Karena cowok itu nggak ada yang sudi jadi obat nyamuk
"Emma?"
Kayaknya ini baru pertama kalinya dalam sejarah, Emma datang tanpa pemberitahuan bukan buat ngajak perang badar, melainkan ngasih bingkisan. Gue sempat bengong sebentar, setelah beberapa hari nggak ngelihat mukanya, tau-tau dia muncul depan pintu rumah. Mana dandanannya manis banget sore-sore gini, pakai kerudung yang disampirin di bahu. Coba mama lihat ini.
Mama lagi nggak di rumah, pikiran gue langsung ke mana-mana.
"Kamu dateng kok nggak nelepon dulu, Sayang?" gue nanya dengan suara selembut kapas mama yang buat bersihin muka.
Bibir Emma mengerucut gue panggil sayang. "Soalnya aku datang bukan buat ngapa-ngapain," katanya gugup, bola matanya gerak-gerak salting gue perhatiin. "Aku cuma mau ngasih itu."
Gue mengintip isi bingkisan yang diantarnya, "Ini apa?"
"Syukuran kesembuhan papi," bilangnya.
Gue langsung manyun, "Kok aku nggak diundang?"
Emma menarik sudut bibir kirinya, katanya pelan, "Kamu kan nggak pernah mau ketemu papi."
Dari manyun, gue ubah haluan jadi cemberut, "Siapa bilang aku nggak mau ketemu? Kan udah dijelasin dan kita sepakat salah paham. Aku pikir ketemu calon mertua itu mestinya kalau sudah siap dan serius, sedangkan kamu cuma pengin papi tahu kamu berhubungan sama siapa biar nggak mikir macam-macam. Masa mau diungkit-ungkit terus?"
Cewek yang sore ini pakai knit shirt pink lengan panjang itu mendengung seperti lebah dengan kepala tertunduk, "Lagian kita udah putus ...."
"Tapi aku nggak mau putus."
"Bodo, ah. Aku nggak mau bahas ini lagi. Sampein ke mama aja ... kalau beliau masih mau dapet salam dari aku."
Gue cekal lengan berbalut bahan rajut itu sebelum dia berbalik dan menjauh. "Kamu nggak pengin ketemu mama dulu?"
"Memangnya mama di rumah?"
"Iya," dusta gue. "Yuk masuk dulu."
"Enggak, ah. Aku takut."
"Kok takut?"
"Mama nggak suka sama aku."
"Kata siapa?"
"Mama kamu kan lebih sayang sama Kiki."
"Tapi kan anaknya lebih sayang sama kamu."
Makin Emma berdecih sambil meronta, gue malah mengeratkan cengkeraman. Akibatnya kami tarik-tarikan kayak anak kecil dan gue nggak menyerah sampai Emma malu sendiri.
"Ayo, dong. Masuk dulu," bujuk gue. "Kamu dari kemarin dicariin mama. Yakin banget si mama kalau kita bakal balikan."
"Ish!"-mukanya merah-"Mana ada mama ngomong gitu."
"Ya udah sih ayo masuk dulu kalau nggak percaya, biar kamu bisa nanya langsung sama mama."
Gue sih yakin Emma datang karena masih kangen, makanya it's not too hard to persuade her. Bahkan, gue yakin dia datang buat ngasih gue alasan melakukan ini. Dia tahu gue nggak mungkin datang duluan karena pernyataannya tempo hari absolut, meski dalam keadaan emosional.
In fact, nggak ada putus hubungan yang langgeng kalau penyebabnya hanya salah paham. Apalagi selama masa idah gue bersikap baik, nggak macem-macem. Selalu update kabar, bahkan lebih rajin daripada waktu masih pacaran. Namanya juga usaha pendekatan kedua, harus lebih meyakinkan daripada yang pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetheart in Your Ear [SUDAH TERBIT]
Ficção AdolescenteMilo Sayaka mulai merasa tersisih saat sahabat yang selalu menjadi bayang-bayangnya akhirnya memiliki tambatan hati. Setelah belasan tahun ia selalu ada untuk melindungi Kiera Zelma karena keterbatasan gadis itu, Saya tak pernah menyangka akan ada...