Orang yang nggak mau temenan sama orang sebaik kamu itu rugi
Aku orangnya nggak suka rugi
"Gueee ... mau ... minta maaf."
Saya menyenggol bahu kekasihnya. "Nggak usah slow motion gitu, asal kamu ngadep ke dia dan ngomongnya jelas, dia ngerti."
Gadis manis itu memasang muka kecut dan salah tingkah, sementara Kiki meringis memperlihatkan barisan gigi putihnya yang rapi, "Hinta mah'af kehapah?" tanyanya.
Dari balik tubuh Emma, Saya mengedip, mengirim sinyal pada sahabatnya. Tentu saja mereka sudah lebih dulu membicarakan masalah ini lewat video call malam sebelumnya. Saya berharap Kiki tidak memperpanjang, yang penting keinginan Emma tersalurkan.
"Gue udah jahat sama lo," tutur Emma dengan nada menyesal. Tangannya terulur ke arah Kiki. "Gue sering nuduh lo yang enggak-enggak."
Meski kode Saya sudah diterimanya dengan baik, Kiki tetap mengerutkan kening.
Tak sulit meraba ketidaksukaan Emma padanya, tapi bukan berarti gadis itu pernah menyakitinya secara langsung. Kalau hanya tidak dipedulikan, Kiki sudah sering mengalami. Bukan soal baginya. Namun, jelas ada yang berubah dari sikap Emma siang ini. Dia melembut. Kesan manja yang selama ini mudah ditangkap dari sikapnya hampir tak tampak.
Dengan tulus dia meminta maaf atas sesuatu yang dia ributkan dalam hatinya sendiri. Sebenarnya dengan tiba-tiba bersikap manis saja sudah cukup bagi Kiki, dia akan mengerti. Tidak bisa tidak, Kiki merasa tersentuh dengan permintaan maaf Emma yang bagi orang lain mungkin tak perlu.
Kiki menyambut uluran tangan Emma.
"Haya sahabat guhe," katanya. "Guhe sehnang hasal diha bahagiha."
Emma tak mengerti, ditatapnya Saya untuk meminta penjelasan.
"Saya sahabat gue," Saya menerjemahkan. "Gue senang ... asal dia bahagia."
Manik mata Saya beradu dengan tatapan Kiki sekilas. Selalu ada bahasa yang tak perlu diucapkan di antara dua orang yang telah bersahabat sekian tahun lamanya. Saya selalu tahu betapa tulus dan baiknya Kiki, dia tahu kalimat itu bukan hanya di bibir saja.
Adegan di depan rumah Kiki itu terasa seperti sebuah perpisahan bagi sepasang sahabat, tapi keduanya tahu perpisahan ini bukan sebuah hal yang menyedihkan. Ini adalah sebuah babak baru bagi persahabatan mereka di mana keduanya akan menyambut hidup masing-masing dan persahabatan akan jadi satu bagian hidup, bukan lagi segalanya.
"Gue juga mau jadi teman lo, kalau lo mau," Emma memecah kesunyian.
Senyum Kiki melebar dari pipi ke pipi, "Hentu sahja," katanya. Kemudian, satu kalimat yang membuat bola mata Saya berputar itu kembali terucap, "Hanti hita mahin behtiga!"
"Mungkin berempat," Emma menyela sambil menyarangkan sikunya ke perut Saya.
Kiki mengernyit sedetik, lantas satu pukulan lagi dihadiahkan pada Saya, "Henak haja lo! Ngahrang, jahngan pehcaya!" katanya dengan wajah bersemu merah.
"Kak Juna orangnya baik," pendek Emma di sela tawa kedua sahabat itu. "Kamu beruntung."
Ada kulum senyum yang tidak ingin serta merta membenarkan penilaian Emma di bibir Saya. Baginya, masih ada yang mengganjal pada latar belakang hidup Juna. Masih ada perasaan takut membiarkan Kiki sendirian terjun dalam hubungan asmara yang bahkan baginya pun tak mudah, apalagi dengan kecurigaan yang belum bisa dia buktikan. Kiki sendiri masih rapat menyembunyikan perasaan sehingga Saya tak leluasa membicarakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetheart in Your Ear [SUDAH TERBIT]
Teen FictionMilo Sayaka mulai merasa tersisih saat sahabat yang selalu menjadi bayang-bayangnya akhirnya memiliki tambatan hati. Setelah belasan tahun ia selalu ada untuk melindungi Kiera Zelma karena keterbatasan gadis itu, Saya tak pernah menyangka akan ada...