Prolog

75.4K 5.2K 81
                                    

Haloooo Bertemu lagi di lapak ini 😄😄

Aku unggah ulang bertahap versi wattpad ya. Karena versi revisi plus expart telah tersedia di google playbook.

[Pesan sangat-sangat penting : hargai penulis dengan beli ebook yang asli]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Pesan sangat-sangat penting : hargai penulis dengan beli ebook yang asli]

Btw, kalau semisal ada liat ebookku ratenya anjlok jangan dan review jelek. Jangan langsung percaya ya. Karena itu permainan. Kenapa aku bisa bilang gitu? Soalnya semua ebook baru yg masuk termasuk dari penulis-penulis lain pasti ratenya anjlok. Dan kasih bintang or review bukan berarti membeli, siapa aja bebas kasih bintang tanpa membaca dan membeli.

Okee thank you. Happy reading 🎉

.
.
.
.

"Nadia. Ada yang cariin didepan." Aku menoleh pada Mama yang baru saja memasuki kamarku.

"Siapa Ma?" tanyaku.

"Azka." Jawab Mama dengan senyuman ramahnya.

Sontak aku memutar bola mataku. "Bilang aja Nadia lagi nggak mau diganggu." Ucapku ketus kembali ke setumpuk buku pelajaran yang ada di atas meja belajar.

"Eh... mana boleh gitu. Mama liat cuma Azka temen kamu yang main ke rumah."

"Dia bukan temen Nadia Ma..." ralatku.

"Nadia, sepintar apapun kamu nggak akan bermanfaat jika kamu nggak pandai bersosialisasi. Kamu juga nggak boleh milih-milih temen, Nadia."

Aku hanya bisa menghela napas jika Mama mulai menceramahiku. "Nadia mau jadi Dokter, Ma. Nadia mau jadi orang hebat kayak Papa. Biar Papa bisa bangga liat Nadia dari atas sana. Jadi Nadia harus fokus belajar. Lagian Azka nggak disekolah nggak di rumah selalu aja bikin repot Nadia."

"Itu karena Azka juga mau jadi orang hebat kayak kamu. Berbagi ilmu nggak ada salahnya Nadia..."

"Iya... Tapi nggak terus-terusan. Bosen! dari kelas satu SD sampai sekarang kelas dua SMP dia-dia terus yang dateng ke Nadia tanya ini itu." jawabku ketus sambil menghentakkan kaki dan menemui Azka yang sudah menunggu di teras rumah. Aku memang tidak bisa menyalahkan Azka ia tentu saja datang kepadaku karena sejak kelas satu SD akulah yang selalu menjadi juara satu di kelas.

Azka yang sepertinya sudah siap menerima kemarahanku langsung berdiri gugup sambil menggenggam erat buku pelajarannya.

"Kamu bilang kamu pernah tinggal di rumah mewah. Kamu bilang Ayahmu kaya raya. Tetapi kenapa memanggil guru privat saja tidak mampu!"

Azka terlihat menggigit bibir bawahnya.

"Kamu hanya berbohongkan? Kamu cuma pamer supaya yang lain menganggapmu hebat. Begitukan?"

"Ti—tidak aku tidak berbohong. A—ku hanya ingin bertanya sedikit. Aku janji setelah itu aku langsung pulang."

Aku menahan napasku sepersekian detik dan merebut buku pelajarannya. "Kalau begitu ayo cepat! Mana yang tidak kamu mengerti."

Dia mengikutiku duduk di lantai teras dan menunjuk bagian mana yang kurang di pahaminya. Herannya, ia tidak pernah kapok dengan bentakanku tiap kali otaknya tidak mampu menyerap penjelasanku.

"Kamu sudah paham?" tanyaku memastikan.

Azka menganggukkan kepalanya. "Ini akan menjadi yang terakhir kalinya aku minta kamu mengajariku." Ucapanya sambil tetap menundukkan pandangan.

Mataku tidak berkedip. "Kenapa? Kamu takut karena aku selalu membentakmu?" tanyaku yang tiba-tiba diliputi rasa penasaran.

Ia menggeleng lalu tersenyum ke arahku. "Aku lebih baik diajar olehmu daripada diajar oleh Ayahku."

"Apa dia orang yang kejam?"

"Hmm. Hanya kalau sedang mengajariku. Tetapi selebihnya aku sangat mengguminya."

"Lalu kenapa kamu bilang ini akan menjadi terakhir kalinya kamu minta aku mengajarimu?"

"Karena keluargaku akan pindah. Setelah ujian selesai mungkin kita tidak akan bertemu lagi."

Perlahan wajahku mulai merunduk, meski sangat menyebalkan tetapi Mama benar, hanya Azka yang mau repot ke rumah dan menggangguku seperti ini.

"Kamu pasti senang karena tidak ada yang mengusikmu lagi."

Aku mengalihkan pandanganku. "Tentu saja." Jawabku yang tak sesuai dengan kata hati. Aku melihat Azka gelisah sambil merogoh kantung celananya.

"Ini. Aku membuatnya sendiri. Anggap ini sebagai rasa terima kasihku."

Dahiku berkerut saat melihat saputangan bermotif bunga dengan sulaman namaku di bagian sudutnya. "Sepertinya kamu lebih mahir menyulam."

Azka menekuk wajahnya ia terlihat tersinggung dengan ucapanku. "Karena Bunda mengajariku lebih sabar dari pada Ayah." Elaknya.

Aku menarik senyumku. "Terima kasih. Aku akan menyimpannya." ucapku tulus.

-TBC-

01/03/2017 Liarasati

Sorry for typo.

Play Me Like A ToyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang