Bab 14

28K 3.3K 49
                                    

Aku tak tahu pasti, entah itu semenjak aku hidup dengan Azka atau sejak aku mengandung, yang jelas, jika kuhitung-hitung entah berapa kali air mata ini menetes. Sedikit karena rasa sesak mengingat nasib mirisku, sebagian besar karena sikap Azka yang cenderung membuatku jengkel hingga menangis. Dan rasa-rasanya baru kali ini air mata mengaliri wajahku karena aku sangat bahagia. Bahagia atas pengakuan cinta Azka.

Aku tak yakin aku hanya berpura kuat atau wajahku yang selalu tampak tak bersahabat membuat orang disekitarku jadi tak menyukaiku. Tetapi, hanya Azka yang sepertinya melihat sesuatu yang lain itu. Menilaiku dari sesuatu hal yang positif.

Tanganku terulur menggapai sisi wajahnya. Angin sore berhembus lumayan kencang, sekitar tampak menggelap, mungkin sebentar lagi turun hujan tapi itu tak jadi perhatianku sekarang karena perhatianku hanyalah pada dia yang duduk tepat di sampingku, di teras yang menghadap ke danau. Mengamatiku dengan wajah yang sangat ku kenal.

"Kamu selalu menganggap aku pengganggu. Itu sebabnya aku tidak pernah berani menyerahkan surat itu."

"Pasti banyak wanita yang kamu jumpai. Tapi kenapa – Aku sangat ingin tahu alasannya."

"Aku rasa cinta tidak membutuhkan sebuah alasan. Awalnya aku juga mengganggap mungkin itu sementara, mungkin hanya rasa sukaku dimasa remaja, atau seperti yang orang katakan kalau itu cinta monyet, tapi ternyata tidak."

Azka menarik jemariku dan mengaitkan ke sela jemarinya. "Setelah aku pindah aku tak yakin bisa bertemu lagi denganmu. Walau aku bisa saja mencarimu, tetapi egoku melarangnya. Kalaupun kelak akhirnya kita bertemu lagi aku meyakinkan diriku sendiri kalau aku akan bersikap biasa saja. Aku tidak akan mendekat apalagi berlari ke arahmu. Aku berusaha melupakanmu, Nadia. Cukup dari kelas satu SD hingga di hari terakhir aku bertemu denganmu, aku memendam rasa cinta itu.

"Bertahun-tahun berlalu aku hanya fokus ke pendidikan dan pekerjaanku, aku rasa cara itu sedikit berhasil. Aku tidak lagi mengingatmu. Aku juga mulai melirik wanita disekitarku, berpikir mulai membuka hati apalagi Bunda terus menyinggung soal wanita. Tapi justru itu menjadi boomerang tersendiri untukku, aku jadi mengingat-ingat kembali seperti apa dirimu saat ini. Apakah tetap sibuk dengan buku-buku atau mulai kumpul-kumpul dengan teman baru?"

Berhenti sebentar, Azka mengalihkan pandangan sebelum menatapku lagi. "Saat pertama kali aku melihatmu lagi. Jujur, aku takut untuk menoleh lagi, aku berpikir mungkin yang kulihat itu salah. Nadia tidak mungkin berada ditempat seperti itu. Sampai aku bisa menenangkan diri dan mulai mengikutimu, ternyata itu benar kamu. Aku marah, tapi kamu lebih tangguh untuk menolakku terus menerus."

"Aku malu," selaku. "Aku malu saat kamu melihatku dengan cara seperti itu, hingga aku berpikir mungkin cara yang terbaik adalah berpura menjadi Nadia yang tangguh seperti, dulu."

Azka menarik senyumnya. "Untungnya aku menyadarinya. Aku menyadari kalau Nadia adalah orang seperti itu. Awalnya mungkin hanya dengan membebaskanmu dari tempat itu sudah membuat hatiku tenang, tapi kenyataan tentang Kakakmu yang aku lewatku membuatku berpikir ulang. Bayangan Nadia kecil yang tersenyum manis saat pertama kali kita berkenalan sewaktu menjadi murid baru terus berputar di benakku. Semuanya terputar seperti kaset rusak di otakku, tak ada yang terlewatkan, hingga setiap malam sejak kita bertemu kembali aku nyaris tidak bisa tertidur. Sampai di satu titik aku berpikir untuk benar-benar menarikmu ke sisiku entah kamu akan menyukainya atau tidak. Aku ingin kamu aman bersamaku."

Tanpa diperintah napasku tertahan saat mendengar rentetan kalimat panjang itu, berkali-kali aku hanya bisa mengusap air mataku yang meleleh dengan sebelah jemariku yang bebas.

"Baik. Hari ini kita bagi kelompok. Untuk nama-nama yang disebutkan silahkan pindah bangku yang lebih dekat dengan kelompok masing-masing."

Bu Rahma mulai menyebutkan satu-persatu nama yang akan menjadi kelompok satu. "Azka Alvendra." Kepalaku sontak memutar ke arah meja paling depan dan paling sudut yang diduduki Azka.

Play Me Like A ToyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang