Kadang orang datang ke kita buat nyampein sesuatu, lalu pergi lagi
Ngebekasin sesuatu, tapi nggak tinggal untuk bertanggung jawab.
Kerak telor, telepon gue.
Antusiasme karena sempat berpikir itu SMS dari Emma langsung buyar. Dua hari ini gue seperti terasing dari dunia luar. Bukan yang merepet nangis-nangis juga, tapi males aja ngapa-ngapain. Gue bolos kuliah, mumpung masih ada jatah absen. Mama nanya doang, tapi nggak bawel nyuruh-nyuruh berangkat. Emma masih menjawab telepon dan ngebales chat, tapi nggak kayak biasanya aja. Katanya sih karena sibuk ngurusin bokap yang langsung boleh pulang.
Misi gue ke Heru terlupakan begitu saja. Bahkan, gue meneleponnya dengan setengah hati, kayak nggak menarik lagi aja gitu. Kepala gue dipenuhi penyesalan, nggak jelas apa yang gue mau sekarang. Emma, atau Kiki. Ngejar kembali Emma, atau nunjukin ke Kiki kecurigaan gue tentang Juna.
"Rengginang ciut, lo kemana aja, sih?" tanya Heru.
"Di rumah aja," jawab gue nggak pake embel-embel hinaan balasan.
"Nape lo nggak kelihatan di kampus beberapa hari? Denger-denger bokapnya Emma sakit? Lo nemenin dia?"
"Iya," kata gue, biar pembahasan nggak merembet kemana-mana. Gue masih nggak rela ngakuin putus, ntar kalau balikan gue bisa malu.
"Gue udah dapat sedikit berita tentang siapa cewek kursi roda itu dari informannya Tama. Lo masih tertarik enggak, irus bengkong?"
"Masih."
"Lo kenapa, sih?"
"Lo yang kenape, gue lagi nggak mood lempar bom balasan, silit bekantan."
"Anjing turun berok, sialan, gue pikir lo beneran lagi mode sendu karena ayah mertua sedang menderita, kayak bukan lo banget gitu," kekeh Heru. Lalu nyerocos, "Jadi ... Luna ini memang benar anaknya almarhum bosnya almarhum bokap Juna ... yah gimana sih gue ngomongnya jadi runyem. Yah pokoknya gitu, screw kesopanan sama yang udah meninggal lah ya, nggak kenal ini gue. Jadi Luna ini anak bosnya bokap Juna yang ko'it barengan di kecelakaan beberapa bulan lalu itu."
Jadi benar, "Terus?"
"Kata Tama sih ... mereka baru dekat setelah kecelakaan itu, sebelumnya enggak. Pokoknya banyak yang berubah sejak kecelakaan itu. Bahkan konon nyokapnya Juna jadi agak sakit sehabis peristiwa itu."
"Sakit? Sakit gimana?"
"Bukan sakit yang sakit flu, tipes, demam berdarah gitu maksud gue, maksudnya udah nggak sama kayak yang dulu. Kayak yang shock karena suaminya meninggal mendadak."
"Oke ...," gue mencoba nggak menyela.
"Kalau keluarga Juna bangkrut habis kecelakaan itu, keluarga si cewek ini mah enggak. Mereka balik ke rumah ayahnya ibu si cewek ini. Kakeknya si cewek kursi roda, Luna ya, namanya? Kalau Tama bilang ... mereka mungkin ... mungkin nih, ya ... dijodohin."
Gue tersentak, "Dijodohin?"
"Tapi ini nggak pasti, ya. Ini cuma semacam rumor yang beredar setelah Juna menjauh dari band-nya. Dia kan sekarang jarang latihan—harus kerja segala macem, serabutan, buat biaya kuliahnya, pokoknya sih ribetlah hidupnya sekarang kayak sinetron gitu sibuk sana-sini kuliah, kerja sambilan tapi herannya tetep ganteng—makanya temen-temennya pada ngegosipin. Jadi gue nggak berani bilang ini informasi valid. Cuma ... lo tahu Kaka, kan? Temen seband-nya Juna di The Walrus? Dia bilang kayaknya mamanya Juna ini pengin Juna bisa sama si Luna, cuman Junanya mau atau enggak, nggak tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetheart in Your Ear [SUDAH TERBIT]
Novela JuvenilMilo Sayaka mulai merasa tersisih saat sahabat yang selalu menjadi bayang-bayangnya akhirnya memiliki tambatan hati. Setelah belasan tahun ia selalu ada untuk melindungi Kiera Zelma karena keterbatasan gadis itu, Saya tak pernah menyangka akan ada...