Gadis sehangat sinar mentari
Peralatan bersih yang baru saja dikeringkan berjajar rapi di rak piring sederhana sudut dapur. Juna meneliti sekali lagi hasil karyanya sambil mengelap tangannya yang basah. Bibir lebarnya tersenyum puas.
"Gue nggak percaya lo bisa nyuci piring," decap Kaka kagum, sekaligus takjub.
"Nggak cuma cuci piring, gue juga bisa cuci baju, setrika, sampai masak," Juna membusungkan dada. "Semua orang juga pasti bisa kalau kepaksa. Emang lo nggak pernah disuruh nyokap bantu beresin urusan rumah tangga?"
"Yah ... rumah gue mah biasa aja, nggak ada pembantu kayak lo. Rumah juga sepetak, nyokap gue ngatasin semuanya," ujar kawan sekampus, juga pemain bas andalan band yang digawangi Juna beserta empat rekan sebayanya.
Sambil menemani Juna membersihkan sekitar tempat cuci piring, Kaka mengumpulkan kulit mangga yang tadi dinikmatinya untuk dibuang ke tempat sampah. Masih ada rasa tak percaya melihat kawan seperjuangannya dalam bermusik—yang meskipun tak gemar memperlihatkan kemapanan orang tuanya dengan bermewah-mewah—mengerjakan pekerjaan perempuan karena sang bunda harus mencari nafkah menggantikan almarhum sang tulang punggung keluarga.
Juna yang dikenalnya memang selalu rendah hati, tapi sebagai seseorang yang sangat tahu betapa besar impian Juna dalam bermusik, Kaka jatuh iba melihat perubahan nasib sahabatnya. Terlebih, dengan alasan yang sama pula, Juna nyaris tersisih dari grup band karena jarang menampakkan diri di tempat latihan. Dia harus bekerja sambilan selain kuliah dan mengurus rumah.
"Lo nggak sayang sama Gibson lo?" tanyanya sekonyong-konyong.
"Ya karena sayang, gue sampe begini. Kalau gue nggak ikut kerja, siapa yang mau bayar cicilan motor, bayar listrik, air, dan lain-lain? Bunda masih harus bayar kuliah gue dan sisa cicilan rumah."
"Bukannya mobil bokap lo udah dijual?"
"Udah kelar itu mobil sama tanah buat operasi bokap," tukas Juna datar. Dulu, hal itu membuatnya sedih. Kini tidak terlalu lagi.
"Nggak ada asuransi, atau bantuan dari kantor gitu? Bukannya kerjaan bokap lo lumayan oke, ya?"
"Yah ... namanya juga pegawai swasta, apalagi yang dibawa bokap gue dan meninggal saat kecelakaan itu bosnya sendiri. Nggak cuma nyawa, mata pencaharian banyak orang juga seketika hancur," imbuh pemuda berperawakan tinggi itu menjelaskan sembari sibuk menggosok kitchen sink. "Udahlah ... nggak usah dibahas."
"Buat apa lo pertahanin Gibson kalau nggak ada waktu buat make," Kaka mendesis, ikut sedih mendengar nasib buruk yang menimpa Juna.
"Semua yang terjadi ke gue justru mengajarkan prioritas hidup, Ka. Gibson itu seolah jadi lambang bahwa gue nggak menyerah, it's okay kalau nggak bisa gue mainin sekarang. Ibaratnya gue susah-susah dulu, siapa tahu bisa senang-senang kemudian."
"Sesekali lo nge-jam lah sama kita, lo masih akan tampil, kan?"
"Kalau gue masih dibutuhin dan waktu luang gue bisa sejalan sama yang lain sih gue pasti usahain yang terbaik. Tapi kalau keberadaan gue hanya menghambat, nggak apa-apa, kalian cari aja personel baru. Buat gue saat ini ... musik nggak harus gue mainkan di atas panggung, tapi bukan lantas gue tinggalkan."
"Gue nggak bisa bayangin The Walrus tanpa lo," Kaka melangut. "Lo tuh penggagas band ini, Jun. Gue nggak rela Martin take credit dari semua jerih payah lo."
Juna mengekeh, menyudahi pekerjaan dan membuang sisa makanan yang tertampung di sink ke tempat sampah, "Gue dan Martin yang bikin The Walrus. Kalau gue nggak ada, ya nggak salah kalau Martin take credit, atau apapun. Lo nggak perlu punya pikiran culas kayak gitu karena kita deket, main lah karena lo suka. Lo nyaman. Nggak perlu ada rasa nggak enak, bukan kalian kok yang bikin gue mutusin gini. Ini keputusan gue sendiri. Sampai kapanpun, gue akan support kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetheart in Your Ear [SUDAH TERBIT]
Novela JuvenilMilo Sayaka mulai merasa tersisih saat sahabat yang selalu menjadi bayang-bayangnya akhirnya memiliki tambatan hati. Setelah belasan tahun ia selalu ada untuk melindungi Kiera Zelma karena keterbatasan gadis itu, Saya tak pernah menyangka akan ada...