Don't take him away from me
I've got nothing if I don't have him
Kiki menggulingkan tubuhnya di kasur.
Baru beberapa menit lalu Juna meninggalkan rumahnya, pemuda itu sudah mengiriminya pesan. Padahal, Kiki belum lagi turun memenuhi panggilan mamanya untuk makan siang setelah menunaikan Salat Dzuhur yang agak terlambat.
"Lunanya nggak di rumah," beri tahu Juna lewat Line chat.
Kiki mengirim emoc senyum, "Mungkin pergi sendiri jalan-jalan," ketik dan kirimnya.
Seharusnya, jadwal kencan mereka sampai sore, tapi Juna tampak lebih murung dari biasanya. Kiki bertanya ada apa dan memintanya cepat pulang menemui Luna setelah kekasih pertama dalam hidupnya itu menceritakan tentang masa lalu kelamnya. Kiki yang memang mudah menangis merasa terharu. Dia tak masalah kalaupun hari Minggu pagi Juna tersita oleh Luna, toh dia masih bisa main dengan Saya.
Dengan penuh pengertian, gadis tuli itu meminta Juna menepati janji meski terlambat.
"Aku siap-siap kerja aja kalau gitu," pesan dari Juna masuk.
Senyum manis terbit di bibir Kiki, "Hati-hati pulangnya, Kak. Jangan ngebut."
Juna masih membalas, "Kok manggilnya masih 'Kak'?"
"Terus apa?" pipi Kiki bersemu merah, dia tahu Juna ingin dipanggil apa, tapi masih belum cukup berani untuk mengabulkannya.
"Sayang, dong," balas Juna.
Nggak mau, ah, malu, Kiki menggigit bibir, membatin, tanpa membalas pesan.
"Kalau masih manggil Kak, aku nge-chat sambil nyetir motor, nih," Juna mengancam.
"Jangan dong, bahaya!" Kiki mengetik cepat. Cemas betulan sampai kepalanya yang semula tertunduk malu, tegak kembali.
"Jangan dong, bahaya, apa?" Juna masih menggoda.
"Kak Juna tukang maksa, yaaa...," kata Kiki, cekikikan sambil mengirim pesan.
"Kiki lebih sayang sama malunya, daripada sama aku, nih?"
Kiki menyerah, menutup bantal ke seluruh mukanya setelah mengirim, "Jangan chat sambil nyetir. Bahaya, Sayang."
Juna merespons dengan stiker yang menghamburkan bentuk hati sampai berkali-kali. "Aku jalan dulu, ya, Kiki Sayang," mengikuti stiker terakhirnya.
Sampai beberapa saat, Kiki masih tenggelam dalam euforia pesan-pesan Juna beberapa hari terakhir setelah mereka jadian. Jarinya sibuk menggulirkan layar ponsel untuk merekam ulang pesan-pesan yang makin mesra dari Juna hari ke hari. Hatinya menghangat oleh perasaan bahagia dan malu yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Bahkan, saking malunya, dia belum berani berterusterang pada Saya bahwa hubungannya dengan Juna berkembang sedemikian rupa.
Juna sudah mendesaknya supaya jujur pada Saya, tapi Kiki masih terus menghindar. Setiap hari dia berbincang dengan Saya di chat maupun video call, jelas sekali sahabatnya itu juga tak berpikir ke arah sana. Kiki tak pernah mendapatkan celah untuk berterus terang karena Saya tak pernah mendahuluinya bertanya tentang Juna.
Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka.
Kiki terkejut melihat wajah bundanya, "Kamu nggak ke tempat Saya, ya, Dek?" tanya sang bunda.
Kiki menggeleng.
"Pergi sama Juna, yaaa?" goda wanita itu sembari mendekat. "Saya tadi nelepon, lho. Nanyain kamu mau dateng enggak, kalau dateng mau diajak nonton bertiga sama Emma."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetheart in Your Ear [SUDAH TERBIT]
Novela JuvenilMilo Sayaka mulai merasa tersisih saat sahabat yang selalu menjadi bayang-bayangnya akhirnya memiliki tambatan hati. Setelah belasan tahun ia selalu ada untuk melindungi Kiera Zelma karena keterbatasan gadis itu, Saya tak pernah menyangka akan ada...