai merasa tersisih saat sahabat yang selalu menjadi bayang-bayangnya akhirnya memiliki tambatan hati. Setelah belasan tahun ia selalu ada untuk melindungi Kiera Zelma karena keterbatasan gadis itu, Saya tak pernah menyangka akan ada...